Jumat, 22 Maret 2019

Blog Sita : “Sastra Nusantara”
Sabtu, 23 Maret 2019 – 13:40 WIB

TENTANG KRITIK SASTRA KITA

A.         Perkembangan Kritik Sastra Indonesia.
Tradisi kritik sastra di tanah air kita ini masih sangat muda, lebih muda dari sastra Indonesia itu sendiri. Karena itulumrah kalau ada orang yang menganggap bahwa tradisi kritik sastra kita masih goyah. Sungguhpun demikian yang membesarkan hati adalah, bahwa ada kegairahan untuk mengeritik dan berbicara tentang kritik sastra.
Kritik sastra Indonesia dikenal baru setelah budayawan dan sastrawan mengenyam pendidikan Barat. Sebelum itu penilaian atas karya sastra hanyalah dalam hubungan dengan kepercayaan, agama, dan mistik. Pendidikan Barat membuka mata para sastrawan dan budayawan umumnya, bahwa sastra tidak harus sepenuhnya ditautkan dengan dunia keagamaan, dan sastra tidak akan kehilangan hakekatnya walaupun dilepaskan dari norma keagamaan. Seiring dengan kesadaran itu, orang mulai memikirkan tentang hakekat sastra serta bagaimana menemukan dan mencari nilai sastra. Hal ini menimbulkan minat pula dalam membaca dan mempelajari tentang permasalahan esei dan kritik sastra yang berkembang pesat di negara-negara lain. Pada saat itu dunia kritik mulai muncul di Indonesia. Semuanya itu bermula pada abad kedua puluh ini.
Pada mulanya, istilah kritik  kurang disukai, namun pengertian tentang kritik tampaknya berkembang dengan baik. Karangan-karangan yang dimuat dalam majalah Pujangga Baru memberikan buktibahwa kritik sastra telah mendapat tempat yang baik di kalangan para sastrawan Indonesia pada waktu itu. Di antaranya terdapat tulisan-tulisan kritik sastra yang ditulis J.E. Tatengkeng, di bawah judul Pendidikan dan Pengakuan; serta karangan-karangan Sutan Takdir Alisyahbana, Armijn Pane, serta kelompok sastrawan Pujangga Baru pda umumnya. Siapa yang mula-mula menggunakan istilah kritik dalam dunia kesastraan di In donesia, tidak ada catatan yang dapat dipegang. Yang pasti adalah bahwa H.B. Jassin telah menerbitkan buku kritik dan esei di bawah judul Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Essey, yang bertarikh 1954. Kemudian bukunya ini berkembang terus sehingga mencapai empat jilid, dengan judul yang disesuaikan dengan pola ejaan baru, sehingga judulnya menjadi: Kesusastraan Indonesia Modern dala Kritik dan Esi. Di samping itu buku-buku H.B. Jassin yang lain juga muncul. Ia dengan segala kesungguhan dan ketekunan, merupakan seorang dokumentator kesusastraan Indonesia yang memiliki perpustakaan yang lengkap.
Buku kritik sastra yang lain yang patut disebut lebih awal adalah Pokok dan Tokoh karya A. Teew, seorang Mahaguru di Uniberstas Leiden, Negeri Belanda, yang banyak menaruh minat terhadap kesusastraan Indonesia. Setelah muncullah kritik-kritik sastra yang dihasilkan oleh tokh-tokoh lebih muda yang sebagian besar murid-muridnya H.B. Jassin, antara lain Boen S. Oemaryati, J.U. Nasution, M.S. Hutagalung. Dari kalangan sastrawan atau pengarang pun bermunculan kritik sastra, nama-nama mereka antara lain Gunawan Muhamad Arief Budiman, Asrul Sani, Sapardi Djoko Damono, Sitor Situmorang, Ajib Rosidi. Sedangkan tulisan-tulisan tentang kritik sastra tidak terbatas hanya pada beberapa buku kritik dan esei saja, namun meluas pada pemanfaatan mass media seperti majalah sastra dan surat kabar. Majalah sastra dan budaya yang memuat kritik sastra adalah Mimbar Indonesia, Siasat, Indonesia, Budaya, Basis, Budaya Jaya, Horison, sedangkan surat kabar, seperti: Sinar Harapan, Kompas, Indonesia Raya, Merdeka, suara Karya.
Dalam ejarah kritik sastra di Indonesia pernah tumbuh beberapa perbincangan tentang berbagai masalah, antara lain sebagai berikut :
1.     Masalah seni untuk seni atau seni untuk masyarakat, yang berkembang dari tahun 1936 sampai tahun 1946.
2.     Masalah orientasi ke Barat atau ke Timur, yang dimulai oleh kelompok Pujangga Baru sekitar tahun 1933 dan masih berkembang sampai tahun 1963.
3.     Masalah keuniversalan atau kenasionalan pernah pula menjadi topik perbincanagan di sekitar tahun limapuluhan.
4.     Perdebatan antara satu generasi angkatan dengan angkatan sebeumnya, misalnya antara Chairil Anwar dan Asrul Sani dengan tokoh-tokoh Angkatan Pujangga Baru.
5.     Tentang realisme sosialis versus “Surat Kepercayaan Gelanggang.”
6.     Perdebatan tentang ada tidaknya suatu angkatan setelah Angkatan 45.
7.     Perdebatan tentang ada tidaknya “krisis” dalam kesusastraan Indonesia, yang terjadi pada tahun limapuluhan.
8.     Perdebatan atau polemik metode kritik, khususnya tentang kritikanalitik versus Ganzheit pada penghujung tahun enampuluhan.

Setelah itu memang memang belum ada yang patut dicatat. Sungguhpun demikian, itu tidak berarti tidak ada kegiatan kritik sastra yang berlangsung. Tulisan-tulisan tentang kritik sastra kita jumpai dalam berbagai surat kabar dan di dalam majalah sastra, , seperti Horison. Keadaan ini memang patut pula menjadi catatan dan perhatian. Kalaupun tampak sedikit kelesuan tentang kelahiran buku-buku kritik sastra, atau tulisan  tentang kritik sastra yang mampu menggelitik dan memancing polemik, namun harus diakui bahwa kegiatan penciptaan sastra dan minat baca sastra di kalangan masyarakat nampaknya menunjukkan tendensi meningkat.
Tentang perdebatan sastra yang sekarang kelihatannya tidak memiliki api sebagaimana yang kita kenal dulu, Gunawan Muhamad (1980) dalam bukunya Seks, Sastra, Kita, mengajukan pertanyaan ini, dan kemudian dijawabnya sendiri. “Saya tidak punya prestasi untuk bisa memberikan suatu jawaban yang final di sini. Mungkin saja keadaan tersebut timbul karena para pengarang tidak melihat gunanya untuk berdebat tentang pendirian-pendirian yang sifatnya teoritis, dan mereka langsung terjun
dalam praksis penciptaan. Sebab tiadanya polemik ternyata tidak memperlihatkan susutnya kegiatan mencipta. Cerita-cerita pendek terus ditulis, untuk majalah Horison atau untuk surat kabar harian, misalnya Kompas, Sinar Harapan dan beberapa berkala wanita. Akhir-akhir ini terutama melalui penerbit penerbit Pustaka Jaya mulai banyak muncul kumpulan cerita pendek, puisi, esei, novel. Selama beberapa tahun ini naskah cerita untuk teater karangan asli, bukan terjemahan, barangkali mencapai jumlah yang paling besar semenjak kemerdekaan. Belum lama berselang saya ikut menjadi juri sayembara penulisan roman, dan saya dapatkan tidak sedikit naskah yang masuk, di antaranya mengungkapkan mutu yang menggembirakan. Pendeknya keadaan kesusastraan Indonesia nampak sehat-sehat saja. hanya tidak terdapat pertengkaran riuhnya ide-ide.
Sesuatu yang kita idamkan tentulah kemajuan pertumbuhan penciptaan sastra selalu seiring sejalan dengan pertumbuhan dan kemajuan kritik sastra, karena keduanya saling memerlukan.
Tentang kemajuan atau pasang surut pemikiran tentang kritik sastra kita dewasa ini bisa menimbulkan berbagai pendapat dan tafsiran. Ada yang berpendapat bahwa kritik sastra sudah berjalan wajar; ada yang menganggap kritik sastra tidak memiliki wibawa dalam masyarakat. Kalau terjadi kekurangan pertumbuhan sastra, teori sastra, lalu siapa yang harus dipersalahkan. Sukar untuk diberikan jawaban yang pasti, bisa disebabkan daya beli masyarakat terhadap karya sastra dan buku-buku kritik sastra yang amat rendah, biaya penerbitan yang selalu tinggi, atau mungkin oleh karena wibawa kritikus sastra yang hilang karena direnggut oleh kekuatan-kekuatan politik atau organisasi massa yang ingin menghukum suatu karya sastra dengan ukuran yang dicari dan dibuat berdasarkan kemauan politik tertentu, dan mungkin pula disebabkan oleh berbagai hal yang sukar diketahui.
Salah seorang penganut sastra Indonesia yang terkemuka, Prof. Dr. A. Teeuw, dalam kertas kerjanya pada penataran sastra tahap I, yang diselenggarakan oleh Proyek Pengembangan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di Tugu, Bogor, dari tanggal 8 September sampai 6 November 1978, mengemukakan pendapatnya tentang situasi dan masalah perkembangan teori dan kritik sastra Indonesia yang kurang memuaskan. Faktor-faktor yang menyebabkan keadaan ini antara lain sebagai berikut :
1.     Kekurangan majalah sastra (tetapi ini akibat  bukan sebab masalahnya).
2.     Kritik sastra sebagai kritik kewartawanan, yaitu kritik melalui surat kabar. Hal ini ada baiknya: dapat memancing minat yang luas, tetapi ada juga buruknya; mengakibatkan kedangkalan, menekankan aspek pribadi pengarang, bukan karyanya, menonjolkan heboh sastra, sensasi dan lain-lain.
3.     Kekurangan pendidikan sastra; baik di tingkat universitas, maupun di tingkat sekolah menengah.
4.     Anggapan yang tersebar luas seakan-akan sastra hanya permainan saja, tidak perlu diminati secara sunguh-sungguh. Anggapan ini pun ering diperkuat atau ditimbulkan oleh sikap dan cara bekerja sastrawan sendiri.
5.     Kekurangan kebiasaan membaca dan penilaian rendah terhadap buku dan majalah sastra (sudah barang tentu berhubungan erat dengan nomor 4).
6.     Kekurangan terjemahan karya sastra dunia yang bermutu tinggi ke dalam bahasa Indonesia.
7.     Kekurangan kemampuan bahasa asing (Inggris) dan kesukaran membeli buku sastra yang penting dalam bahasa Inggris.

Pendapat atau buah pikiran A. Teeuw di atas, terlepas dari setuju atau tidak setuju, patut di renungkan. Ketidakpuasan terhadap kritiksastra kita memang sering dilontarkan banyak orang, tetapi hal itu merupakan bagian dari suatu keinginan untuk melihat dan mendapatkan masa depan sastra, teori, dan kritik yang lebih baik dari yang sekarang. Dan suatu kegagalan bukannya sesuatu yang tidak bermanfaat. Itulah sebabnya, ketidakpuasan terhadap situasi kritik sastra kita seperti yang terasa belakangan ini tidak dengan sendirinya mengharuskan beberapa kritikus mundur. Rasa tidak puas dan perbedaan pendapat tentang kritik sastra Indonesia dengan sendirinya bermanfaat besar dalam menciptakan momentum kreatif yang diharapkan secara berangsur-angsur menunbuhkan minat banyak orang untuk berbuat lebih banyak dan lebih baik di masa datang yang singkat.
Bahwa kritik kewartawanan atau kritik jurnalistik menampakkan perkembangannya yang menggembirakan, sementara kritik akademik menunjukkan kelesuan merupakan suatu gejala, yang bila akan dibenarkan atau akan dibantah, tentu memerlukan penelaahan dan data yang memadai. Barangkali hal ini patut menjadi telaahan atau kajian bagi siapa yang berminat. Namun yang hendak disinggung di sini adalah perkembangan kritik akademik sastra dari dulu sampai sekarang eperti sepintas lalu.
Kritik akademik yang dimaksudkan di sini adalah kritik yang dilakukan dengan mengikuti metode tertentu oleh para akademisi (sarjana atau calon sarjana) yang biasanya cenderung melakukan kritik sastra dengan metode close-reading dan pendekatan fisiologi. Mereka memang terbekali dengan ilmu kebahasaan dan kebudayaan, sehingga terdapat kecenderungan untuk membicarakan juga segi-segi kesejarahan, kebudayaan, di samping pembicarakan segi-segi intrinsik yang dilakukan melalui media, yang memiliki halaman yang terbatas dan oleh sebab itu cenderung untuk disesuaikan dengan masyarakat umum, sehingga pembicaraan menjurus pada pembicaraan selayang pandang tentang aspek tertentu.
Kritik akademik, atau katakanlah pengkajian akademik, kesusastraan Indonesia dilakukan secara serius dalam tahun limapuluhan dengan terbitnya buku Prof. Dr. A. Teeuw Pokok dan Tokoh, kemudian karya H.B. Yassin: Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei. Kedua tokoh ini amat berjasa dalam mengembangkan tradisi tradisi kritik akademik di Indonesia. Pengembangan lebih lanjut terjadi dengan bantuan dan doronganH.B. Yassin, dengan diterbitkannya beberapa skripsi yang ditulis oleh para calon sarjana atau sarjana muda dari Universitas Indonesia. Misalnya karya J.U. Nasution: Sitor Situmorang Sebagai Penyair dan Penulis Cerita Pendek, dan buku Pujangga Sanusi Pane. Dari M.S. Hutagalung kita dapati buku Jalan Tak Ada Ujung, Muchtar Lubis dan buku Tanggapan Dunia Asrul Sani. Dari tangan Boen S. Oemarjati kita dapati Roman Atheis Achdiat K. Miharja dan buku Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia. Dari IKIP kita jumpai Fachruddin Ambo Enre dengan telaah sastranya yang berjudul Perkembangan Puisi Indonesia dalam Masa Duapuluhana; dari Ibrahim kita dapati Drama dalam Pendidikan. Buku-buku di atas pada umumnya diterbitkan oleh Gunung Agung. Dari Umar Junus (IKIP Malang) kita jumpai buku Dasar Interpretasi  Sanjak (Pendekatan Linguistik). Dari Universitas Gajah Mada kita jumpai Rachmat Djoko Pradopo: Beberapa Gagasan dalam Bidang Kritik Sastra Indonesia Modern. Di samping itu kita temui pula beberapa buku lain seperti Pertumbuhan, Perkembangan dan Kejatuhan Lekra di Indonesia oleh Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Bahasa dan Kesusastraan Indonesia Sebagai Cermin Manusia Indonesia Baru  yang berisi kertas kerja dalam simposium Bahasa dan Kesusastraan Indonesia tahun 1966, Angkatan 66 Prosa dan Puisi.
Di dalam beberapa buku telaah sastra yang kita sebutkan itu, kita tidak melihat dasar metodologi atau teori yang jelas, namun terlihat kecenderungan mereka menggunakan pendekatan struktural. Kecenderungan kalangan sarjana sastra untuk menggunakan pendekatan struktural itu secara eksplisit terungkap dalam suatu pertemuan atau diskusi yang diselenggarakan di Gedung Balai Budaya, Jakarta, pada tanggal 3 Oktober 1968. Pada kesempatan itu kelompok sarjana sastra kampus Rawamangun melansirkan dan mempertahankan tentang pendekatan struktural, yang nmereka sebut dengan kritik santra dengan metode analitik. Metode analitik ini kemudian  lebih populer dengan Aliran Rangun, tokoh-tokohnya antara lain: M. Saleh Saad, Lukman Ali, S. Effendi, M.S. Hutagalung. Aliran ini mendapat tantangan dari Gunawan Muhamad dan Arief Budiman, mereka beranggapan bahwa kritik sastra analitik cenderung memperkosa hakekat sastra itu sendiri, dan mereka (Gunawan dan Arief) mengetengahkan metode Ganzheit dalam kritik seni. Metode ini cenderung untuk menggunakan pendekatan reseptif, yaang lebih menekankan kesan yang diterima secara totalitas.
Meskipun pengkajian akademik kesusastraan di Indonesia telah memberikan sumbangan yang besar pada berbagai masalah kesusastraan di Indonesia, namun pada dasarnya pengkajian akademik yang ada itu masih berada pada tahap awal, yang memerlukan pengembangan lebih lanjut. Soalnya pengembangan lebih lanjut itu tidaklah selancar yang diharapkan, dan dalam keadaan begitu kritik jurnalistik tentu memberikan andil yang besar dalam mengisi ruang yang kosong yang belum diisi oleh kritik akademik. Tentang metode kritik sastra, tidak perlu dipersoalkan apakah kritik Aliran Rawamangun atau kritik Ganzheit yang benar, yang penting  mutu kritik sastra harus ditingkatkan, bagaimanapun juga pendekatannya.

B.    Gambaran Tema Sastra Indonesia
Jika kita telusuri perkembangan tema sastra Indonesia teruatama atau khususnya dalam karya fiksi akan terlihat bahwa sejak tahap-tahap permulaan perkembangan sastra Indonesia modern, yakni sekitar tahun dua puluhan, tema-tema pokok yang muncul adalah tentang realisme formal, yaitu gambaran kenyataan sosial  tempat cerita itu bermain, yang tidak luput pula dilatarbelakangi oleh kondisi sosio-kultural dan sosio-politik yang ada dalam masyarakat di saat cerita itu berlangsung.
Pada permulaan abad kedua puluh, di saaat bangsa Indonesia mulai mengenal kebudayaan Barat, mulailah kita mengenal adanya bentuk novel dengan munculnya Si Jamin dan Si Johan yang dikerjakan oleh Marari Siregar (1919), yang merupakan saduran dari sketsa pengarang Belanda, Justus van Maurik: Jan Smiees. Karangan itu diikuti pula oleh novel Azab dan Sengsara juga buah tangan Marari Siregar (1920), dan disusul oleh beberapa novel lain seperti Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Darah Muda. Dengan demikian mulailah suatu era baru dalam sastra Indonesia; tema-tema sastra sebelumnya, yakni tentang kebangsawanan, kepahlawanan, dan keagamaan, beralih kepada tema-tema kemasyarakatan dan kehidupan sehari-hari.
Pada awal tahun dua puluhan itu mulai terjadinya  kebangkitan nasiona, kesadaran akan perlu adanya perubahan sikap hidup bagi kalangan cendikiawan tumbuh, maka mulailah dirasakan feodalisme merupakan hambatan kemajuan. Masalah itu pula yang mendapat tempat dalam novel-novel kita yang ditulis pada saat itu. Pengaruh kebudayaan Barat terhadap cara berpikir masyarakat golongan menengah dan golongan atas yang hidup di kota-kota, banyak pula mempengaruhi para sastrawan dalam menuliskan novel-novel mereka. Tidak sekedar itu, peristiwa Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 memberi pengaruh besar pula terhadap pemikiran adanya kesatuan budaya dan pembinaan kebudayaan nasional; hal itu tercermin dalam Layar Terkembang-nya Sutan Takdir Alisjahbanadan dalam beberapa puisi Muh. Yamin dan Rustam Efendi, dan tokoh-tokoh Pujangga Baru lainnya. Novel Belenggu dari Sanusi Pane, meskipun tidak secara langsung mengungkapkan masalah orientasi kebudayaan baru, namun terkesan adanya penampilam terhadap sikap hidup masyarakat modern; hal itu dapat dilihat dari kehidupan rumah tangga Dr. Sukartono dan Sumartini. Suatu kehidupan yang bukan Timur dan Barat.
Periode sastra sebelum pergolakan kemerdekaan memang digumuli oleh kehidupan masyarakat kota tempat para cendikiawan dan sastrawan tumbuh dan berkembang, yang mengacu kepada mayarakat Indonesia modern yang berorientasi pada perpaduan antara kebudayaan Timur dan Barat. Masyarakat Indonesia di kota-kota, yang menjadi pendukung peradaban modern pada umumnya, terobang-ambing pada dua kebudayaan itu. Di antara mereka ada yang sadar akan goyahnya nilai sosial budaya yang dijunjunnya, kemudian dengan sengit hendak membela dan mempertahankan nilai-nilai sosial budaya leluhur mereka; di samping itu ada pula yang menginginkan terjadinya pembaharuan di segala sektor kehidupan dengan menimba penggetahuan dan kebudayaan Barat yang dinilai dapat mengantar masyarakat Indonesia ke kehidupan modern dan maju.
Demikianlah kedudukan budaya Indonesia pada waktu pra kemerdekaan itu, yang hidup antara dua dunia, yang menurut Ajip Rosidi sama-sama menjemukan. Hal itu pernah menimbulkan polemik yang cukup hangat di antara para budayawan kita.
Pada zaman berikutnya, yaitu zaman Chairil Anwar dan kawan-kawan, mulai menyingkirka  masalah perbedaan antara Timur dan Barat, karena yang hendak dituju adalah masalah humanisme universal; penjajahan Belanda yang disusul dengan penjajahan Jepang dan Perang Dunia II akhirnya mengalihkan perhatian gerakan kemerdekaan. Tema-tema perjuangan merebut kemerdekaan banyak mengilhami karya-karya sastra waktu itu, misalnya Keluarga Geriya, Mereka yang Dilupakan, Surabaya, Jalan Tak Ada Ujung, dan beberapa puisi Chairil Anwar, Asrul Sani, dan sastrawan-sastrawan lainnya.
Walaupun masalah perjuangan kemerdekaan banyak mendapat tempat dalam dalam karya sastra Angkatan 45, namun masalah orientasi ke kebudayaan Barat tidak lenyap, orientasi kebudayaan Angkatan Chairil Anwar, menurut Subagio Sastrowardoyo (1980), pada dasarnya tidaklah berbeda dengan yang terdapat pada Pujangga Baru. Sebutan kebudayaan universal nampaknya berorientasi ke Barat juga, khususnya ke Negeri Belanda. Masalah pengaruh kebudayaan Barat terhadap arus modernisasi yang mengakibatkan timbulnya berbagai benturan nilai di dalam masyarakat masih mendapat tempat, satu di antaranya adalah Atheis karya Achdiat Kartamihardja. Achdiat menggambarkan tentang orang-orang yang dibesarkan dalam dan dengan lingkungan tradisi kemudian setelah dewasa hidup di kota, di mana arus modernisasi terasa lebih dominan, menyebabkan mereka terombang-ambing yang akhirnya kehilangan keseimbangan dan pegangan.
Setelah masa kemerdekaan, masalah sosial yang diungkapkan dalam sastra Indonesia menjadi tersebar luas, segala masalah kehidupan bermasyarakat, berbudaya, berbangsa menjadi tema-tema karya sastra. Tema-tema yang dipilih terutama yang dirasakan sebagai persoalan masyarakat, tidak terbatas pada masyarakat tertentu saja, tetapi mencakup masalah manusia pada umumnya, seperti masalah cinta kasih, pengabdian, kemiskinan, keagamaan, dan lain-lain.
Lebih kurang tujuh tahun setelah Angkatan 45, Chairil Anwar meninggal dunia, pengarang-pengarang lain muncul dengan meniupkan suatu kemunculan Angkatan Terbaru Sastrawan Indonesia dengan Ajip Rosidi sebagai juru bicaranya.
Mereka mengeritik dan mengecam Chairil Anwar dan teman-temannya dengan menyebutkan: secara ruhaniah tanah air mereka adalah Belanda dan Eropa, sedangkan generasi mereka, generasi lima puluhan, merupakan generasi yang tumbuh dan berakar pada bumi mereka sendiri. Zaman itu penyair-penyair muda Indonesia menulis pujaan pada ibu pertiwi yang hangat, legenda, serta balada romantis yang banyak diterbitkan oleh berkala seperti kisah, seni (Jakarta), Budaya (Yogyakarta). Sebuah buku puisi yang tipikal buat tahun lima puluhan adalah Priangan si Jelita, sebuah nyanyian cinta dan pemujaan kepada tanah tumpah darah, oleh Ramadhan K.H.; lainnya adalah Balada Orang-orang Tercinta oleh W.S. Rendra; lainnya adalah Romance Perjalanan oleh Kirjomuljo. Suatu ciri khas periode lima puluhan adalah, individualisme mulai mengendor dan semangat nasionalisme dikembangkan. Hal itu bisa terjadi oleh kesadaran para sastrawan sendiri atau oleh cuaca politik waktu itu mencegah para sastrwan untuk berbicara mengenai perasaan dan mengenai masalah diri sendiri; sehingga yang terjadi adalah ungkapan-ungkapan hebat dan pelarian kata-kata abstrak dalam puisi. Dalam suasana itu pula lahirnya suatu kelompok sastrawan yang berkiblat kepada ajaran Marxisme-Lenimisme, yang terkenal dengan nama LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang akhirnya dapat merebut simpati sastrawan terkemuka Indonesia, Pramudya Ananta Toer. Pengaruh kehadiran Lekra ini mendorong lahirnya lembaga kebudayaan lain, seperti LKN (Lembaga Kebudayaan Naional) yang berinduk kepada PNI; LESBUMI ( Lembaga Seniman Budayawan Muslim) yang bernaung di bawah NU.
Setelah itu, mulailah wajah kesusastraan Indonesia menunjukkan keanekaragaman, yang sekaligus mencerminkan kekalutan kehidupan politik dan soal budaya waktu itu. Kemudian setelah terjadinya pemberontakan Gerakan G 30 S PKI dan munculnya angkatan astrawa muda, yang disebut Angkatan 66, maka dunia sastra Indonesia waktu itu dipenuhi oleh teriakan semangat juang generasi muda yang menginginkan kehidupan kenegaraan yang lebih baik, dengan tokoh populer waktu itu adalah Taufik Ismail, dengan kumpulan sanjaknya Tirani  dan Benteng yang pada umumnya berisi pekik militansi generasi muda yang menghendaki pembaharuan dari segala sektor kehidupan berbangsa dan bernegara. Sikap-sikap militansi itulah yang mewarnai kehidupan sastra di tahun enampuluh enam dan beberapa waktu sesudahnya. Hampir semua puisi, cerita pendek, dan drama yang dimuat dalam majalah sastra Horison melontarkan semangat perang suci melawan “kemerosotan” yang dikaitkan dengan suasana semua rezim orde lama, dan menyampaikan berbagai macam ritik sosial.
Pekik semangat perjuangan dan kritik sosial yang tajam akhirnya mengendor. Penyampaian sesuatu secara lebih konkrit akhirnya berubah menjadi penyampaian yang mengarah kepada sesuatu yang abstrak yang selalu membuka berbagai kemungkinan penafsiran. Novel-novel Iwan Simatupang seperti Merahnya Merah, Ziarah, Kering, Koong, serta novel-novel Putu Wijaya Telegram, Stasiun, dan berbagai naskah dramanya, demikian pula puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri, Ibrahim Sattah, Hamid Jabar, Danarto, merupakan contoh pembaharuan pula dalam penampilan tokoh-tokoh. Mereka tidak hanya mempersoalkan nilai-nilai yang ada tetapi malahan meniadakannya, bahkan sering terlihat bahwa tata sosial yang digambarkan di luar apa yang kita kenal dalam kenyataannya.

C.    Realisme Sosialis dan Humanisme Universal.
Realisme sosialis pernah tercermin dalam sejarah pertumbuhan sastra Indonesia, yakni melalui karya penulis-penulis anggota LEKRA pada masa jayanya antara tahun 1950 sampai tahun 1965.
Lekra didirikan pada tanggal 17 Agustus 1950, enam bulan setelah diumumkan “Surat Kepercayaan Gelanggang” yang berpandangan humanisme universal. Pada mukaddimah kelahirannya, tegas-tegas disebutkan menganut paham realisme sosialis atau paham “seni untuk rakyat”. Paham itu disampaikan melalui juru bicara mereka seperti Bakri Siregar, Buyung Saleh (IS Puradisastra), dan A.S. Dharta (juga memakai nama samaran lain seperti Yogaswara dan Klara Akustia, nama sebenarnya Rodji). Dengan demikian pandangan atau paham Marxisme-Leninisme mulai menyusupi sastra Indonesia. Bakri Siregar pernah menulis pada tahun 1964: bahwa seniman yang tergabung dalam Lekra tegas-tegas berpihak kepada rakyat dan menganut paham seni untuk rakyat  serta menolak aliran seni untuk seni. Ide-ide, pikiran, serta karya-karya Maxim Gorki, bapak realisme sosialis di Uni Sovyet dan Lu Shun, pelopor sastra Tiongkok modern dan revolusioner, serta tokoh-tokoh revolusioner dunia lainnya memberikan bahan dan merupakan pegangan, serta menerima pula metode realisme sosialis dengan pegangan: poltik adalah panglima, serta mengabdi kepada rakyat pekerja.
Tokoh lain, Klra Akustia, menyatakan bahwa sastrawan yang membicarakan masalah perorangan (individualisme), yang tak ada sangkut-pautnya dengan manusia banyak, tidak punya sumbangan kepada kemajuan bangsa, harus disingkirkan. Bagi Lekra, sastra hanya dipandang sebagai alat, sedangkan ilhamnya sudah  disediakan oleh ideologi. Penghayatan dan pengalaman pribadi sastrawan harus dibendung selama tidak ada sangkut-pautnya dengan revolusi sosialis. Dan pada kesempatan lain, yakni dalam Kongres Kebudayaan Indonesia tahun 1951, ia mengatakan, “Perkembangan kesusastraan adalah sejarah pertarungan dua kekuatan yang bertentangan kepentingannya di lapangan kesusastraan, antara kekuatan yang mempertahankan kekolotan dan kekuatan yang mengusahakan kemajuan.”
Dalam pandangan Lekra penganut aliran realisme sosialis, kebudayaan bukan saja tak dapat dipisahkan dari politik, melainkan kebudayaan merupakan bagian dari politik. Dengan demikian sastra juga merupakan bagian dari politik. Pandangan ini menempatkan sastra hanya sebagai alat politik. Sastra harus menerapkan paham Marxisme-Leninisme, termasuk di dalamnya teori dan kritik sastra.
Paham realisme sosialisme ini pernah diterapkan dalam beberapa karya sastra Indonesia, malahan di antaranya sampai berbau anti muslim, seperti dalam karya Utuy Tatang Sontani Si Kampeng dan dalam karya Pramudya Ananta Toer: Si Manis Bergigi Emas, yang menggambarkan para kyai dan haji sebagai tokoh penghisap rakyat.
Ilham karya sastra mereka terutama sekali digali dari hasil kunjungan ke negara sosialis. Peristiwa yang menyangkut buruh dan tani, yang kemudian ditarik pada tema pertentangan kelas, didramatisasi sedemikian rupa sehingga gambaran buruh dan tani yang mereka tokohkan adalah personifikasi gagasan ideal kelompok mereka, gagasan partai.
Nada propaganda dan sanjungan terhadap prinsip realisme sosialis tercermin dalam puisi-puisi H.R. Bandaharo, Klara Akustia dan lain-lain. Bahkan karena semangat pemujaan kemajuan kerevolusioneran rakyat negara sosialis membuat karya mereka menjadi  karya propaganda, misalnya Sekali Peristiwa di Banten Selatan, karya Pramudya, sangat menonjol kepropagandaan itu, sehingga mutunya menjadi sangat rendah dibanding dengan karya-karya yang lain.
Kelompok Lekra dengan semangatnya yang menggebu-gebu, menantang lawan-lawannya, terutama para penganut aliran humanisme universal. Mereka menyerang H.B. Jassin, HAMKA, bahkan juga Chairil Anwar yang sudah almarhum, malahan mereka menganggap Chairil Anwar sebagai penyair kontra revolusi. Puncak kemenangan mereka adalah keberhasilan membujuk Presiden Soekarno mengeluarkan pernyataan pelarangan Manifesto Kebudayaan yang diumumkan pada tanggal 8 Mei 1964. Tetapi setahun kemudian Lekra terkubur bersama partai mereka, PKI, yang dinyatakan sebagai partai terlarang oleh orde baru.
Yang perlu dijelaskan lebih lanjut adalah tentang pandangan realisme sosialis itu sendiri, bagaimana perkembangannya dan siapa tokoh-tokohnya, serta hubungannya dengan sastra?
Pada umumnya masalah realisme sosialis yang berlaku dalam sastra terdapat di negara-negara komunis, terutama seperti Rusia dan Cina yang menganut sistem satu partai. Pada negara seperti itu, partai menentukan segala-galanya, termasuk di dalamnya pengaturan mengenai apa yang harus ditulis oleh para sastrawan. Sastra yang keluar dari garis partai dianggap tidak mengabdi kepada kepentingan umum, oleh sebab itu tidak punya hak hidup dan harus disingkirkan.
Bagi negara komunis, sastra dihargai tinggi, bahkan dianggap sebagai salah satu alat yang penting dalam mengembangkan strategi partai. Oleh sebab itu sastra harus selalu diawasi secara ketat agar tetap berjalan di atas garis partai. Oleh sebab itu pila banyak pengarang terkemuka di negara komunis yang tidak mau didikte partai melarikan diri ke negara lain atau mereka dibungkam dan disingkirkan ke dalam penjara atau ke tempat kerja paksa. Itu pula sebabnya banyak terjadi penturan antara sastrawan dan pemerintah.
Di Jerman, pada tahun 1948, Karl Marx dan Fredrick Engels, dua pemuda tokoh revolusioner, menerbitkan sebuah dokumen yang terkenal Manifesto Komunis. Manifes itu merupakan sari paham materialisme, yang menyebutkan bahwa sejarah soial manusia tak lain dari sejarah perjuangan kelas. Kemudian teori Marx dan Engels dikembangkan dalam berbagai tulisan mereka atau kemudian oleh pengikut-pengikut mereka yang gigih.
Sesungguhnya tidak ada teori yang sudah jadi dalam tulisan Marx dan Engels yang menyinggung tentang hubungan antara sastra danmasyarakat. Yang ada hanya isyarat dan pikiran samar-samar dan beberapa dogma. Salah seorang pengikut mereka, George Plekhanov (1856 – 1918) berusaha menyusun doktrin politik pemerintahan dan juga mengembangkan teori yang menyangkut sastra, yang menekankan bahwa seni harus bersumber pada perjuangan kelas; seni yang tidak bersumber pada perjuangan kelas tidak mungkin menjadi seni yang agung.
Teori sastra Marrxis itu kemudian dikembangkan oleh George  Lukacs, yang sepenuhnya menerima pandangan Plekhanov. sastra, kata Lukacs, ditulis berdasar pada pandangan tertentu, tanpa tujuan dan perspektif sastra hanya menjadi semacam laporan yang memasukkan segala yang buruk maupun yang yang baik, yang penting maupun yang sepele. Lukacs yakin akan timbul suatu realisme baru yang segar, realisme sosialis, yang akan mengatasi humanisme borjuis yang apuk; dan realisme sosiali inilah yang menggambarkan manusia yang sedang bergerak berjuang untuk mencapai suatu masyarakat sosialis.
Realis sosialis ini kemudian banyak menimbulkan perbedaan para kritikus sastra di negara-negara non komunis. Para kritikus itu berpendapat bahwa novel-novel yang dihasilkan oleh pengarang-pengarang Rusia sebagai barang pesanan propaganda partai dan pemerintah.
Realisme sosialis itu tetap berkembang dengan melalui berbagai revisi. Revisi juga dilakukan di Republik Rakyat Cina. Gerakan Lompatan Jauh Ke Depan yang dilancarkan pemerintah Cina pada tahun 1958, menyangkut segala sektor kehidupan, termasuk sastra. Para sastrawan bahkan diharuskan membuat rencana kerja yang ketat; mereka harus melipat gandakan karya mereka. Semua karya sastra yang harus dihasikan secara besar-besaran itu harus mudah dimengerti dan menggambarkan corak manusia dan masyarakat yang ingin dicapai oleh partai. Tentang isi sastra dikatakan, bahwa sastra harus merupakan paduan antara realisme revolusioner dan romantisme revolusioner; bahkan dikatakan, perpaduan antara realisme revolisioner dan romantisme revolusioner lebih sempurna daripada realisme sosialis. Yang terjadi selanjutnya adalah romantisme dipentingkan, dan realisme didesak ke belakang, sastra tidak diperbolehkan memasalahkan penderitaan dan keputusasaan; hanya boleh dipergunakan sebagai penggugah semangat revolisioner; sastra harus menangkap masa depan. Oleh sebab itu, sastra cina modern penuh dengan penggambaran tokoj-tkoh yang hebat yang selalu menang dalam melawan para pembangkang dan kaum kontra revolusi, sehingga cerita-cerita yang disuguhkan semakin jauh dari realita dan semakin mirip dengan dongeng.
Realisme sosial ala Cina inilah yang kemudian menjadi panutan dan inspirasi pokok realisme sosialis yang dikembangkan oleh Lekra Indonesia, karena waktu itu PKI memang berkiblat ke Peking bukan ke Moskow. Sehingga penamaan realisme sosialis itu sebenarnya kurang tepat, sastra Lekra itu sebenarnya realistis, bukan realistik, karena kehidupan yang dipancarkannya bukan kehidupan nyata, melainkan apa yang seharusnya menjadi angan-angan komunis.
Pramudya Ananta Toer pada Seminar Sastra di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, pada tanggal 26 Januari 1963 mengatakan bahwa “Realisme sosialis adalah pemraktekkan sosialisme di bidang kreasi sastra. Humanismenya adalah humanisme proletar sebagai lawan dari humanisme Barat atau humanisme universal”. Dalam prasarannya itu juga Pramudya Ananta Toer juga menjelaskan bagaimana mengembangkan realisme sosialis yang sumbernya adalah Lekra yaitu :

1.     Memperkuat kesadaran politik, sebb musuh tidak tinggal diam dan akan terus menghisap rakyat, yaitu kaum humanis universal,
2.     Memberikan pengaruh taktis yang terdiri dari :
a.     Menentukan garis yang tepat dan salah, antara seni untuk rakyat dan seni untuk seni;
b.     Meluas dan meninggi, artinya meluaskan pengetahuan kepada massa dan meninggikan mutu kreatif dan ideologi;
c.      Politik adalah panglima, sebab tanpa politik kebudayaan dan sastra tak dapat menentukan haluan yang benar; dan
d.     Gerakan turun ke bawah (Turba), pengarang harus mengetahui dan terbiasa dengan penghidupan rakyat.

Manifesto kebudayaan, yang dicetuskan tanggal 17 Agustus 1963 dan ditandatangani oleh sejumlah sastrawan, seniman, dan cendikiawan pada tanggal 24 Agustus 1963, merupakan reaksi terhadap aksi-aksi kebudayaan Lekra. Manifesto kebudayaan ini berisi :

1.     Kami para seniman dan cendikiawan Indonesia dengan ini mengemukakan sebuah Manifest Kebudayaan, yang menyatakan pendirian, cita-cita dan politik Kebudayaan Nasional kami.
2.     Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sektor kebudayaan yang lain. Setiap sektor berjuang bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya.
3.     Dengan melaksanakan kebudayaan Nasional kami berusaha mencipta dengan kesungguhan yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan dan mengembangkan martabat diri kami sebagai bangsa Indonesia di tengah-tengah masyarakat bangsa-bangsa.
4.     Pancasila adalah falsafah kebudayaan kami.

Manifesto Kebudayaan ini hanya berumur kurang dari sembiln bulan, yang akhirnya hanya dilarang pemerintah waktu itu. Tetapi H.B. Jassin kemudian sempat menulis bahwa Manifes Kebudayaan tidak mati; Manifes tidak terletak di tangan reolusi-reolusi dan pernyataan-pernyataan yang didasarkan pada salah informasi, salah interpretasi. Nasib manifes itu sendiri, ia tidak akan mati sebelum homocreator terakhir mati. Dan memang ternyata pengarang-pengarang kreatif dibungkam, tetapi mereka tetap mencipta.
Humanisme universal sudah sejak tahun 1950 ditentukan oleh Lekra. Tentang humanisme universal itu dinyatakan dalam Surat Kepercayaan Gelanggang; bahwa sastrawan Indonesia adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia. Dengan tegas dinyatakan: Kami lahir kalangan orang banyak, dan pengertian rakyat bagi kami adalah kumpulan campur baur dari mana dunia-dunia baru yang sehat dapat dilahirkan.
Kaum realisme sosialis memandang prinsip yang dicetuskan itu sebagai suatu bentuk individualisme dengan semangat kapitalis-borjuis, maka prinsip dan cita-cita itu harus dilenyapkan dari Indonesia dengan revolusi.
Humanisme universal itu, menurut penjelasan Manifesto Kebudayaan, merupakan suatu perjuangan manusia sebagai totalitas dalam usahanya mengakhiri pertentangan antara manusia dan kemanusiaan. Humanisme universal adalah perjuangan budi nurani universal dalam memerdekakan manusia dari setiap belenggu, ia menolak sikap acuh terhadap semua aliran politik, ia menolak sikap absolut dari satu golongan yang memandang hanya ideologinyalahyang benar. Kebudayaan sebagai pernyataan hidup manusia mempunyai tendensi universal, dalam arti, bahwa kebudayaan itu bukan hanya untuk satu bangsa saja, tetapi untuk semua bangsa.
Pernyataan itu sangat bertentangan dengan wawasan kebudayaan Lekra, karena itu mereka tentang habis-habisan. Tetapi tahun 1966, setelah PKI melakukan kudeta, sastra Indonesia bangkit kembali. Era baru dalam sastra Indonesia terbuka lebar. Lewat majalah sastra Horison bermunculan karya-karya baru dengan segala macam gaya dan segala macam eksperimen, dan segala kemungkinan tema. Sastra diletakkan pada proporsinya yang tepat, dijadikan sebagai media ekspresi.

D.   Pertanyaan Pemahaman.
1.     Sebutkan beberapa perbincangan yang dianggap hangat dalam sejarah pertumbuhan kritik sastra di Indonesia ?
2.     Apakah yang dimaksud dengan
a.     Kritik jurnalistik ?
b.     Kritik Aliran Rawamangun ?
c.      Kritik akademik ?
3.     Kemukakan gambaran tema sastra Indonesia sesudah perang kemerdekaan !
4.     Apakah humanisme universal ?
5.     Kemukakan prinsip realisme sosial !

—SP42—
sabtu, 16 Maret 2019 – 15:35 WIB
Pustaka : Drs. Atar Semi, Kritik Sastra
Penerbit   : ANGKASA Bandung 1984



Tidak ada komentar:

Posting Komentar