Arjuna dan Betoro Kresno |
www.suaramerdeka.com – Kamis, 07 Maret 2013 | 14:23 wib - Mikul dhuwur
mendhem jero sering di salah artikan sebagai tindakan atau usaha untuk
tidak mengadili orangtua dan pemimpin yang bersalah. Kesan yang muncul kemudian
adalah, orang Jawa begitu mudah melepaskan tanggung jawab atas kesalahan dan
beban yang seharusnya dilaksanakan dan diselesaikan agar tidak lagi
menjadi penghalang bagi kebajikan-kebajikannya.
Mikul artinya memikul, yakni membawa diatas bahu. Duwur artinya
tinggi, Mendem artinya menanam. jero artinya dalam. Dengan
demikian "mikul duwur mendem jero" arti mudahnya adalah
ada sesuatu yang harus dijunjung tinggi dan ada yang harus ditanam dalam-dalam.
Masalahnya apa yang harus dijunjung tinggi dan apa yanng harus ditanam
dalam-dalam dan dalam keadaan bagaimana hal itu dilakukan.
Bangsa kita terkenal dengan sikapnya yang 'forget and
forgive' (lupakan dan maafkan). Suatu kesalahan dipendem dalam-dalam demi
harmoni yang harus diutamakan. Masyarakat yang masih paternalistik dan
fodalistik sering mendem keaiban atau kesalahan demi kehormatan atasan.
Mikul dhuwur mendhem jero, meskipun dimaksudkan untuk selalu
menghormat kepada orang tua atau pemimpin, namun tidak membutakan diri untuk
menilai perbuatan orang tua dan pemimpin. Karena yang tua dan pemimpin juga
memiliki kewajiban yang sama untuk selalu melakukan perbuatan yangbaik dan
benar. Justru yang tua dan pemimpin dituntut "lebih" dalam
mengaktualisasikan budi pekerti luhur.
Orang tua yang tidak memiliki budi pekerti yang luhur
disebut tuwa tuwas lir sepah samun. Orang tua yang tidak ada guna dan
makna sehingga tidak pantas di tauladani. Pemimpin yang tidak memiliki budi
luhur juga bukan pemimpin. Kita harus lebih cerdas memaknai falsafah hidup
orang Jawa tersebut, ora waton ngulu.
(Eko
Wahyu Budiyanto/CN37)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar