Minggu, 17 Maret 2019

Drs. Atar Semi : KRITIK SASTRA 2 - UKURAN DALAM KRITIK SASTRA""

Blog Sita : "Sastra Nusantara"
Minggu, 17 Maret 2019 - 17:02 WIB
  

KRITIK SASTRA 2 ( FOTO SP)


A.         Ukuran atau Sasaran Kritik

Apakah perlu adanya ukuran dalam melakukan kritik sastra ? pertanyaan ini cukup sederhana, bukan ? tetapi jawaban pertanyaan itu dapat mengundang diskusi atau perdebatan panjang. Perdebatan mengenai ukuran ini pernah terjadi antara M.S. Hutagalung dengan Arief Budiman yang diikuti juga oleh sastrawan-sastrawan lain. M.S. Hutagalung penganut pendapat yang mengatakan bahwa di dalam suatu kritik pasti diperlukan adanya ukuran-ukuran, sedangkan Arief Budiman bahwa kritik yang tanpa ukuran dan prinsiplah yang dapat memahami seni modern.

Kiranya kedua pendapat itu dapat dimengerti, ada segi-segi kebenaran di antara keduanya. Memang tidak perlu adanya suatu ukuran dan patokan di dalam kritik sastra bila ukuran dan patokan itu justru menciptakan jebakan bagi pemakainya, yang akhirnya melakukan analisis dan penarikan kesimpulan yang dapat mengundan seni yang berkecondongan bebas. Betapapun, ukuran-ukuran dalam melakukan kritik perlu ada agar kritik sastra tersebut dapat mengemban fungsinya secara baik dan bertanggung jawab. Kritik sastra tidak hanya berupa penikmatan, tetapi juga berupa penilaian, berupa penghakiman. Dalam hal penilaian atau penghakiman itu, amat diperlukan adanya rambu-rambu adanya prinsip-prinsip yang digunakan sebagai pegangan. Tentu saja prinsip-prinsip itu harus dinamis, bukan prinsip yang berlaku sepanjang zaman, karena sistem nilai itu juga sering berubah menurut waktu dan tempat.

Tentang pendapat Arief Budiman bahwa hanya kritik yang tanpa ukuran dan prinsip yang dapat memahami seni modern, Hutagalung (1975) menulis :

“Penekanan Arief agar kita mengosongkan diri untuk menggapai seni, saya kira juga kurang  benar. Keaktifan dan persediaan-persedian tertentu sangat kita perlukan untuk memahami seni termasuk seni modern. Hal ini pernah dikemukakan oleh Ernest Cassire. Saya beranggapan bahwa H.B. Jassin (Yng juga punya prinsip) yang sungguh banyak punya persediaan di hatinya akan lebih gampang menanggapi seni daripada murid SMA yang tahu apa-apa atau kosong hatinya dari prinsip-prinsip seni. Saya beranggapan pula bahwa orang-orang sudah mengetahui harmoni akan lebih dapat merasakan fungsi disharmoni pada seni modern. Demikian juga orang yang sudah tahu alur dan penokohan tradisional akan lebih gampang melihat apa yang disebut anti alur atau anti penokohan. Pokoknya pengalaman kita, pengetahuan kita mengenal seni yang terdahulu akan membuat kita lebih peka untuk menikmati seni yang baru semuanya itu bukan kita diamkan malah harus kita aktifkan untuk memahami seni yang lebih rumit. Sejarah seni juga akan lekas memberi saran kepada kita apakah seni yang baru itu merupakan pengulangan dari seni yang telah pernah ada atau ytidak.”

Di dalam menilai karya sastra, seorang kritikus pasti tidak akan bertindak sembarangan. Dia akan mengatakan suatu karya sastra itu gagal atau berhasil lengkap dengan memberikan alasan-alasan dan bukti-bukti yang ditampilkan itu tentu berdasarkan kepada suatu prinsip dan pengertian, sastra yang benar, prinsip dan pengertian sastra yang jujur. Dengan menggunakan prinsip itu, kritik sastra memberi andil yang besar dalam membangun kesadaran pengarang tentang hakekat karya sastra yang baik, dan bila mereka jujur dengan hati nuraninya sendiri akan sangat membantu dalam peningkatan mutu karyanya selanjutnya.

Kritik sastra, dengan ukuran dan prinsip yang luwes, hendaknya mampu menunjukkan nilai suatu karya sastra, mampu menerangi lorong-lorong gelap, mampu meniadakan persoalan yang rumit dan sulit yang terdapat dalam suatu karya sastra. Dengan uraian dan telaahan yang diberikan para kritikus itu, memungkinkan suatu karya sastra yang pada mulanya dianggap tidak bernilai, mendapat sambutan yang ramah. Dalam kenyataannya, memang sering suatu karya sastra disambut dengan tidak ramah. Ketidakramahan itu mungkin disebabkan oleh ketidakmampuan memahaminya. Bila seorang kritikus dengan keluasan pengalaman dan wawasan berhasil menunjukkan nilai-nilai yang terselubung, mampu menerangkan metafor, mampu menjelaskan makna yang terdapat di balik ungkapn-ungkapan, makna tentu saja setiap menikmati sastra akan menyambut kehadiran suatu karya dengan segala senang hati.

Bila ukuran dikatakan perlu, maka pertanyaan lain muncul : Apakah ukuran itu ?
Bila suatu ketika anda mempunyai waktu senggang dan ingin menghabiskan waktu senggang itu dengan membaca novel yang anda beli minggu yang lalu, anda akan memperoleh suatu impressi atau kesan dalam membaca atau setelah membaca novel tersebut. Kesan itu akan sangat tergantung pada minat dan tujuan yang hendak dicapai sewaktu hendak membaca novel tersebut. kalau anda membaca novel itu untuk mencari hiburan ringan-segar, untuk melapangkan pikiran yang sumpek, sedangkan novel yang anda baca itu memang memenuhi keinginan anda untuk hiburan dan melepaskan ketegangan pikirn, tentulah anda akan menyimpulkan bahwa novel tersebut adalah novel yang baik dan berhasil. Ukuran semacam ini merupakan ukuran yang bersifat perorangan, yang terbatas pada kesenangan. Walaupun setiap orang diberi hak untuk memberi tafsiran dan penilaian terhadap suatu karya seni yang dihadapinya, namun kalau ukuran melakukan suatu perbuatan mengeritik tidak dapat diterimaa.

Banyak kita dengar keluhan tentang karya Sutarji, Iwan Simatupang, Putu Wijaya, Rendra, Danarto yang sukar dipahami, sehingga timbul mitos sastra membisu  atau mitos sastra kosong. Malahan timbul pula kecaman yang cukup hebat yang menganggap karya-karya yang sukar dipahami itu bukan karya yang harus dikonsumsikan kepada masyarakat. Pada dasarnya sikap dan pandangan smacam itu sudah menggunakan ukuran penilaian, yaitu ukuran mudah dipahami (intelligibility). Ukuran kemudahan memahami tidak dapat digunakan sepenuhnya karena kebanyakan hasil karya seni yang bernilai tinggi memerlukan pemusatan pikiran dan pengerahan pengalaman batin dan wawasan keilmuan yang memadai mengenai tema atau persoalan yang memungkinkan.

Seseorang mungkin saja tertarik atau  memberi nilai baik kepada suatu karya sastra disebabkan persoalan yang dibahas di dalamnya merupakan pengalaman baru orang tersebut. katakanlah bahwa dia tertarik karena permasalahan berada di luar pengetahuan dan pengalaman (noveltry). Tetapi bagi orang yang lain, yang terjadi mungkin saja sebaliknya, ia akan tertarik kepada suatu karya sastra yang membahas tentang sesuatu yang sudah dikenalnya, sesuatu yang berada dalam pengetahuan dan pengalaman sehari-hari (familiarity).

Kedua ukuran yang disebut belakangan, bukan tidak lumrah terjadi. Si Nano tertarik hatinya terhadap sebuah novel atau cerpen yang dibacanya, karena menyampaikan suatu kisah kehidupan yang baru, yang belum pernah ia kenal sebelumnya, belum pernah ia baca atau dengar sebelumnya. Hal itu menyebabkan ia terkesan, lebih-lebih lagi ia merasa mendapat pengalaman baru. Si Nana lain lagi, ia justru tertarik kepada sebuah novel atau cerpen yang mengungkapkan kejadian atau peristiwa yang pernah didengarnya, pernah dilihatnya di dalam lingkungan kehidupannya, atau mungkin pernah dialaminya sendiri. Dengan membaca masalah yang sudah amat dikenalnya, ia hatinya merasa digelitik kembali oleh kesan-kesan tertentu, atau mungkin ia merasa dengan membaca karya yang mengungkapkan persoalan yang telah dikenalnyaitu, ia merasa mudah memahami dan menikmatinya.

Bila penilaian suatu karya sastra berdasarkan kesenangan (pleasur), kemudahan memahami (intelligibility), tema cerita yang berada di luar pengetahuan dan pengalaman (noveltry), dan berdasarkan kepada tema cerita yang sudah dikenal (familiarity) maka penilaian semacam itu dapat digolongkan ke dalam jenis kritik yang mengikuti teori pragmatis atau teori efektif, yaitu teori yang berdasarkan pada kemudahan dan kesenangan.

Ukuran yang lain yang lazim dipakai dalam melakukan kritik sastra adalah ukuran didaktik. Dengan ukuran didaktik orang menentukan keberhasilan suatu karya sastra berdasarkan kebolehan karya itu memberikan pengaruh positif, yang menyampaikan pesan pembinaan moral dan kepribadian, serta meninggikan taraf kecerdasan pembacanya.

Ukuran didaktik dalam kritik sastra tidak kurang pula mendapat serangan dari mereka yang tidak senang. Marlies K. Danziger dan W. Stacy Johnson dalam buku mereka An Introduction to literary Criticism  misalnya, mengatakan bahwa masyarakat ingin meninggikan moral dan intlktualismenya, maka jalan sebaik-baiknya bukan dengan membaca sastra tetapi membaca buku falsafah. Bila ukuran didaktik yang dipakai maka beberapa karya besar Shakespeare, Antony and Cleopatra  misalnya, yang mengemukakan tentang persoalan perzinaan, tidak dapat menyandang nama besar.

Ukuran yang pernah digunakan dalam melakukan kritik terutama oleh pengeritik Barat, adalah menggunakan ukuran pelahiran (ekspresi). Di dalam pelaksanaannya ukuran ekspresi ini selalu dihubungkan dengan keaslian  dan kejujuran.

Yang harus dipersoalkan tentulah masalah keaslian dan kejujuran itu. Apa yang dimaksud dengan keaslian, dan apa pula itu kejujuran. Adakah karya sastra yang dapat dikatakan asli bukankah apa yang diungkapkan seorang pengarang merupakan pengulangan kembali ? mungkin yang masih dapat dikatakan asli adalah karya-karya besar tempo dulu yang dilahirkan oleh para pujangga genius seperti Shakespeare, Goethe, dan Homer, dan lain-lain. Tetapi apakah mereka tidak terpengaruh sama sekali oleh sastra sejamannya atau mungkin pula oleh karya-karya sebelum mereka. Mungkin saja pengaruh itu ada, tetapi kadar pengaruh itu amat kecil, dan mereka dengan karyanya membawa suatu pola baru, cara penyampaian yang baru, mereka bekerja dengan visi baru.

Boleh saja, lumrah saja, suatu karya seni, dalam hal ini karya sastra, mengemukakan suatu tema cerita yang ditimba dari karya lain yang mungkin pula karya itu merupakan hasil timbaan pula. Menurut sesuatu yang asli dari pengarang, sama halnya dengan menuntut sesuatu yang bukan-bukan. Yang asli dalam pengertian yang sesungguhnya tidak pernah ada. Kalau demikian, apa yang dimaksud dengan keaslian di sini. Yang kita maksudkan keaslian di sini adalah suatu penampilan kembali dalam bentuk yang lebih segar dan menarik dengan suatu pendekatan baru, penampilan yang penuh semangat dengan menampakkan pribadi sendiri. Kemampuan menampakkan wajah sendiri dalam karyanya itulah yang dikehendaki. Persoalan yang disampaikan mungkin saja persoalan yang sudah dikenal atau sudah sering dibahas, namun dengan kemampuan kepengarannya yang baik  dia diharapkan dapat memberi visi baru, warna baru, dan gaya penyampaian baru. Pengertian baru  di sini bisa saja dalam bentuk penyuntingan kembali sesuatu yang sudah telah ada.

Masalah kejujuran, merupakan alat ukur lain yang dapat digunakan. Kejujuran di sini dimaksudkan kesungguhan dan pendalaman pikiran dalam menyatakan suatu konsep. Ia hendaknya memperlihatkan kepada pembaca bahwa apayang disajikannya lewat tokoh-tokoh ceritanya adalah hasil pemikiran yang masak. Dan hasil pemikiran yang masak itu dituangkan dengan menggunakan perencanaan yang baik.

Ukuran kebenaran (truth) merupakan ukuran lain yang sering digunakan. Seorang penelaah sewaktu membaca suatu karya sastra mempertanyakan apakah yang diungkapkan pengarang itu mempunyai hubungan dengan kebenaran yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari. Karya sastra yang dikatakan memiliki unsur kebenaran adalah karya sastra yang mampu membayangkan atau mencerminkan kehidupan atau peristiwa kehidupan yang ada, jadi bukan suatu hasil lamunan dan khayalan belaka. Ukuran kebenaran ini mempunyai kelemahan juga. Bukankah karya-karya besar tempo dulu, seperti Cerita Panji, Mahabarata, Ramayana merupakan karya-karya besar kendati di dalamnya berisi cerita-cerita kepahlawanan yang dibumbui oleh berbagai macam keajaiban dan kehidupan para dewa yang tidak masuk akal. Dalam hubungan ini tentu kita tidak dapat mengatakan bahwa hanya karya sastra yang mengisahkan kehidupan nyata yang dapat dikatakan karya yang besar.

Bila hendak menggunakan ukuran kebenaran  dalam kritik atau telaah sastra seharusnya kita menggunakan istilah kebenaran  itu menurut kadar yang benar. Kebenaran hidup yang kita maksudkan bukanlah kebenaran yang klop dengan kenyataan pengalaman sehari-hari. Tetapi lebih lkuas dari itu, kebenaran yang kita tuju adalah kebenaran yang ideal, kebenaran yang bukan saja bertumpu pada kehidupan yang terjadi sekarang, tetapi juga kebenaran yang diidamkan atau kebenaran yang sepatutnya terjadi. Kebenaran yang berakar dari kenyataan dan kebenaran yang secara ideal diinginkan, di dalam kritik sastra disebut dengan kebenaran hidup (the truth to life).

Penafsiran ukuran kebenaran yang lain adalah ukuran kebenaran dari segi perlambangan (the criterion of symbolic truth). Konsep ini lebih luas dan lebih lempeng dari penafsiran yang pertama. Konsep kebenaran perlambangan diartikan sebagai suatu bentuk kegiatan penilaian suatu karya sastra bukan sebaggai salinan gambaran kehidupan sehari-hari, tetapi dalam bentuk kiasan dan perlambangan terhadap berbagai segi kehidupan yang aneka ragam coraknya itu. Kepada pembaca diminta kemampuan untuk memberikan tafsiran secara benar untuk kemanfaatan kehidupannya.

Ide tentang kebenaran yang dilambangkan dalam suatu kesusasteraan dapat memberikan jawaban yang wajar: mengapa kita dapat menerima cerita-cerita dongeng atau cerita kepahlawanan yang diperbaurkan dengan kesaktian dan keajaiban itu sebagai suatu bentuk karya sastra yang bernilai.

Dari uraian di atas dapat kita simpulkan, bahwa kebenaran bila dijadikan ukuran dalam menilai karya sastra, harus ditafsirkan secara betul. Kalau kita tafsirkan secara salah, kita tidak bakal dapat menggunakan ukuran tersebut secara berdaya guna.

ALIRAN BARU dalam kritik sastra (new criticism) merupakan pendekatan kritik, sastra yang menitikberatkan analisisnya pada segi intrinsik suatu karya sastra dengan mengabaikan segi-segi ekstrinsik. Para pengeritik meletakkan tumpuan perhatian kepada masalah isi dan bentuk karya sastra, dengan kata lain segi struktural dipisahkan dengan segi-segi yang melatarbelakangi penciptaan karya sastra tersebut. Aliran baru ini dikembangkan oleh pengeritik-pengeritik Amerika seperti John Crowe Ranson, R.P. Blackmur, Cleanth Brook, Robert Penn Warren, dan lain-lain.

Yang dikaji oleh pengertik yang menganut aliran baru (new criticism!) ini adalah segi-segi yang membangun karya sastra, aliran yang hanya terdapat di dalam karya sastra, tidak dipersoalkan segi-segi sosial kemasyatakatan yang melatarbelakangi kehadiran karya sastra itu, malahan juga tidak diperhatikan siapa yang mengarangnya serta sejarah kelahirannya. Segi-segi struktural yang dibicarakan adalah tema, alur, setting, penokohan, gaya penulisan atau gaya bahasa dalam suatu karya fiksi. Karya puisi yang diperhatikan adalah bagaimana pengimajinasiannya (imagery), bagaimana pemanfaatan metafora, apakah pengertian yang dapat diperoleh dari puisi tersebut.

Aliran baru ini bukannya tidak mendapat tantangan dari pengeritik-pengeritik lain. Tantangan itu terutama ditujukan pada pelengahan aliran ini terhadap segi kesejarahan dan hal-hal yang melatarbelakangi kelahiran suatu karya sastra. Mereka beranggapan bahwa bahwa tidak sepantasnya memisahkan suatu karya sastra dari lingkungan tempat dan waktu kelahirannya. Para pendukung aliran struktural ini menganggap bahwa kelahiran suatu karya seni bukanlah produk sejarahh tetapi semata-mata sebagai bentuk pengertian (meaningful structurs) yang tidak tergntung kepada tempat tertentu dan waktu tertentu.

Di antara kritikus Barat yang mengemukakan kelemahan aliran kritik struktural ini adalah Rene Wellek dalam bukunya Concepts of Criticism. Wellek berpendapat bahwa kritik struktural ini hanya dapat dipraktikkan dalam bidang perpuisian saja, dan kurang dapat diterapkan dalam bidang fiksi dan drama. Selanjutnya dikatakan, bahwa penganut kritik struktural melepaskan diri dari dalam kajiannya dengan linguistik modern, karena  itu mereka tidak menelaah retorika, diksi. Rima, dan lain-lain. Bahkan dikatakan bahwa mereka kurang menginsyafi karya sastra sebagai suatu sistem, mereka tidak memperhatikan ciri khas sastra sebagai tanda (semiotil). Bahkan dikatakan bahwa mereka, penganut aliran new criticism ini tidak mempunyai asas estetika yang kokoh.

ALIRAN STRUKTURAL muncul : Hal ini terjadi setelah aliran baru (new criticism)  luntur. Aliran yang muncul itu bermacam-macam-macam. Kritik sastra mulai membaurkan beberapa macam pendekatan ilmu bahasa dengan ilmu sastra. Aliran strukturalis ini berkembang dengan pesat di Eropa.

Mukarovskij seorang strukturalis Tsjeko mengemukakan aspek tanda (sign) sebagai ciri khas karya seni dan seni seluruhnya mengisyarati sesuatu yang ditafsirkan dan diberi makna oleh pembaca. Dalam hubungan ini, dipadukan fungsi estetika dengan fungsi sosial. kedua hubungan itu saling tentu-menentukan, saling mempengaruhi, saling memperkaya.

Alira strukturalis muncul pula di Prancis, dari Amerika Serikat, melalui pertemuan ilmiah Jacobson dan ahli antropologi Clade Levi-Strauss, 19655, kemudian menimbulkan berbagai aliran dan pendekatan. Pendekatan itu antara lain (a) Deskripsi teks berdasarkan analisis ilmu bahasa strukturaal, (b) Pendekatan yang menekankan peranan pembaca, teks dipandang sebagai homo significans (Roonald Barthes). Dia memasukkan unsur semantik ke dalam analisis struktural dan menempatkan teks dalam lingkungan budaya, (c) Pendekatan narratologi, yaitu usaha membuat tata bahasa untuk cerita rekaan, dan tata cerita yang bersifat universal, bahkan menyusun tipografi struktur cerita dongeng.

Aliran strukturalis ini mendapat kritikan pula dari aliran kritik Marxis. Menurut pendapat kelompok ortodoks Marxis, sastra sebagai unsur supra-struktur masyarakat ditentukan oleh basis ekonomi; sastra membayangkan kenyataan ekonomi dan kenyataan sosial. oleh sebab itu, kenyataan ekonomi dan sosial harus dijadikan tolok ukur dalam melakukan kritik sastra. Di dalam praktik sering terjadi norma politik disalin menjadi norma atau ukuran kritik sastra. Tetapi di kalangan neomarxis, khususnya dunia Barat, menentang beberapa aspek teori marxisme klasi. Mereka mengatakan bahwa sastra sebagai pencerminan langsung dari kenyataan ekonomi merupakan realisasi beku (Brecht). Kesenian adalah sesuatu yang otonom, kita harus menganggap penting karya-karya pelopor, walaupun bertentangan dengan norma masyarakat (Adorno). Pada umumnya mereka (para penganut strukturalis) diinsyfkan bahwa sastra tidak berbeda dalam kekosongan, bahwa sastra mempunyai hubungan dengan dunia nyata.

KECENDERUNGAN BARU dalam kritik sastra muncul, strukturalis mendapat kecaman dari sana  sini. Orang mulai mempertimbangkan aspek pembaca, yaitu aspek penerimaan karya sastra yang dilakukan oleh pembaca diperhatikan. Walaupun masalah resepsi atau penerimaan ini dapat menimbulkan ribuan tafsiran, bersifat subyektif, namun dianggap bahwa subyektifitas  itu bukanlah subyektifitas yang semau-maunya saja, yang tidak terkendalikan. Tradisi sastra lebih dari hanya rangkaian proyeksi subyektif saja. kita memerlukan strukturalis yang dinamis. Aspek semiotis perlu diperhatikan dalam menilai struktur suatu karya sastra. Akhirnya dalam pendekatan yang terbaru diusahakan untuk menggabungkan keempat dimensi sastra, yaitu: obyektif, ekspresif, dan reseptif.

Bagaimana dengan ukuran kritik sastra di Indonesia ?  pertanyaan ini sulit untuk dijawab. Kesulitan itu disebabkan umur kritik sastra di Indonesia masih cukup muda. Para kritikus dengan dasar pengalaman dan pendidikan masing-masing mencoba untuk berbuat, dan hal itu masih terus berlangsung. Tetapi tidak berarti kita tidak dapat memperbincangkan mengenai tolok ukur dalam kritik sastra di Indonesia atau kritik sastra di Indonesia.

Bila diperhatikan berbagai karya kritik atau tulisan-tulisan tentang kritik sastra di Indonesia mungkin kita dapat mengklasifikasikan beberapa kelompok :

1.           Mereka yang menolak ukuran-ukuran kritik yang muncul dari Barat, tetapi ia sendiri belum memiliki pola atau ukuran sendiri.
2.           Mereka yang menggunakan ukuran kritik sastra dari Barat.
3.           Mereka yang memakai ukuran Barat yang dianggap relevan dengan menggabungkannya dengan ukuran sendiri yang dibentuk dengan pengetahuan teoritis dari pengetahuan Barat.

Bagaimanapun, tradisi kritik sastra itu kita terima dari Barat. Di dalam sastra melayu klasik tidak kita jumpai adanya tradisi kritik sastra ini. Masuknya kritik sastra ke tanah air kita justru bersamaan dengan masuknya pengaruh sastra dan pendidikan Barat. Satu hal yang jelas adalah kita harus memperhatikan atau memilih ukuran dan perbedaan kritik sastra yang sesuai dengan kondisi Indonesia, dalam arti bahwa kritik atau telaahan sastra itu dapat dijadikan salah satu perangkat alat pendorong pertumbuhan dan perkembangan dunia sastra di Indonesia, termasuk di dalamnya dunia kritik sastra.

Tentang ukuran dan pendekatan kritik ditanah air kita, kiranya patut diperhatikan apa yang dikatakan oleh Prof. Dr. A. Teew dalam kertas kerjanya pada penataran sastra tahap I yang dilaksanakan oleh Proyek Pengembangan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, di Tugu Bogor, dari tanggal 8 September sampai dengan 6 November 1978.

Dalam penelitian struktur sastra harus ada kesadaran akan tempat karya sastra dalam keseluruhan sastra, dalam tradisi budaya, dalam sejarah bahasa, dan lain-lain. Jadi tidak cukup dan tidak baik kalau struktur-dalam diteliti tanpa perhatian untuk aspek lain menurut keadaan. Sedapat dan di mana mungkin penelitian struktur harus dibingkai dalam kadar teori yang lebih luas; sejarah sastra, fungsi budaya, resepsi masyarakat, unsur ekspresi, pandangan dunia.

B.          Pertanyaan Pemahaman

1.           Apakah yang dimaksudkan dengan ukuran didaktik dalam kritik sastra ?
2.           Jelaskan apa yang dimaksudkan dengan kebenaran dalam suatu karya sastra ?
3.           Uraikan secara singkat tentang aliran baru (new criticism) dalam kritik sastra ?
4.           Sebutkan ukuran yang digunakan penganut aliran struktural !
5.           Bagaimanakah sebaiknya kritik sastra dilakukan di Indonesia menurut Prof. Dr. A. Teew ?

   SP42 —



Pustaka : Drs. Atar Semi, Kritik Sastra 
Penerbit : ANGKASA Bandung 1984



Tidak ada komentar:

Posting Komentar