Image "Puan Tahun" (Foto: SP091257) |
Nina Bobok – Sabtu, 30 November 2013 - 16:20 WIB - Diceritakan dahulu kala, di
tengah-tengah hutan yang lebat, Kalimantan, tinggal dan hidup sepasang suami
istri beserta dua orang anaknya. Kedua
orang tua ini sudah berusia setengah umur, sedangkan kedua anaknya, yang sulung
berusia lebih kurang dua belas tahun, dan yang bungsu berumur lebih kurang lima
tahun. Keadaan hidup mereka sangat menyedihkan karena hanya hidup dari berhuma
atau berladang. Meskipun tiap-tiap tahun selalu mendapat padi dari hasil
humanya, namun masih selalu hidup dalam kekurangan. Keadaan semacam itu
berjalan terus-menerus dari tahun ke tahun tanpa ada perubahan yang cukup
berarti bagi mereka. Keadaan semacam inilah yang mempengaruhi kehidupan mereka
dan anak-anak mereka tanpa ada batasnya.
Jika kedua suami istri ini pergi
ke huma, maka anaknya yang sulung mengasuh adiknya di pondok. Dalam keseharian
tampak nyata, bahwa kedua orang tua ini tidak menyukai atau membenci kedua
orang anaknya. Kalau hendak menanak nasi, ditunggunya dahulu kedua anaknya itu
tidur, dan jika sudah masak bergegas mereka makan dengan lahapnya sampai tak
tersisa. Hanya kerak-kerak nasi saja yang diberikan kepada kedua anaknya .
Saat sampai pada musim membuat
huma atau ladang, kedua suami istri itu pun bekerja memenebas hutan lebat.
Sedang asyik mereka menebas hutan, terdengar kedua anaknya berteriak minta
makan, “Ooo... pak, ooo... mak, perut kami lapar, ‘ndak makan sembela padi,
‘ndak makan sembela pulut!”. Mendengar kedua anaknya minta makan, bapaknya
menyahut: “Kendia dulu... nak, etam sedang menebas huma!”.
Sejak menebas hutan sampai
menebang kayu yang sudah memakan waktu hampir setengah hari itu, kedua anaknya
belum juga diberi makan. Maka terdengar lagi teriakan kedua anaknya yang
kelaparan, “Oo... pak, ooo... mak, perut kami lapar sekali, ‘ndak makan sembela
padi, ‘ndak makan sembela pulut!”.
Mendengar itu lalu ibunya
menyahut pula, “Kendia dulu nak, etam lagi nebangi kayu!” Setelah mendengar
jawaban ibunya itu, maka berdiamlah kedua anaknya itu di dalam pondok.
Dari menebang kayu, menebar reba
sampai membakar dan menduru, kedua anaknya selalu berteriak minta makan, tetapi
selalu dijawab secara berganti-ganti oleh kedua orang tuanya. Demikian
peristiwa itu terjadi terus menerus. Sejak mulai menanam, merumput, mengetam
atau memotong, hingga akhirnya sampai pada menumbuk padi untuk mendapatkan
beras baru, selalu terdengar suara anaknya berteriak-teriak minta makan dan
selalu dijawab dengan jawaban yang sama, “etam dulu nak, karang dulu nak, nasi
etam parak masak”.
Ketika nasi sudah masak,
terdengar lagi kedua anaknya berteriak minta makan. Maka dijawab oleh orang
tuanya: “Baik, sekarang pergilah nak, ngalak daun pisang di pinggir huma etam,
tu!”. Jawab ibunya sambil memberikan sebilah pisau kepada anaknya. Anaknya
segera turun dari pondok, sambil membopong adiknya lalu mendekati kedua orang
tuanya mengambil pisau untuk memotong daun pisang kemudian berjalan menuju ke
sebuah huma yang kata kedua orang tuanya ada pohon pisangnya. Akan tetapi di
sana ternyata tak ada pohon pisangnya. Maka anaknya bertanya lagi kepada orang
tuanya, “Mana pohon pisangnya, mak?” dijawab oleh ibunya, ”Nun, jauh lagi nak!
‘tu di pinggir huma sana, kalau masih tak ada terus saja berjalan terus sampai
ke hutan sana!”
Anaknya yang sulung sambil
menggendong adiknya kembali ke huma bahkan terus berjalan menuju kedalam hutan
sebagai mana yang diperintahkan oleh orang tuanya. Sementara kedua anaknya berjalan menuju hutan
untuk mengambil daun pisang, kedua suami istri itu segera makan nasi yang telah
dimasaknya tadi sampai tak tersisa. Setiba di hutan, sambil menurunkan adiknya,
berkatalah si kakak kepada adiknya, “Dik, rupanya bapak dan ibu kita sudah tak
suka lagi kepada kita berdua, dan tak menganggap lagi kita sebagai anaknya.
Kita berdua disuruhnya mengambil daun pisang sampai jauh di hutan ini, sedang
mereka berdua makan dengan lahapnya di pondok. Lebih baik kita berdua pergi
saja dan tak usah kembali lagi. Biarlah kita berdua mati kelaparan di dalam
hutan lebat ini dari pada kembali ke pondok”.
Setelah berkata demikian, maka
kedua kakak beradik itu berjalan menyusuri hutan tanpa tujuan. Sampai
berhari-hari mereka berjalan mengikuti kemana kaki melangkah. Jika malam tiba
mereka beristirahat dan tidur di sela-sela akar kayu. Jika pagi menjelang
mereka kembali berjalan tanpa tujuan. Untuk bertahan hidup mereka makan
pucuk-pucuk daun muda.
Saat matahari mulai condong ke
barat tanda hari mulai menjelang petang, kedua kakak beradik itu menemukan pohon
jambu biji yang buahnya demikian lebat. Karena
perutnya sudah demikian lapar, maka tanpa pikir panjang lagi sang kakak sambil
mengendong adiknya memanjat pohon jambu biji itu dan memetiknya. Di atas batang
jambu yang cukup kuat mereka membuat para-para untuk tinggal sementara
menghindari binatang buas yang berkeliaran di malam hari karena pada saat itu
hari pun sudah mulai gelap. Setelah selesai membuat para-para adiknya
diletakkan di atas para-para, sedangkan kain yang tadi dipakai untuk
menggendong adiknya tadi digantungkan pada sebuah dahan sebagai ayunan tempat
tidur adiknya.
Demikianlah keadaan kedua kakak
beradik itu bertahan hidup. Jika lapar mereka makan buah jambu biji yang banyak
mengelantung di sekitar mereka. Tempat tinggal mereka di atas dahan pohon jambu
itu diperbaiki, diberi atap dan dinding yang terbuat dari daun-daun “betete”
yang banyak berserakan di sekitar mereka.
Suatu ketika, di pagi hari yang
cerah, saat sang kakak menunggui adiknya yang sedang tidur di dalam ayunan,
lewat seekor babi hutan yang sedang kelaparan. Babi itu memakan jambu-jambu
biji yang banyak jatuh berserakani bawah pohon jambu biji itu. Melihat
peristiwa ini, timbul pikiran sang kakak untuk membunuh babi itu sebagai
santapan sedap di pagi hari dengan menggunakan pisau raut yang dibawanya untuk
memotong daun pisang. Sang kakak pun kemudian memetik buah jambu biji yang
sudah masak, lalu dipotong-potongnya jambu biji tersebut menjadi beberap
potong. Jambu-jambu biji itu kemudian dimasukkan secara berjejer ke dalam pisau
rautnya yang tajam itu. Beberapa saat kemudian sang kakak menjatuhkan
potongan-potongan jambu biji yang berjejer pada pisau rautnya itu ke tanah
dengan sang babi hutan sedang mengendus-endus buah jambu. Melihat potongan buah
jambu biji yang demikian menggiurkan dengan warna merahnya, babi hutan tersebut
langsung memakan buah jambu tersebut sampai pisau rautnya pun ikut ditelannya.
Begitu ditelan tentu saja pisau raut yang tajam itu menusuk dan merobek
tenggorokan babi hutan yang kelaparan itu. Merasa kesakitan, babi hutan itu
mengguik-guik panjang, dan berputar-putar,darah segar mengucur deras dari leher
dan tenggorokannya yang robek, mengelepar jatuh dan mati saat itu juga.
Melihat babi sudah mati, turunlah
si kakak dari atas pohon jambu, mendekati babi yang sudah mati. Pisau yang ada
di leher babi itu lalu dicabutnya, kemudian mulailah dia memotong-motong daging
babi itu untuk disalai. Setelah segalanya selesai dikerjakan, termasuk tempat
salainya pula, maka termenunglah si kakak memikirkan bagaimana cara mendapatkan
api. Sejenak dia berpikir sambil mendongakkan kepalanya ke atas lalu berkata
kepada adiknya yang masih ada dalam ayunan. Pada waktu itu adiknya sudah bangun
dari tidurnya, “Dek..., ronoh-ronoh awak di ayunan itu, jangan bergerak-gerak
yoh! Aku ndak naiki puhun kayu yang tinggi tu, melihat-lihati takut ada taus
api urangnya parak”.
Setelah berkata demikian, lalu si
kakak menuju ke pohon kayu yang tinggi, lalu memanjat menyusururi akar-akar
yang membelit dan bergantung di pohon itu. Ia memandang ke sekelilingnya,
memperhatikan kalau-kalau ada asap api yang tampak. Hatinya pun bergembira,
karena dari arah barat tampak mengepul-ngepul asap api membumbung ke udara.
Tanpak banyak buang waktu, ia pun turun kembali, sambil berkata dalam hatinya,
“sudah tentu di dekat sini ada pondok, karena setiap ada asap api, sudah barang
tentu ada penghuninya”.
Sesampai di tanah, ia pun menaiki
kembali pohon jambu untuk mengambil adiknya untuk dibawa pergi mencari rumah
orang yang ada asap apinya sebagaimana yang dilihatnya tadi. Sambil mendukung
adiknya, ia pun berjalan menuju ke arah barat naik turun gunung, menyusuri
lembah dan dataran tinggi dan dataran rendah. Dari jauh dilihatnya sebuah
pondok dengan tiang yang tinggi dan besar-besar. Ia merasa heran melihat pondok
besar itu, karena tidak seperti biasanya pondok yang dihuni oleh manusia biasa.
Hatinya bertanya-tanya, siapakah pemilik dan penghuni pondok itu. Akan tetapi
karena didorong oleh keinginan untuk mendapatkan api, maka diputuskan oleh
kedua kakak beradik ini untuk berjalan terus menuju pondok tersebut meskipun
secara sembunyi-sembunyi.
Ketika diketahui penghuni pondok
itu adalah dua Uan Gergasi (raksasa)
suami istri, si kakak menjadi ketakutan, badannya menggigil, jantungnya serasa
copot, kakinya terasa lemah dan bergetar hampir
tak kuat lagi untuk berdiri. Dari dalam pondok besar itu
terdengar suara raksasa laki-laki berkata kepada istrinya, “Grrr... hmmm, nyam,
nyam, nyam, ada bau manusia di dekat sini istriku! Baunya telah kucium, hmmm...
grrr... dan kita harus hati-hati istriku, karena manusia umumnya licik dan
sangat pintar”.
Tidak berapa lama kemudian,
tampaklah kedua Uan Gergasi suami istri
itu turun dari pondoknya, untuk merampas hewan ternak manusia yang ada di
sekitar kampung. Sebelum berangkat kedua Uan Gergasi itu menghitung semua harta
benda yang ada di pondoknya khawatir
kalau-kalau sepeninggal mereka mencari khewan ternak ada yang
mencurinya. Dari yanng besar sampai yang kecil. Bahkan kayu api pun mereka
hitung juga. Setelah mereka selesai menghitung harta bendanya barulah mereka
berangkat meninggalkan pondoknya dengan perasaan aman.
Sementara Uan Gergasi pergi,
kedua kakak beradik yang bersembunyi di semak-semak segera mendekati pondok Uan
Gergasi, lalu naik melalui tangga menuju ke dalam pondok. Tiba di muka pintu
yang kebetulan tidak ditutup mereka langsung masuk menuju dapur untuk mengambil
sebatang kayu api yang masih menyala dan terus kembali pulang menuju pohon
jambu tempat tinggalnya.
Tiba di pohon jambu tempat
tinggalnya, si kakak mendudukkan adiknya di tanah lalu menyalai daging babi
dengan kayu api yang tadi dicurinya di pondok Uan Gergasi. Sedang asyik mereka
makan salai daging babi, tak dinyana dan tak disangka-sangka kedua Uan Gergasi
suami istri datang sambil berkata, “Grrr... hmmm...,
nyammm...nyammm...nyammm..., eee... manusia, eee... halus, eee..., huaaa... ha,
ha, ha, haaa..., kamu berdua akan kami makan, nyammm, nyammm... kamu telah
mencuri kayu api di pondok kami...!!!”
Mendengar kata-kata dan ancaman
suami istri Uan Gergasi yang laksana guntur di siang hari, menggigillah tubuh
kedua kakak beradik itu ketakutan, dan berkata hiba memohon ampun, “Oh, Uan
Gergasi berdua, ampunilah kami, jangan makan kami, sebab tubuh kami terlalu
kecil dan tidak akan membuat kenyang Uan Gergasi berdua”.
Mendengar penuturan kakak beradik
itu, Uan Gergasi laki-laki berkata, “Grrr..., kamu betul juga. Hmmm... eee...
baiklah, kamu berdua masih kuampuni, tetapi musti ada penggantinya, hmmm...
glek, glek, glek... nyammm, nyammm... Oya, salai babi ini kuambil semuanya...
grrr... glek, glek, glek!”
“Baiklah kakek dan nenek Uan
Gergasi, tapi tinggalkanlah barang sepotong untuk makan kami berdua!” demikian
pinta kakak beradik dengan kata-kata dan tubuh yang masih menggigil ketakutan.
Sepeninggal kedua Uan Gerdasi, si
kakak mencari akal bagaimana caranya agar bisa mengambil kembali daging babi
yang sudah dirampas oleh suami istri Uan
Gergasi itu. Ketika malam tiba, maka kedua kakak beradik itu mendatangi pondok
kediaman Uan Gergasi. Setiba di sana lalu keduanya bersembunyi di bawah kolong
pondok itu sambil mencari akal bagaimana cara menaiki tangga dan masuk ke
dalam pondok Uan Gergasi. Saat mereka
berpikir keras mencari cara masuk ke dalam pondok, tiba-tiba terdengar suara
istri Uan Gergasi berbicara kepada suaminya, “Etam ni leh... tubuh etam besar
panggar, apa jua ndik ada etam takuti. Jadi etam ini ndik ada nya dapat berani
melawan etam. Dada etam aja tujuh bidas, tinggi etam tujuh depa, mitu jua
dengan jeriji tangan etam, tegak pisang kampar. Adakah lagi ya dapat
mengalahkan etam, dan amun nya ada, coba hak padahi aku, kan nyaman ku tahu”.
“Wah,etam ndik ada nya ngalahkan,
baik manusia maupun binatang-binatang hutan, biar macam apa jua bentongnya,
tapi ada sebuting maha nya etam takuti. Aku ndik kehemadahi awak tu, takut
kendia didengar oleh manusia. Amun didengarnya, ceh... mati hak etam, ini hak
nya benar-benar etam takuti tu”.
Istrinya mendesak terus agar
kepadanya diberitahukan apa yang sebenar-benarnya ditakuti itu. Oleh karena
terus didesak, maka suaminya memberitahukan, “Baik hak, kupadahi awak, tapi
hawas, jangan sampai didengar oleh manusia, sebab beberapa hari ini, awak
sendiri dah tahu, petongot api etam dicuri oleh manusia, untung etam dapat
ngalaknya”.
“Jadi apahak nya etam takuti itu,
padahi hak aku, sebab ndik ada jua manusia nya kehe datang-datang tengah malam
mendengar etam ncarang ni,” ujar istrinya pula. Suaminya terdiam sebentar, lalu
berkata, “Tahu awak apa nya etam takuti ‘tu”.
“Ndik tahu,“ ujar istrinya.
Kemudian suaminya memberitahukan, ujarnya, “Nya etam takuti, sebuting maha,
yaitu hantu Ting Ting Uwit. Hantu ini
besar mandik, halus mandik, tapi dapat membunuh etam nya besar panggar ni.
Untuk nyuruhnya lari amun nya ada bebunyi, etam tebaki dengan tumpi besar
lewang, makanya ‘tu apa sebabnya awak kusuruh
bersedia tumpi itu”.
“Macam apa bunyinya?” tanya
istrinya pula. “Hah... awak ni, terus-terusan minta dipadahi”, ujar suaminya
agak marah. “Kendia tu kupadahi awak, didengar oleh manusia, nah...alamat etam
ndak mati. Tapi supaya awak tahu, bunyinya tegak ini: TingtingUwit, tendak
papan tembus, tendak dasar tembus, tendak tikar tembus, tendak burit Uan
Gergasilaki-bini”.
Setelah mengetahui apa yang
mereka takuti itu, istrinya pun terdiam tanpa berkata-kata lagi, takut kepada
manusia kalau rahasia mereka ini sampai diketahuinya. Padahal pembicaraan Uan
Gwegasi suami istri itu, jelas didengar oleh kedua kakak beradik yang
bersembunyi di bawah pondok itu. Kini tahulah mereka, bahwa Uan Gergasi itu
takut kepada hantu Tingting Uwit. Bagaimana
macam dan rupa hantu itu, mereka sendirri belum tahu, tapi yang nyata sekarang
mereka harus memperdayakan kedua Uan Gergasi suami istri itu. Saat hari sudah
jauh malam, kakak beradik itu pun kembali pulang ke tempat mereka di pohon
jambu.
Pada keesokan malamnya, kedua
kakak beradik pergi lagi dan bersembunyi di bawah pondok Uan Gergasi. Mereka
menanti saat tengah malam, agar mereka dapat melaksanakan rencananya yang telah
disusun pada siang tadi. Ketika terdengar suara burung hantu tanda hari sudah
menjelang tengah malam, maka si kakak melaksanakan apa yang sudah
direncanakannya. Bersamaan dengan terdengarnya suara burung hantu yang kedua
kalinya, si kakak meniru suara bunyi hantu Tinting Uwit, demikian bunyinya,
“Tinting
Uwit, Uwit,
tendak
papan tembus,
tendak
dasar tembus,
tendak
tikar tembus,
tendak
burit Uan Gergasi
laki
bini!”
Uan Gergasi yang hendak tidur mendengar suara yang
berbunyi di bawah pondok mereka. Suara hiruk pikuk terdengar di dalam pondok
itu, dan akhirnya kedua Uan Gergasi itu bersembunyi di dalam gulungan tikar.
Tetapi tidak lama kemudian, terdengar bunyi burung hantu itu, Ting, Ting, Uwit,
tendak papan tembus, tendak dasar tembus, tendak tikar tembus, tendak burit Uan
Gergasi laki-bini”.
Nah..., inilah kataku tadi, engkau suka usilan
bertanya tentang hantu Tingting Uwit,” ujar suaminya sedikit marah kepada
istrinya. “Lekas, engkau ambil dan lempar dengan tumpi itu, supaya hantu
Tingting Uwit itu lari.”
Istri Uan Gergasi itu segera melaksanakan perintah
suaminya. Sekalipun dia dalam ketakutan yang teramat sangat, dilemparnya juga
tumpi sebesar nyiru itu ke tanah tempat suara hantu Tingting Uwit. Tumpi itu
tepat jatuh di dekat kedua kakak beradik bersembunyi, dan pada saat itu pula
tumpi itu lalu diambil oleh si kakak dan dibawa pulang ketempatnya di pohon
jambu.
Berhasil menkut-nakuti Uan Gergasi dengan suara
yang menyerupai suara hantu Tingting Uwit, mereka telah mendapat makanan dari
kerja akal mereka. Dan, jika tumpi itu
telah habis, maka mereka pun kembali datang ke pondok Uan Gergasi dengan
menakut-nakuti mereka dengan suara hantu Tingting Uwit. Begitu seterusnya.
Suatu ketika si kakak beradik berencana akan
membunuh suami istri Uan Gergasi. Maka dipasanglah oleh si kakak sebatang bambu
yang ujungnya sudah diruncingkan. Tepat tengah malam, maka bersamaan dengan
suara burung hantu yang kebetulan berbunyi, maka terdengan suara, “Ting, ting,
Uwit, tendak papan tembus, tendak dasar tembus, tendak tikar tembus, tendak
burit Uan Gergasi laki-bini sampai mati”.
Mendengar suara hantu Tingting Uwit itu berbunyi
dari bawah pondok mereka, disuruhnya pula istrinya melemparkan tumpi untuk
memburu hantu Tingting Uwit. Tetapi sebelum istrinya pergi mengambil tumpi
tersebut, terdengar pula suara, “Ting, ting... Uwit, tumpinya ndik nyaman,
biar Uan Gergasi suami istri kutelan.”
Mendengar suara hantu Tingting Uwit yang terakhir
ini, bertambah takutlah kedua Uan Gergasi suami istri itu. “Wah... celaka kita
sekarang, “ ujar Uan Gergasi itu kepada istrinya.” Tumpi kita dikatakan tidak
enak, lebih baik kita lari saja, dan kita berdua akan ditelannya. Dar ipada
kita berdua mati ditelan hantu Tingting Uwit itu, lebih baik kita lari saja,
dengan melompat dari jendela pondok ini. Sudah pasti hantu Tingting Uwit ini
akan naik ke pondok kita.”
Tanpa pikir panjang lagi, dipengaruhi perasaan
takut, sambil masih bergulung dalam tikar, keduanya lalu melompat dari jendela.
Malang tak dapat diraih, kedua Uan Gergasi itu jatuh ke tanah, tertusuk bambu
yang ujungnya sudah diruncingkan yang tadi dipasang oleh kakak beradik itu. Dan
seketika itu pula kedua Uan Gergasi itu tewas karena tubuhnya tertembus bambu
runcing. Tamatlah riwayat Uan Gergasi suami istri yang suka mengganggu manusia.
Setelah melihat Uan Gergasi tewas oleh bambu
runcing yang dipasangnya itu, kedua kakak beradik itu naik ke atas pondok.
Sesampai di atas pondok mereka mencari tempat untuk merebahkan badan mereka
tertidur sampai pulas benar. Saat matahari terbit mereka terbangun karena
adanya suara gaduh di dalam pondok itu. Mereka mencari dari mana asalnya sumber
suara gaduh itu. Ketika mereka membuka pintu salah satu kamar, alangkah
terkejutnya mereka menyaksikan apa yang nampak di depan mereka. Di dalam kamar
besar yang layaknya seperti penjara itu, mereka menyaksikan berpuluh-puluh
manusia yang kurus kering bagaikan mayat hidup. Tubuhnya sudah tidak sempurna
lagi, ada yang matanya tinggal satu, tangannya hanya sebelah dan lain
sebagainya.
Demi melihat keadaan seperti itu, timbullah
perasaan iba sang kedua kakak beradik itu. Mereka semua lalu diberi makanan
secukupnya serta mengobati semua yang luka. Setelah kesehatan mereka pulih
kembali, maka orang-orang itu semuanya disuruh pulang ke tempat mereka
masing-masing dengan membawa bekal dari
pondok Uan Gergasi yang masih tersisa.
Kini tinggallah kedua kakak beradik itu di dalam
pondok Uan Gergasi dengan tentram tanpa harus takut diganggu karena Uan Gergasi
sudah tewas. Pada hari-hari berikutnya kedua kakak beradik itu memeriksa ke
setiap sudut-sudut rumah, dan membersihkan rumah tersebut dari benda-benda yang
membuat kotor rumah tersebut. Bermacam-macam keanehan ternyata ditemukan, oleh
kedua kakak beradik itu lalu dimusnahkan. Dalam rumah itu terdapat pula
berpuluh-puluh tempayan berisikan berupa-rupa beras, beras biasa, beras pulut,
sembela padi, dan sembela pulut. Di antaranya ada pula yang berisikan pekasam,
semacam wadi. Ada pekasam babi, rusa, lembu, dan lain-lainnya. Kemudian oleh
kedua kakak beradik itu, rumah Uan Gergasi itu diubah sesuai ukuran dan selera
si kakak beradik.
Demikianlah keadaan kedua kakak beradik itu, dari
hari ke hari, dari pekan ke pekan, dan dari bulan ke bulan hingga tahun ke
tahun, keadaan kedua kakak beradik itu berubah dan tubuhnya semakin membesar sesuai perkembangan usia mereka. Adiknya
sudah bisa membantu pekerjaan kakaknya.
Pada suatu hari berkatalah si kakak kepada adiknya,
“Dik..., jika persediaan makanan dalam pondok peninggalan Uan Gergasi kita
makan terus-menerus tentu akan habis, sedangkan kita harus terus hidup. Oleh
karena itu menurut pendapat kakak sebaiknya kita berdua membuka ladang,
berhuma, dan kita olah menurut kemampuan kita. Biar kecil asal kita
mengerjakannya dengan tekun, ulet dan rajin berkerja keras tentu akan
menghasilkan yang bisa kita makan untuk kelangsungan hidup kita”. Mendengarkan kakaknya berkata demikian sang
adik menjawab, “Baiklah kak, tapi aku ikut pula menebas pepohonan menurut
kekuatanku.”
Akhirnya kedua kakak beradik itu bermupakat untuk
membuka ladang tepat pada musim ladang. Setelah tiba waktunya musim ladang,
mulailah mereka berkerja membuka ladang. Dari pagi hingga menjelang petang
mereka melakukannya dengan semangat kerja yang demikian tinggi. Menebang
pohon-pohon, membakar semak belukar, menduru, sampai pada akhirnya terbukalah
ladang yang siap untukmereka garap. Ketika sampai pada hari yang menurut mereka
baik untuk menanam padi maka mereka pun mulai menanami ladang mereka dengan
bibit-bit padi yang sebelumnya sudah mereka pilih dan kumpulkan. Luas ladang
mereka tidak terlalu luas, dibuat dengan bentuk melebar mengelilingi sebuah
tunggul kayu besar yang terdapat di situ. Benihnya hanya sebanyak 1 kulak atau 2 kg. Demikian keadaan ladang
mereka dibuat menurut kemampuan mereka yang masih kanak-kanak. Setelah padinya
tumbuh, mereka pelihara dengan penuh semangat dan penuh kehati-hatian.
Rumput-rumput yang mengelilingi padi mereka bersihkan.
Setelah musim merumput berlalu, tibalah masa musim
panen padi. Setiap sore dibuatlah api di sekitar ladang itu guna memburu segala
pemangsa dan hama-hama padi yang akan merusak buah padi yang mulai keluar. Pada
akhirnya buah padi itu mulai masak dan akan mulai dipotong. Sebelum turun
memotong atau mengetam padi, ditepungtawarilah padi menurut pemikiran kedua
kakak beradik itu, selanjutnya bekerjalah mereka memetik hasil jerih payah mereka
selama ini.
Suatu ketika saat kakak beradik itu sedang asyik
mengetam padi, tiba-tiba datang seorang perempuan tua dengan membawa sebuah
bakul tempat padi. Perempuan tua itu mendekati kedua kakak- beradik lalu
berkata, “Cu..., dapatkah kita berdua ni mbawak aku ngetam. Aku ndak umpat urang di dinun..., nun di sepihak
gunung situ, urang nindak mbawak. Kan upahku, ‘tu barang aja sepemberi cucu
berdua. Aku ndik milih.”
Mendengar permintaan perempuan tua yang
menghiba-hiba itu, timbul rasa belas kasihan di hati kedua kakak-beradik, lalu
si kakak menjawab, “Siannya kita... nek, culas benehan urang didinun, mandik
ndak mbawak nenek. Baik hak kita umpat ngetam padi di humaku nya sedikit ni,
biar nya cepat pupus.”
Demikianlah mereka bertiga mengetam padi di ladang
yang kecil itu, sambil berbicara dan bersenda gurau. Dalam pada itu, kedua
kakak-beradik kadang-kadang merasa heran mendengar perempuan tua itu
berkata-kata sendirian seperti orang yang membaca mantra, tetapi mereka hanya
berdiam diri saja. Mereka terus bekerja, mengetam padi tanpa menghiraukan
kelakuan perempuan tua tersebut.
Sudah satu kerangking (tempat padi) yang penuh,
namun padi masih banyak yang belum diketam. Ketam /dipotong arah di muka, maka
keluar pula buah padi yang lebat dan masak, pada bekas tangkai padi yang
dipotong, dan bila diketam di arah belakang, maka berbuah pula dengan lebatnya
pada tangkai yang bekas dipotong tadi. Kedua kakak beradik itu merasa heran
atas kejadian itu, namun tidak dapat memikirkan lebih lanjut lagi, karena bakul
besar tempat menaruh padi yang sudah diketam sudah penuh dan harus dibawa ke
pondok mereka untuk disimpan dalam kerangking padi. Demikianlah, sudah seharian
mereka bertiga memotong padi mengelilingi tunggul kayu besar yang ada di
tengah-tengah ladang, seolah-olah padi itu tak ada habis-habisnya. Dari dapur
sampai ke tengah pondok mereka, sudah penuh sesak dengan timbunan padi yang
baru dipotong. Akhirnya kedua kakak beradik itu menyerah dan kewalahan
dibuatnya, lalu berkata kepada perempuan tua itu, “Nek..., hari dah merian,
baik hak etam berenti dulu, biar empai aja etam mupuskannya tinggal sedikit
‘tu.”
Perempuan tua itu lalu menjawab, “Amun cucuku bedua
ndak mulang, mulang hak bedulu, biar ku ngehabisi ngetamnya sedikit ‘ni, sebab
amun dipucahkan kemalaman, empai ndik ada lagi padi ni.”
Setelah berkata demikian, perempuan tua itu pun
terus memotong padi yang masih bersisa sedikit itu, dan tidak lama kemudian
tepat matahari akan terbenam, selesailah pekerjaannya. Kemudian mereka bertiga
pulang ke pondok, dan terus pergi mandi untuk membersihkan badan ke sungai.
Sekembali dari sungai, mereka makan, makanan yang sejak siang tadi sudah
tersedia. Mereka bertiga makan dengan asyiknya, karena seharian bekerja tanpa
menghiraukan makan dan minum. Selesai makan mereka duduk beristirahat di tengah
pondok sambil bercakap-cakap. Perempuan tua itu berkata, “Cu..., ndik kusangka
etam banyak boleh padi hari ini. Liat hak, tulak dalam kerangking, sampai ke
dapur penuh sesak sampai pulang e tengah pondok. Huma cucuku hanya mengelilingi
tunggur kayu pore ’tu maha, ndik tama diakal macam ni banyak bolehannya.
Biasanya amun tegak ini banyak bolehan, paling sedikit berpuluh-puluh paso
binihannya. Makanya... cu, aku madahi awak dua-diangsanak, amun cucuku ndak
mulai nebas huma ‘tu, odah timbang mana ndak mulai, cucuku bersehkan dulu
sedepa segi empat, lalu di situ tarohi tigu setulang di atas telisak, keripit
sirih lipat selimpat, dian lilin matu dan tepung tawar, lalu cucuku ncarang,
bermemang, artinya minta supaya segala jin tanh, kayu, jin hutan dan sekalian
jin, jauh dari situ, supaya cucuku jangan peramisan. Sudah ‘tu betuhing cucuku
tiga hari, dan baru mulai nebas pada hari keempatnya, dimulai arah matahari
hidup ke matahari padam. Jika sudah habis cucuku nebas, nebang, njemor reba
lalu nunu, dan waktu ndak mulai ngasak padi, kira-kira di tengah huma, cucuku
bersehkan tanah sedepa segi empat memanjang, awak lentaki dipinggirannya kayu,
anak-anak kayu aja, polah tegak kapal ‘tu, lalu di dalamnya awak tanami serai,
kunyit, lengkuas. Di buncu empat, cucuku tajaki daun lenjuang, tegak bendera.
Lalu cucuku alak buluh seruas, dan diisi air, dan dirikan/tanjakkan, di dalam,
parak segala lengkuas, kunyit, dan serai tadi. Parak dengan odah itu, cucuku
hidupi api, jangan sampai padam. Sebab amun urang ndak pegi betulak tu musti
bebekal. Inilah maksud syarat-syarat tadi. Hambat-hambat, ya..., hambat benar,
amun kawannya sebelum burung-burung, atau binatang-binatang lainnya mingat,
bakul odah binihan (bibit padi) sudah dibawa turun keodah pembinihan ‘tu,
bebaya, dengan dibawak jua, tigu, sirih nya sudah dipolah keripit dilipat
selimpat, diam dan tepung tawar. Sementara nunggui itu, awak bememang, artinya
nyruh segala jin bejauh, jangan parak. Sudah ‘tu cucuku bememang dan tepung
tawari binih padinya dalam bakul tadi, macam ni hak maksudnya; segala
bekalan-bekalan nya ndak dibawa berlayar ni sudah cukup, api, air, padi, tigu,
kripit sirih lipat selimpat, dian, serai, kunyit, lengkuas. Belayar hak kita,
amun sudah genap enam bulan kita balik mulang, bawaki kawan-kawan kita nya
sesat di jalanan atau nya mandik beodah, macam ‘tu tegak memangnya. Cucuku nungguinya du sampai timbul matahari,
dan sebelumnya polahkan hak lubang asakan tujuh buting, lalu awak puruki padi
kedalamnya dan ditepungtawari pulang.
Dah urang kedatangan ndak nulungi ngasak baru hak odah pembinihan ‘tu
cucuku tinggalkan, dan hati-hati jangan sampai bakul pembinihan itu tumpah,
sebab itu tuhing besar. Sudah sampai
waktunya awak... cu, ndak ngetam padi ‘tu sebelumnya, awak mewangi pulang, dan
tepung tawari, macamni pulang bunyinya, “Kita
datang berlayar lawasnya enam bulan ‘tu, dan tepung tawari kami sambut dengan
gembira, dan segala idah awak itu sudah kami polahkan dengan segala kawan-kawan
awak.”
Sudah itu lalu hak tepung tawari, pik kan kepadi
‘tu, lalu hak, padi Nya dalam odah pembinihan tujuh buting lubang ‘tu awak
ketam, dan awak ikat, lalu dibawak ulang dan ditaroh di dalam kerangkeng
padi, digantong di tengah-tengahnya. Sesudahnya awak sedikan... cu, segala tepung
tawar tegak dipembinihan ‘tu dan awak
memangi hak, macam awak memang pulang, tegak ni, “Ni..., odah kita nya kami sediakan tu, ni hak odah kita tinggal dengan
kawan-kawan kita, bekumpulhak baik-baik.”
Lalu betuhing hak cucuku tiga hari. Sehabisnya tu
mulai mulai hak ngetam. Di dalam cucuku ngetam padi tu, tuhing besebut nya
ceroboh-cerobo, sebab semangat padi ‘tu supan dan benci dengan
carangan-carangan yang tefak itu. Lamun sehari tu cucu ndik habis ngetam, waktu
ndak berenti ‘tu, awak ikat hak daun padinya ada di pembinihan, kan saratnya
supaya semengat padi tu jangan terbang. Empainya, waktu ‘ndak ngetam lagi, ikatan
daun padi ‘tu dibuka pulang. Demikian hak, sampai habis padi di tanah diketam
dan naik ke rumah.
Sesudah padi naik ke rumah, jangan dulu awak
apai-apai. Awak polahkan dulu beras baru di jerang, dan sehari-harian itu awak ‘mberi
makan batu besi dengan bememang pulang, karena sebelum tam nya bekerja, maka batu dengan besilah nya bekerja
pereh.`lamun ‘ndik awak beri makan,
takut kendi awak dilukainya. Inilah syaratnya dan maksudnya ‘tu. Di arak
kerangkeng padi, awak timbuni lampu, jangan sampai padam, apabila malam awak
tidur arak situ, biasanya ‘tu nyawak, amun urang ‘tu keduluran, ‘ndengar tu suara semangat padi
dalam kerangkeng padi tu ‘ncarang, betanya dengan sesamanya padi. Itu sebabnya,
kalau cucuku perhatikan benehan, kelihatan hak padi ‘tu becampur dengan padi
lain. Itu hak kawan-kawan nya sesat
ngemambah madik bedah ‘tu dibawa’i oleh semangat padi nya tam tanam padi.
Jadi tuak mulai cucuku ngetam sampai habis naik ke
rumah, betuhing pulang hak cucuku tiga hari. Sudah ‘tu mana uluk cucuku. Na...,
ini hak cu, nya disebut urang ‘tu adat urun dan naikkan padi.
Sebuting... cu, awak ingati beneh, bahwa semangat
padi dijaga dan dipelihara oleh Puan Tahun. Lamun urang waktu olah
adat urun dan naikkan padi itu telanggar tuhingnya, maka humanya banyak
dirusakkan mangsa. Adanya dirusakkan oleh nangau, ketuang, adanya dimakan ulat,
ada lagi nya dilesai bai. Huma urang tu , alamat ‘ndik tahu ngerjakan sama
sekali adat urun dan naikkan padi tu. Kebanyakan urang tegak itu nya selalu
dibenci oleh Puan Tahun tu. Biar macam
apa jua nya behuma, ya... boleh jua hak nya tu.
Tapi ndik seberapa, belum sampai ketampusan.
Jadi amun molah huma itu, biar hanya tepung tawar
aja dikerjakan, itu gin jadi, asal ada adat-istiadatnya. Mitu jua amun cucuku
‘ndak Nuuk padi, sebelum awak Nuuk, lesongnya awak bersehkan dulu, kiwa-kanan
lesong ‘tu awak lapiki tikar supaya padinya jangan besimpur sampai bepeas di tanah,
sebab nyawa, semangat padi ‘tu nyumpah, kita polah tegak tu. Habis Nuuk
lesongnya awak telongkopkan baik-baik, jangan ditelentangkan. Lesong Noya hampa
jangan ditutuki dengan helu, sebab kepala Puan Tahun ‘tu pening mendengar suara
lesong nya ditutuki madik ada isinnya tu. Dan lagi madik Kwa, sebab takut kendi
benar-benar Nuuk lesong hampa, ya... maksudnya kelaparan madik bepadi. Dada
lesong jangan ditendak dengan helu, sebab itu adalah telapak tangan Puan Tahun.
Waktu cucuku ngaut beras dipeberasan, duduklah
baik-baik betimbuh, dan waktu cucuku ngautnya ke dalam, induk tangan jangan
ditamakan dalam eteran (penaut beras dari tempurung kelapa/literan beras),
sebab induk tangan itu, bunyi urang jua adalah tari Hantu Haus. Habis awak maut beras, eterannya awak isi beras dan
dipendam dalam beras di peberasan. Maksudnya supaya peberasan tam tu selalu
berisi.
Pada waktu hari baik, bulan baik, apalagi sehabis
urang ngetam, awak polahkan keripit silih lipit selimpat, rokoknya, Ian lilin
matu, awak tarohi di dapur, di peberasan, di gentong air, di lawang hadapan dan
belakang serta di tengah-tengah rumah. Diannya awak timbun nyalakan. Maksudnya
cu, untuk memburu Hantu Haus. Jadi di
mana idah keripit sirih dengan dian itu, taroh, di situlah idah Hantu Haus besaran.
Jadi apa yang kupadahi dengan kita bedua di
angsannak ni, ingat-ingati benar, sebab itu segalanya adalah untuk hidup kita
baik. Iiii... cu, ‘ndik kerasan etam ‘ncarang ni sampai subuh, jadi aku ‘ndak ulang hak keodahku.”
Setelah berkata demikian maka perempuan tua itu pun
bangkit berdiri hendak turun ke tanah, tetapi ditahan oleh kedua kakak-beradik,
ujarnya, “Kendia dulu kita ulang, Nek! Timbulkan matahari dulu, upah kita
ngetam belum kualakkan.”
Tetapi apa kata perempuan tua itu ketika ia sudah ada
di tanah, “Ndik usah... cu, ndik usah aku awak beri padiku gin banyak di
pondokku. Tapi tahukah kita beda siapa aku sebenarnya? Tahukah kita beda di
angsanak, siapa sebenarnya diri cucuku berdua? Amun kita belum tahu siapa yang
kusebut tadi, baiklah sekarang kita bedua
kupadahi, supaya kita beda tahu yang sebenarnya. Kumulai dulu dengan
diri mekbapak awak, baru diri awak beda dan baru diriku sendiri.”
Maka perempuan tua itu mulai menjelaskan,
“Mek-bapakawak-tu adalah penjelmaan dari Hantu Haus. Lir hak, tiap-tiapnya
behuma madik tahu mungkar, karena madik ada tahu mengerjakan adat-adat nebas
huma, maenaikkan dan menurunkan padi. Makan madik bertakar, hentam terus madik bekerekaatan.
Bunyi urang jua berus, karena inilah
sifat utama Hantu Haus itu. Dan siapa sebenarnya cucuku berdua di angsana ini?
Amun cucuku belum mengetahuinya, sekarang kupadahi, bahwa madik setahu cucuku,
diri kita berdua ‘tu telah dirasoki oleh semangat padi. Itu sebabnya, tuak mulai
mek dengan bapak awak nebas huma sampai mengetam padi, cucuku berdua selalu
minta makan Sembela padi dengan Sembela pulut. Cucuku berdua mandik diberinya
makan nasi beras baru, tegak urang`nya ‘mberi makan “Semengat padi”, jika sudah
habis ngetam padi baru. Tapi cucuku berdua disuruhnya mencari daun pisang ke
dalam hutan. Itu hanya sebabnya maha, sebenarnya Hantu Haus itu madik dapat
berkumpul dengan semangat padi, jika beparakan dan berkumpul, musti sudah semangat
padi itu lari, biarpun cucuku berdua madik disuruhnya mencari daun pisang, dan
kehabisannya cucuku berdua sesat ke dalam hutan, sampai dapat membunuh bai dengan
Uan Gergasi. Itu segalanya adalah membunuh kejahatan yang akan merusak
kehidupan manusia untuk mengerjakan kebaikan. Jadi...cu, ingati hak segala buku
pesanku, jika cucuku berdua ‘ndak olah huma.
Nah... sekarang, kuberitahukan siapa aku
sebenarnya. Aku inilah yang disebut-sebut urang amun ‘ndak olah huma, adat urun
dan naikkan padi. Aku inilah yang dinamai “PUAN
TAHUN”
Setelah berkata demikian, perempuan tua itu pun
lenyap dari pandangan mata, hilang tanpa bekas. Kedua kakak-beradik hanya
melongok keheranan setelah mengetahui siapa sebenarnya perempuan tua yang
menolong dan memberikan nasihat-nasehat kepada diri mereka berdua.
Demikianlah mereka berdua sejak saat itu, jika akan
mengerjakan ladang, menanam dan memotong padi, selalu patuh menjalani dan
melaksanakannya berdasarkan petunjuk, nasihat,
dan petuah-petuah yang telah diberikan oleh Puan Tahun. Dan petuah-petuah itu
secara turun-temurun diwariskan oleh mereka ke anak dan cucu mereka, begitula
seterusnya sampai sekarang.
Sampai sekarang masyarakat di pedalaman Mahakan,
terutama suku Tunjung, Benuaq, dan suku Bahau masih tebal kepercayaannya
terhadap Puan Tahun tersebut dalam mengerjakan adat membuka ladang, menanam dan
memotong padi. Jika sudah habis waktu menugal padi, mereka mengadakan keramaian
dengan mengadakan bermacam-macam tarian dan acara mana suka, dengan maksud
untuk memburu, mengusir Hantu Haus yang selalu akan merusak kehidupan tanaman
padi. Oleh suku Bahau menyebutnya upacara Hudo, sampai sekarang. (SP091257)
Referensi:
Kumpulan Cerita Rakyat Kutai,
Depdikbud 1979
Posted:
Sita Rose di Pangarakan,
Bogor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar