Blog
Sita Rose – Senin, 30 Desember 2013 10:40 WIB
Denmas Priyadi |
Sajak
Sepanjang Jalan Raya Ciawi-Sukabumi
Karya Slamet Priyadi
Sudah lama aku ingin
tulis sajak ini, sajak tentang jalan raya Ciawi-Sukabumi.
Dulu di sepanjang
jalan ini, di kiri dan di kanan jalan
Hanya hamparan sawah membentang
yang padinya berwarna hijau kekuningan
Pohon-pohon cengkeh
dan cemara berderet-deret berjejeran
Seperti perempuan
petani di jalan setapak yang berjalan beriringan
Seperti para lelaki petani
yang sedang membajak sawah menyongsong esok hari nan cerah
Riak putih jernih air
sungai Sadane mengalir membentur batu
di bawah jembatan
Cimande yang simpan banyak cerita masa dahulu
Beribu kembang
warna-warni hiasi semak-semak belukar
Seperti bidadari mandi
yang selendangnya pantulkan sinar gebyar memancar
Segarkan tubuh,
segarkan mata, segarkan jiwa saat gundah gulana
Hilangkan kepenatan,
hilangkan keletihan, hilangkan segala problema meski sementara
Berjuta Ikan-ikan dan
udang-udang kecil limpah ruah huni danau Lido
Sekelompok kera saling kejar-kejaran, gelayutan
di antara pepohohan
Burung-burung terbang
melayang di atas hamparan air mangsa udang dan ikan-ikan
Bersaing dengan para
nelayan di tengah-tengah danau yang luas memanjang sepanjang jalan
Kini sepanjang jalan
raya Ciawi-Sukabumi nyaris tak indah lagi
Di sisi kanan maupun
di sisi kiri jalan banyak dihiasi toko-toko, dan kedai-kedai kopi
Bahkan
bangunan-bangunan pabrik yang kokoh berdiri menjulang tinggi
Merubah luasnya
hamparan sawah, mengganti pohon cemara dan kopi
Yang saat pagi hari
melambai-lambai, ditiup angin sepoi-sepoi disinari sang mentari
Kemacetan kendaraan di
sana-sini tak pernah berakhir dari pagi hingga malam hari
Mengganti detak irama
gerobak sapi yang berjalan tertatih-tatih
membawa batang-batang
bambu, kerajajinan tradisi masyarakat Ciawi-Sukabumi
Entah kapan keadaan
semacam ini akan berakhir
Yang membuat kepala
jadi pusing tujuh keliling dan lenyapkan daya pikir
Tak bisa lagi berkreasi karena semua imaginasi
telah terparkir
Ke dalam lingkaran
kemacetan yang tak berujung seperti pikir yang penuh kikir
Bumi Pangarakan, Bogor (SP091257)
Sabtu, 21 Desember 2013
(SP091257)
"Maafkan Aku Ibu"
Karya: Slamet Priyadi
Saat aku
kecil bayi mungil dalam keluarga sekandung
Ibu timang-timang aku sambil bersenandung
Dendangkan
tembang lagu indung-indung
Kidung irama
jaga mantra tudung pelindung
Ungkap rasa
cinta kasih dan sayang yang menggunung
Kepada
ananda putra yang masih butuh tulung-pitulung
Dalam ketiadaberdayaan
yang kadung
Dalam ringis
tangis yang merudung
Dalam rasa
haus dan lapar yang meraung
Ibu menjagaku,
Ibu membelaiku, Ibu menyusuiku
Ibu melindungiku,
Ibu mengayomiku
Tak pernah
mengeluh meski peluh mengucur di sekujur tubuh
Dan, rangkaian
nada-nada rasa asih penuh tresna kasih
Gemakan sepinya
malam damaikan jiwaku diperaduan
Ibu, meski
kau sudah lama pergi penuhi panggilan Ilahi
Semua
kenangan itu masih melekat kuat terukir indah di hati
Kenangan
tentang perjuangan ibu di belakang rumah
Saat
bercocok tanam memetik sayuran dan buah
Tentang
perjuangan ibu menanam dan menuai padi di sawah
Sementara
aku berlari-lari kecil di pematang sawah jalan setapak
Sambil mainkan
musik gogolio dari batang padi yang dipapak
Nyanyikan
lagu irama alam kehidupan kampung halaman
Ibu, aku
juga selalu terkenang-kenang dan masih tetap ingat
Saat ibu
menarik gerobak yang berisi sayuran dan buah-buahan dengan kuat
Menyusuri
sepanjang jalan Luano, Purworejo dengan beban yang kian sarat
Dalam
kondisi jalan yang begitu becek, lengket, dan berlubang
Karena
kemarinnya hujan turun dari petang hingga hari siang
Ibu tetap
berangkat tak menganggap itu penghalang
Dan aku
pun turut bantu dorong gerobak di belakang
Berjaga-jaga
agar tak ada sayur dan buah yang jatuh terbuang
Ibu,
maafkanlah anakmu yang tak pernah sempat membalas budi
Aku sadari segala budi dan jasamu tak akan terbalas meski sampai mati
Berjuang antara
hidup dan mati saat melahirkan aku
Berjuang dalam membesarkan aku dengan segala
derita dan jerih-payahmu
Berjuang
dalam menyekolahkan aku dengan segala doa-doamu
Tak ada
pamrih semata-mata hanya besarnya rasa kasih dan sayangmu kepadaku
Ibu,
sekali lagi maafkan anakmu
Aku hanya
bisa mencontoh dan meneladani segala perjuanganmu
Menyampaikan
kepada semua cucu-cucu dan cicit-cicitmu
Tentang
sikap kemandirian, tentang sikap tak kenal menyerah dan putus asa,
Tentang
kejujuran, cinta dan kasih sayang, tentang kebersamaan dalam perbedaan,
Tentang
semangat berjuang dan berdoa kepada Tuhan
Bumi Pangarakan, Bogor
Senin, 23 Desember 2013, 10:17 WIB
(SP091257)
Sajak Seekor Kupu-Kupu Kecil
Karya:
Slamet Priyadi
Ada seekor kupu-kupu kecil mungil
Terbang melayang berputar-putar, lalu
hinggap di wayang Semar
Yang hiasi dinding ruang tamu rumahku
yang tak begitu besar
Aku sama sekali tak peduli dengan
kupu-kupu kecil itu
Sebab sedang asyik saksikan pertandingan
sepak bola
Antara tim Persija Indonesia melawan PDRM
Malaysia
Yang pada akhirnya dimenangkan tim
Persija dengan score satu-dua
Saat aku makan kue Bugis, dan reguk
seteguk air kopi manis
‘tuk hangatkan badan dalam cuaca malam yang semakin dingin
menggrigis
Kupu-kupu kecil itu terbang
berputar-putar sebentar di atas kepalaku
lalu hinggap lagi di wayang Semar, dan
matanya menatap kearahku
Aku mulai peduli dan bertanya-tanya dalam
hati
Kenapa kupu-kupu kecil itu hinggap dua
kali di wayang Semar
Setelah terbang berputar-putar di atas
kepalaku tadi?
Seakan menunjukkan kepadaku tentang apa,
dan siapa tokoh Semar
Menyadari semua itu, aku segera beranjak
dari bangku
Menuju dinding tempat wayang Semar yang bersanding
dengan foto diriku
Lalu aku mengambilnya, sementara
kupu-kupu kecil itu keluar berlalu
Aku tatap wajah wayang Semar yang nampak
lugu dan lucu
Wajah Semar yang berwarna putih dan badan
Semar yang berwarna hitam
Dua warna simbol kehidupan dunia di alam
marcapada, alam keduniawian
Yang selalu hidup berdampingan, saling
mengisi dalam harmoni keseimbangan
Dalam kehidupan manusia, dalam kehidupan
hewan, dan tumbuh-tumbuhan
Dalam kehidupan manusia, ada akal dan
budi
Jika mampu memiliki dan memeliharanya
dengan terpuji
Jadikan kita sejatinya manusia, manusia-manusia
sejati
Manusia yang penuh mawas diri, tak
mengumbar nafsu dan ambisi
yang kata-katanya dapat menjadi penyejuk
jiwa
yang perilakunya dapat digugu dan ditiru,
satu dalam sikap dan kata
Akan tetapi yang banyak terjadi dan nyata
Akal dan budi berjalan sendiri-sendiri
Akal hanya dijadikan alat kendaraan nafsu
angkara murka
Untuk memintari, menipu, membohongi
sesama
Hilangkan kehambaannya, lenyapkan
kemanusiaannya dan sirnakan harga diri
Ada
guru mencabuli muridnya, karena tak mampu menahan birahi
banyak ibu membunuh bayinya, karena malu
hamil di luar nikah
para penegak hukum sudah kehilangan muka
karena menjual almamaternya
para pendawah kehilangan marwahnya karena
kitab tak lagi acuannya
para politikus hilang kejuangannya karena
ambisinya hanya kedudukan saja
para pejabat menyikat habis uang rakyat,
korupsi merajalela Dimana-mana
di setiap lini dan instansi dari hulu
hingga ke hilirnya semua nyaris terlibat
Budi tak lagi jadi kendali karena dibebani beban nafsu yang kiat berkarat
Ketika rasa kantuk itu menyengat mataku
Aku termangu hanya bisa menatap televisi dengan gambar-gambar suram
Bergerak-gerak tak jelas seperti rumbai-rumbai malam yang semakin kelam
Sedikit berjalan agak gontai, aku
kembalikan wayang Semar ke dinding
Yang letaknya bersanding dengan fotoku
Dalam kesadaran yang samar-samar, wayang
Semar seperti bicara kepadaku,
“Jangan lupa, ya cu! Dengan sifat-sifatku
yang harus kau teladani
Agar menjadi ageman dalam bertindak dan berprilaku
di dunia ini!”
Bumi
Pangarakan, Bogor
Senin,
30 Desember 2013 01:24 WIB
(SP091257)
A k a n g
Karya: Slamet Priyadi
Akang…
Sudah tiga warsa ini engkau tak pernah lagi kasih kabar berita
Dan di sini aku semakin gundah gulana
Kerana anak-anak kita selalu menanyakan akang
Kapan ayah akan pulang, ma… ayah kapan pulang ?
Akang…
Sudah tiga warsa lebih lima bulan ini
Pun engkau masih jua tak mau beri kabar berita lagi
Sedangkan aku dan anak-anak kita di sini
Selalu terombang-ambing dalam ketidakpastian
Dalam kekhawatiran, dalam kesedihan, dalam ketakutan
Dan dalam penantian yang berkepanjangan
Sedangkan pertanyaan-pertanyaan itu
Pun tak pernah mendapatkan jawaban
Akang…
Sedang apakah engkau di sana?
Apakah negeri yang engkau singgahi sekarang lebih jelita?
Apakah keelokjelitaan itu telah membelenggumu?
Sebab begitulah warta yang telah aku terima
Akang…
Jika itu memang benar-benarlah adanya
Aku akan berupaya ikhlas menerima
Meskipun hati ini begitu sangat terluka
Perih terkoyak duka dan kecewa
Aku akan jalani hidup ini dengan penuh ketawakalan
Bersama anak-anak kita ‘tuk meraih masa depan
Dan aku akan selalu mendoakan
Semoga kau selalu mendapatkan kebahagiaan
Bumi Pangarakan, Bogor
Minggu, 07 April 2013 - 11:50
WIB
(SP091257)
Inspirasi Dari Kali Sadane
Karya: Slamet Priyadi
Gemericik air Sungai Sadane
Bunyi kemerisik daun bambu
Gema suara serangga-serangga malam
Lantunkan nada-nada
Dendangkan harmoni tembang malam
Menguak sepi di malam nan sunyi
Ku langkahkan kaki menuruni tebing Sungai Sadane
Melalui jalan setapak bertangga batang kayu
Di atas sebongkah batu sebesar kerbau
Aku duduk sambil tengadahkan kepala ke langit biru
Dan, di atas sana ku lihat jutaan bintang kemintang
Sang Dewi Malam dengan
cahayanya yang terang benderang
Sejukkan hati nan gundah, tenangkan pikiran nan bimbang
Lenyapkan rasa amarah berang kepalang
Terhadap manusia tamak, pongah dan serakah
Seperti nyamuk-nyamuk penghisap darah yang terus menggigit
Dan tak mau berhenti sebelum perutnya membuncit
Bumi Pangarakan, Bogor
Sabtu, 16 Maret 2013 - 21:45
WIB
(SP091257)
Gelegar Pertala
Karya: Slamet Priyadi
Geram gelegar pertala usik marcapada
Saksikan prilaku dan ulah manusia
Yang tak lagi berunggah-ungguh kedepankan etika
Sana sini hanya umbar syahwat
Nafsu angkaranya pun kian menggeliat
Yang digugu dan ditiru lenyapkan rasa malu
Yang digdaya dan kuasa cengkeramkan kuku
Pancanakanya pun kian menghujam
Membenam semakin dalam
Menusuk jantung dan merobek selimut social
Masyarakat kecil yang kian melemah,
gontai dan lunglai tiada berdaya…
kalah, kalah, dan terus saja mengalah
Bumi Pangarakan, Bogor
Selasa, 05 Maret 2013 - 06:30
WIB
(SP091257)
Posted:
Sita Rose di Lido, Bogor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar