Minggu, 29 Desember 2013

Kumpulan Sajak Denmas Priyadi


Blog Sita Rose – Senin, 30 Desember 2013 10:40 WIB


Denmas Priyadi

Sajak Sepanjang Jalan Raya Ciawi-Sukabumi
Karya Slamet Priyadi

Sudah lama aku ingin tulis sajak ini, sajak tentang jalan raya Ciawi-Sukabumi.
Dulu di sepanjang jalan ini, di kiri dan di kanan jalan  
Hanya hamparan sawah membentang yang padinya berwarna hijau kekuningan
Pohon-pohon cengkeh dan cemara berderet-deret berjejeran
Seperti perempuan petani di jalan setapak yang berjalan beriringan
Seperti para lelaki petani yang sedang membajak sawah menyongsong esok hari nan cerah

Riak putih jernih air sungai Sadane mengalir membentur batu
di bawah jembatan Cimande yang simpan banyak cerita masa dahulu
Beribu kembang warna-warni hiasi semak-semak belukar
Seperti bidadari mandi yang selendangnya pantulkan sinar gebyar memancar
Segarkan tubuh, segarkan mata, segarkan jiwa saat gundah gulana
Hilangkan kepenatan, hilangkan keletihan, hilangkan segala problema meski sementara

Berjuta Ikan-ikan dan udang-udang kecil limpah ruah huni danau Lido  
 Sekelompok kera saling kejar-kejaran, gelayutan di antara pepohohan
Burung-burung terbang melayang di atas hamparan air mangsa udang dan ikan-ikan
Bersaing dengan para nelayan di tengah-tengah danau yang luas memanjang sepanjang jalan  

Kini sepanjang jalan raya Ciawi-Sukabumi nyaris tak indah lagi
Di sisi kanan maupun di sisi kiri jalan banyak dihiasi toko-toko, dan kedai-kedai kopi
Bahkan bangunan-bangunan pabrik yang kokoh berdiri menjulang tinggi
Merubah luasnya hamparan sawah, mengganti pohon cemara dan kopi
Yang saat pagi hari melambai-lambai, ditiup angin sepoi-sepoi disinari sang mentari
Kemacetan kendaraan di sana-sini tak pernah berakhir dari pagi hingga malam hari
Mengganti detak irama gerobak sapi yang berjalan tertatih-tatih
membawa batang-batang bambu, kerajajinan tradisi masyarakat Ciawi-Sukabumi

Entah kapan keadaan semacam ini akan berakhir
Yang membuat kepala jadi pusing tujuh keliling dan lenyapkan daya pikir
 Tak bisa lagi berkreasi karena semua imaginasi telah terparkir
Ke dalam lingkaran kemacetan yang tak berujung seperti pikir yang penuh kikir

Bumi Pangarakan, Bogor (SP091257)
Sabtu, 21 Desember 2013
(SP091257)

"Maafkan Aku Ibu"
Karya: Slamet Priyadi

Saat aku kecil bayi mungil dalam keluarga sekandung
 Ibu timang-timang aku sambil bersenandung
Dendangkan tembang lagu indung-indung
Kidung irama jaga mantra tudung pelindung
Ungkap rasa cinta kasih dan sayang yang menggunung
Kepada ananda putra yang masih butuh tulung-pitulung

Dalam ketiadaberdayaan yang kadung
Dalam ringis tangis yang merudung
Dalam rasa haus dan lapar yang meraung
Ibu menjagaku, Ibu membelaiku, Ibu menyusuiku
Ibu melindungiku, Ibu mengayomiku
Tak pernah mengeluh meski peluh mengucur di sekujur tubuh 
Dan, rangkaian nada-nada rasa asih penuh tresna kasih  
Gemakan sepinya malam damaikan jiwaku diperaduan

Ibu, meski kau sudah lama pergi penuhi panggilan Ilahi
Semua kenangan itu masih melekat kuat terukir indah di hati
Kenangan tentang perjuangan ibu di belakang rumah
Saat bercocok tanam memetik sayuran dan buah
Tentang perjuangan ibu menanam dan menuai padi di sawah
Sementara aku berlari-lari kecil di pematang sawah jalan setapak
Sambil mainkan musik gogolio dari batang padi yang dipapak
Nyanyikan lagu irama alam kehidupan kampung halaman

Ibu, aku juga selalu terkenang-kenang dan masih tetap ingat
Saat ibu menarik gerobak yang berisi sayuran dan buah-buahan dengan kuat
Menyusuri sepanjang jalan Luano, Purworejo dengan beban yang kian sarat
Dalam kondisi jalan yang begitu becek, lengket, dan berlubang
Karena kemarinnya hujan turun dari petang hingga hari siang
Ibu tetap berangkat tak menganggap itu penghalang
Dan aku pun turut bantu dorong gerobak di belakang
Berjaga-jaga agar tak ada sayur dan buah yang jatuh terbuang

Ibu, maafkanlah anakmu yang tak pernah sempat membalas budi
 Aku sadari segala budi dan jasamu  tak akan terbalas meski sampai mati
Berjuang antara hidup dan mati saat melahirkan aku
 Berjuang dalam membesarkan aku dengan segala derita dan jerih-payahmu
Berjuang dalam menyekolahkan aku dengan segala doa-doamu
Tak ada pamrih semata-mata hanya besarnya rasa kasih dan sayangmu kepadaku

Ibu, sekali lagi maafkan anakmu
Aku hanya bisa mencontoh dan meneladani segala perjuanganmu
Menyampaikan kepada semua cucu-cucu dan cicit-cicitmu
Tentang sikap kemandirian, tentang sikap tak kenal menyerah dan putus asa,
Tentang kejujuran, cinta dan kasih sayang, tentang kebersamaan dalam perbedaan,
Tentang semangat berjuang dan berdoa kepada Tuhan

Bumi Pangarakan, Bogor
Senin, 23 Desember 2013, 10:17 WIB
(SP091257)

Sajak Seekor Kupu-Kupu Kecil
Karya: Slamet Priyadi

Ada seekor kupu-kupu kecil mungil
Terbang melayang berputar-putar, lalu hinggap di wayang Semar
Yang hiasi dinding ruang tamu rumahku yang tak begitu besar
Aku sama sekali tak peduli dengan kupu-kupu kecil itu
Sebab sedang asyik saksikan pertandingan sepak bola
Antara tim Persija Indonesia melawan PDRM Malaysia
Yang pada akhirnya dimenangkan tim Persija dengan score satu-dua

Saat aku makan kue Bugis, dan reguk seteguk air kopi manis
‘tuk hangatkan badan  dalam cuaca malam yang semakin dingin menggrigis
Kupu-kupu kecil itu terbang berputar-putar sebentar di atas kepalaku
lalu hinggap lagi di wayang Semar, dan matanya menatap kearahku

Aku mulai peduli dan bertanya-tanya dalam hati
Kenapa kupu-kupu kecil itu hinggap dua kali di wayang Semar
Setelah terbang berputar-putar di atas kepalaku tadi?
Seakan menunjukkan kepadaku tentang apa, dan siapa tokoh Semar

Menyadari semua itu, aku segera beranjak dari bangku
Menuju dinding tempat wayang Semar yang bersanding dengan foto diriku
Lalu aku mengambilnya, sementara kupu-kupu kecil itu keluar berlalu
Aku tatap wajah wayang Semar yang nampak lugu dan lucu
Wajah Semar yang berwarna putih dan badan Semar yang berwarna hitam
Dua warna simbol kehidupan dunia di alam marcapada, alam keduniawian
Yang selalu hidup berdampingan, saling mengisi dalam  harmoni keseimbangan
Dalam kehidupan manusia, dalam kehidupan hewan, dan tumbuh-tumbuhan

Dalam kehidupan manusia, ada akal dan budi
Jika mampu memiliki dan memeliharanya dengan terpuji
Jadikan kita sejatinya manusia, manusia-manusia sejati
Manusia yang penuh mawas diri, tak mengumbar nafsu dan ambisi
yang kata-katanya dapat menjadi penyejuk jiwa
yang perilakunya dapat digugu dan ditiru, satu dalam sikap dan kata

Akan tetapi yang banyak terjadi dan nyata
Akal dan budi berjalan sendiri-sendiri
Akal hanya dijadikan alat kendaraan nafsu angkara murka
Untuk memintari, menipu, membohongi sesama
Hilangkan kehambaannya, lenyapkan kemanusiaannya dan  sirnakan harga diri

Ada  guru mencabuli muridnya, karena tak mampu menahan birahi
banyak ibu membunuh bayinya, karena malu hamil di luar nikah
para penegak hukum sudah kehilangan muka karena menjual almamaternya
para pendawah kehilangan marwahnya karena kitab tak lagi acuannya
para politikus hilang kejuangannya karena ambisinya hanya kedudukan saja
para pejabat menyikat habis uang rakyat, korupsi merajalela Dimana-mana
di setiap lini dan instansi dari hulu hingga ke hilirnya semua nyaris terlibat
Budi tak lagi jadi kendali karena  dibebani beban nafsu yang kiat berkarat
Ketika rasa kantuk itu menyengat mataku
Aku termangu hanya bisa menatap televisi  dengan gambar-gambar suram
Bergerak-gerak tak jelas  seperti rumbai-rumbai malam yang semakin kelam
Sedikit berjalan agak gontai, aku kembalikan wayang Semar ke dinding
Yang letaknya bersanding dengan fotoku
Dalam kesadaran yang samar-samar, wayang Semar seperti bicara kepadaku,
“Jangan lupa, ya cu! Dengan sifat-sifatku yang  harus kau teladani
Agar menjadi ageman dalam bertindak dan berprilaku di dunia ini!”

Bumi Pangarakan, Bogor
Senin, 30 Desember 2013 01:24 WIB
(SP091257)
 
A k a n g
Karya: Slamet Priyadi

Akang…
Sudah tiga warsa ini engkau tak pernah lagi kasih kabar berita
Dan di sini aku semakin gundah gulana
Kerana anak-anak kita selalu menanyakan akang
Kapan ayah akan pulang, ma… ayah kapan pulang ?

Akang…
Sudah tiga warsa lebih lima bulan ini
Pun engkau masih jua tak mau beri kabar berita lagi
Sedangkan aku dan anak-anak kita di sini
Selalu terombang-ambing dalam ketidakpastian
Dalam kekhawatiran, dalam kesedihan, dalam ketakutan
Dan dalam penantian yang berkepanjangan
Sedangkan pertanyaan-pertanyaan itu
Pun tak pernah mendapatkan jawaban

Akang…
Sedang apakah engkau di sana?
Apakah negeri yang engkau singgahi sekarang lebih jelita?
Apakah keelokjelitaan itu telah membelenggumu?
Sebab begitulah warta yang telah aku terima

Akang…
Jika itu memang benar-benarlah adanya
Aku akan berupaya ikhlas menerima
Meskipun hati ini begitu sangat terluka
Perih terkoyak duka dan kecewa
Aku akan jalani hidup ini dengan penuh ketawakalan
Bersama anak-anak kita ‘tuk meraih masa depan
Dan aku akan selalu mendoakan
Semoga kau selalu mendapatkan kebahagiaan  

Bumi Pangarakan, Bogor
Minggu, 07 April 2013 - 11:50 WIB
(SP091257)

Inspirasi Dari Kali Sadane
Karya: Slamet Priyadi

Gemericik air Sungai Sadane
Bunyi kemerisik daun bambu
Gema suara serangga-serangga malam
Lantunkan nada-nada
Dendangkan harmoni tembang malam
Menguak sepi di malam nan sunyi

Ku langkahkan kaki menuruni tebing Sungai Sadane
Melalui jalan setapak bertangga batang kayu
Di atas sebongkah batu sebesar kerbau
Aku duduk sambil tengadahkan kepala ke langit biru

Dan, di atas sana ku lihat jutaan bintang kemintang
Sang Dewi Malam  dengan cahayanya yang terang benderang
Sejukkan hati nan gundah, tenangkan pikiran nan bimbang
Lenyapkan rasa amarah berang kepalang
Terhadap manusia tamak, pongah dan serakah
Seperti nyamuk-nyamuk penghisap darah yang terus menggigit
Dan tak mau berhenti sebelum perutnya membuncit

Bumi Pangarakan, Bogor
Sabtu, 16 Maret 2013 - 21:45 WIB
(SP091257)

Gelegar Pertala
Karya: Slamet Priyadi

Geram gelegar pertala usik marcapada
Saksikan prilaku dan ulah manusia
Yang tak lagi berunggah-ungguh kedepankan etika
Sana sini hanya umbar syahwat
Nafsu angkaranya pun kian menggeliat

Yang digugu dan ditiru lenyapkan rasa malu
Yang digdaya dan kuasa cengkeramkan kuku
Pancanakanya pun kian menghujam
Membenam semakin dalam
Menusuk jantung dan merobek selimut social
Masyarakat kecil yang kian melemah,
gontai dan lunglai tiada berdaya…
kalah, kalah, dan terus saja mengalah

Bumi Pangarakan, Bogor
Selasa, 05 Maret 2013 - 06:30 WIB
(SP091257)

Posted:
Sita Rose di Lido, Bogor

Tidak ada komentar:

Posting Komentar