Selasa, 19 Maret 2019 - 06:38 WIB
SOSIOLOGI
SASTRA
DALAM
RANGKA KRITIK SASTRA
By Drs. Atar Semi
Sosiologi sastra
merupakan bagian mutlak dari kritik sastra. Ia mengkhususkan diri dalam
menelaah sastra dengan memperhatikan segi-segi sosial kemasyarakatan. Produk
telaahan itu dengan sendirinya dapat digolongkan kedalam produk kritik sastra.
A.
Pengertian
Sosiologi Sastra
Sosiologi
adalah suatu telaah yang obyektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat
dan tentang sosial dan proses sosial. Sosiologi menelaah tentang bagaimana
masyarakat itu tumbuh dan berkembang. Dengan mempelajari lembagga-lembaga
sosial dan segala masalah perekonomian, keagamaan, politik, dan lain-lain, kita
mendapa gambaran tentang cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan
lingkungannya, mekanisme kemasyarakatannya, serta proses pembudayaannya.
Sastra, sebagaimana dengan halnya sosiologi, berurusan dengan manusia, bahkan
sastra diciptakan oleh anggota masyarakat untuk dinikmati, dipahami, dan
dimanfaatkan oleh masyarakat. Sastrawan itu sendiri adalah anggota masyarakat;
ia terikat oleh status sosial tertentu. Sastra adalah lembaga sosial yang
menggunakan bahasa sebagai mediumnya; bahasa itu merupakan ciptaan sosial yang
menampilkan gambaran kehidupan. Oleh sebab itu, sesungguhnya sosiologi dan
sastra itu memperjuangkan masalah yang sama. Kedua-duanya berurusan dengan
masalah sosial, ekonomi, politik.
Perbedaan
antara keduanya (Supardi: 1978) adalah bahwa sosiologi melakukan analisis
ilmiah yang obyektif, sedangkan novel menyusup menembus kehidupan sosial dan
menunjukkan cara-cara manusia menghayati masyarakat dengan perasaannya. Adanya
analisis ilmiah yang obyektif ini menyebabkan bahwa seandainya ada dua orang
ahli sosiologi mengadakan penelitian atas masyarakat yang sama, hasil
penelitian itu besar kemungkinan menunjukkan persamaan juga. Sedangkan
seandainya ada dua orang novelis menulis tentang suatu masyarakat yang sama,
hasinya cenderung berbeda sebab cara-cara manusia menghayati masyarakat dengan
perasaannya itu berbeda-beda menurut pandangan tiap orang. Sedangkan menurut
Prof. Awang Salleh (1990), sosiolog bersifat kognitif sedangkan sastra bersifat
afektif.
Karena
persamaan obyek yang digarap, wajarlah kalau ada ahli yang meramalkan bahwa
pada akhirnya nanti sosiologi dapat menggantikan kedudukan novel. Mungkin
pendapat itu muncul didorong oleh pesatnya pertumbuhan dan perkembangan
sosiologi dewasa ini di sampin adanya anggapan bahwa novel akan atau telah
mati. Tetapi suatu hal yang jelas adalah bahwa sastra mempunyai kekhasan
sendiri yang tidak dimiliki oleh sosiologi, oleh karenya tampak kedua-duanya
memiliki kemungkinan yang sama untuk terus berkembang, dan tidak mustahil pula
kedudukan dapat saling bekerja sama, saling melengkapi.
Sosiologi
sastra, adalah suatu telaah sosiologis terhadap suatu karya sastra. Telaah
sosiologis ini mempunyai tiga klasifikasi (Wellek dan Warren: 1956) yaitu :
a.
Sosiologi
pengarang: yakni
yang mempermasalahkan tentang status sosial, idiologi politik, dan lain-lain
yang menyangkut diri pengarang;
b.
Sosiologi
karya sastra: yakni yang
mempermasalahkan tentang suatu karya sastra; yang menjadi pokok telaahan adalah
tentang apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa tujuan atau
amanat yang hendak disampaikannya;
c.
Sosiologi
sastra: yang memasalahkan tentang pembaca dan
pengaruh sosialnya terhadap masyarakat.
Bagan
tersebut hampir sama dengan bagan yang dibuat oleh Ian Watt (Sapardi: 1978)
dengan melihat hubungan timbal-balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat.
Oleh sebab itu telaah sosiologis suatu karya sastra akan mencakup tiga hal :
a.
Konteks
sosial pengarang, yakni
yang menyangkut posisi sosial masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat
pembaca, termasuk di dalamnya faktor-faktor sosial yang bisa mempengaruhi si pengarang
sebagai perseorangan di amping mempengaruhi isi karya sastranya.
b.
Sastra
sebagai cermin masyarakat, yang ditelaah adalah
sampai sejauh mana sastra dianggap sebagai pencerminan keadaan masyarakat.
c.
Fungsi
sosial sastra, dalam
hal ini ditelaah sampai seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai
sosial, dan sampai seberapa jauh pula sastra dapat berfungsi sebagai alat
penghibur dan sekaligus sebagai pendidikan bagi masyarakat pembaca.
Dari
skema di atas klasifikasi di atas dapat diperoleh gambaran bahwa sosiologi sastra, yang merupakan pendekatan
terhadap sastra dengan mempertimbangkan segi-segikemasyarakatan, mempunyai skop
yang luas, eragam dan rumit, yang menyangkut tentang pengarang, karyanya, serta
pembacanya.
B.
Sastra
Masyarakat, dan Kebudayaan.
Sastra
merupakan bagian daripada kebudayaan. Bila kita mengkaji kebudayaan kita tidak
dapat melihatnya sebagai sesuatu yang statis, yang tidak berubah, tetapi
merupakan sesuatu yang dinamis, yang senantiasa berubah. Hubungan antara
kebudayaan dan masyarakat itu amatlah erat, karena kebudayaan itu sendiri,
menurut pandangan antropolog, adalah cara suatu kumpulan manusia atau
masyarakat mengadakan sistim nilai, yaitu berupa aturan yang menentukan sesuatu
benda atau perbuatan lebih tinggi nilainya, lebih dikehendaki, dari yang lain.
Kebanyakan ahli antropologi melihat kebudayaan itu sebagai satu keseluruhan,
dimana sistem sosial itu sendiri adalah sebagian dari kebudayaan. Singkatnya
kebudayaan itu dikatakan sebagai cara hidup, yaitu bagaimana suatu masyarakat
itu mengatur hidupnya.
Kebudayaan itu memiliki tiga unsur :
1.
Unsur Sistem
sosial: Sistem
sosial ini terdiri daripada: sistem kekeluargaan, sistem politik, sistem
ekonomi, sistem kepercayaan, sistem pendidikan, dan sistem undang-undang. Terdapat
struktur dalam setiap sistem ini yang dikenl sebagai institusi sosial, yaitu
cara manusia yang hidup berkelompok mengatur hubungan antara satu dengan yang
lain dalam jalinan hidup bermasyarakat.
2.
Sistem
nilai dan ide: yaitu
sistem yang memberi makna kepada kehidupan masyarakat, bukan saja terhadap alam
sekeliling, bahkan juga terhadap falsafah hidup masyarakat itu. Sistem nilai
juga menyangkut upaya bagaiman kita menentukan sesuatu lebih berharga dari yang
lain; sementara sistem ide merupakan pengetahuan dan kepercayaan yang terdapat
dalam sebuah masyarakat.
3.
Peralatan
budaya: yaitu penciptaan material yang berupa perkakas
dan peralatan yang diperlukan untuk menunjang kehidupan.
Kesusastraan
sebagai ekspresi atau pernyataan kebudayaan akan mencerminkan pula ketiga unsur
kebudayaan seperti yang dikemukakan di attas:
1.
Kesusastraan mencerminkan sistem
sosial yang dalam masyarakat, sistem kekerabatan, sistem ekonomi, sistem
politik, sistem pendidikan, sistem kepercayaan yang terdapat dalam masyarakat
yang bersangkutan.
2.
Kesusastraan mencerminkan sistem ide
dan sistem nilai, menggambarkan tentang apa yang dikehendaki dan apa yang
ditolak; bahkan karya sastra itu sendiri menjadi objek penilaian yang dilakukan
anggota masyarakat. Orang dapat mengatakan novel ini lebih baik dari novel itu,
dan seterusnya.
3.
Bagaimana mutu peralatan kebudayaan
yang ada dalam masyarakat tercermin pula pada bentuk peralatan tulis menulis
yang digunakan dalam mengembangkan sastra.
Selain
unsur kebudayaan, perlu pula disinggung di sini sifat kebudayaan yang
dirumuskan oleh para ahli antropologi, yaitu sebagai berikut:
1.
Kebudayaan merupakan sesuatu yang
berkesinambungan, sesuatu yang diwariskan, sesuatu yang saling mempengaruhi,
sesuatu yang selalu berubah.
2.
Kebudayaan itu merupakan suatu sistem
lambang, artinya manusia mempunyai kebolehan berkomunikasi dengan menggunakan
lambang-lambang. Bahasa itu sendiri merupakan sistem lambang. Sebenarnya
kesusastraan juga boleh dikatakan sistem lambang bukan karena kesusastraan itu
mengunakan bahasa, tettapi di dalam mengolah suatu nove atau puisi sebenarnya
yang terlahir adalah lambang kehidupan kita.
3.
Kebudayaan itu relatif, artinya
setiap masyarakat mempunyai kebudayaan sendiri yang memiliki ketiga unsur di
atas, mempunyai ciri khas sendiri yang membedakannya dengan kebudayaan yang
lain. Karena kerelatifan ini kita tidak dapat mengatakan suatu kebudayaan lebih
baik dan lebih tinggi dari kebudayaan yang lain. Kita hanya dapat menafsirkan
suatu kebudayaan hanya berdasarkan sistem nilainya sendiri.
Bila
ciri kebudayaan itu kita letakkan pada sastra dan kita kaitkan pula dengan
masyarakat yang menggunakan sastra itu, maka kita dapat mengatakan bahwa nilai
sastra itu pada umumnya terletak pada masyarakat itu sendiri. Kesusastraan
itupada dasarnya bukan saja mempunyai fungsi dalam masyarakat, tetapi juga
mencerminkan dan menyatakan segi-segi yang kadang-kadang kurang jelas terlihat
dalam masyarakat. Sebagaimana juga dengan karya seni yang lain, sastra
mempunyai fungsi sosial dan fungsi estetika.
Fungsi
sosial sastra adalah keterlibatan sastra dalam kehidupan sosial, ekonomi,
politik, etik, kepercayaan dan lain-lain. Fungsi estetika sastra adalah
penampilan karya sastra yang dapat memberikan kenikmatan dan rasa keindahan
bagi pembacanya. Kedua fungsi ini pada umumnya terjalin dengan baik.
Memperhatikan fungsi sosial dan estetika dalam suatu karya sastra sebaiknya
kita hubungkan dengan ciri-ciri simbolisme atau perlambangan dalam sastra.
Kalau kita perhatikan cerita rakyat, misalnya, mungkin kita tidak dapat
menerimanya sebagai suatu pencerminan kehidupan nyata, kita anggap sebagai
dongeng semata, kalau hl itu tidak kita lihat dalam konteks tata nilai yang
berlaku di masyarakat tempat kesusastraan itu tumbuh dan berkembang. Kita
menemui dalam berbagai cerita rakyat atau dalam kesusastraan lama penggambaran
putri raja yang selalu mesti cantik, anak raja yang selalu dan mesti cantik,
anak raja yang selalu gagah dan perkasa, atau adanya putri-putri cantik yang
turun dari kayangan, mungkin kita tidak percaya bahwa hal itu fungsional bagi
kehidupan masyarakat. Kita harus menyadari bahwa melalui perlambangan tadi
rakyat ditanam dengan imajinasi bahwa raja-raja itu mempunyai tempatnya
sendiri, yang berbeda dengan rakyat biasa. Maka fungsi perlambangan semacam ini
jelas berkait kepada kehidupan kebudayaan masyarakat.
Bagaimana
halnya menghadapi sastra modern? Beberapa persoalan timbul: terutama disebabkan
sastra modern merupakan olahan perorangan. Walaupun merupakan produk
perseorangan namun sastrawan itu sendiri merupakan bagian masyarakat umum, dan
ia tidak dapat melepaskan diri dari lingkungan budayanya. Seorang seniman
bukanlah seorang yang terpencil, ia tidak dapat mengelak kehadirannya di
tengah-tengah yang lain; karena itu ia lahir dan berfungsi di tengah-tengaj
masyarakatnya. Walaupun kadang-kadang kita susah memahami suatu karya seni,
tetapi itu harus dimaklumi, karena hakekat kebudayaan bukanlah sesuatu yang
homogen, tetapi sesuatu yang relatif.
Bila
kita menggunakan konsep kebudayaan tadi, maka sastra sebagai ekspresi
kebudayaan akan mencerminkan pula adanya perubahan-perubahan dalam masyarakat,
akan mengenal adanya kesinambungan antara satu dengan yang lain, akan mengenal
adanya pewarisan antara yang lama kepada yang baru, baik disadari maupun tidak.
Masyarakat
Indonesia sedang tumbuh dan berkembang, begitu pula kebudayaannya, termasuk di
dalamnya kesusastraan Indonesia. Keseluruhan kesusastraan Indonesia sekarang
tidak sama dengan keseluruhan kesusastraan Indonesia di tahun lima puluhan,
empat puluhan, atau tiga puluhan. Dengan perkembangan itu fungsi dan nilai
sastra bagi masyarakat pun tumbuh dan berkembang. Tanggung jawab yang
dibebankan kepada para sastrawan semakin besar, mereka tidak cukup hanya
mengetahui aspek-aspek yang membangun sastra saja bila ingin menghasilkan karya
yang bermutu, tetapi juga harus dibarengi dengan pengetahuan sosiologi,
psikologi, falsafah, dan kebudayaan. Pengetahuan sosiologi dan psikologi dapat
mempertajam persepsi mereka tentang manusia yang dikisahkan.
Perkembangan
masyarakat dan kebudayaan kita semakin lama semakin besar dan kompleks,
demikian pula halnya dengan sastra. Dalam masyarakat dulu yang amat kecil
sederhna, setiap individu melakukan kegiatan dan disetujui semua dan untuk
kepentingan semua. Malahan tindakan spontanitas seorang seniman pun harus
berlaku dalam pola-pola atau bentuk yang diakui oleh sekalian anggota golongan.
Jadi sudah ada semacam persetujuan masyarakat tentang nilai-nilai dan
norma-norma yang mengatur tingkah laku dan bentuk ciptaan senimannya. Tetapi
setyelah masyarakat menjadi besar, timbullah banyak perbedaan di antara anggota
masyarakat, malahan kesenian pun cenderung untuk membentuk suatu otonomi,
semacam aktivitas yang terpisah, yang membentuk kelompok sendiri. Dalam kondisi
semacam ini sastra harus dapat tumbuh subur di tengah masyarakat, tentu saja
dengan jalan penciptaan sastra yang benar-benar memperhatikan dan
memperhitungkan kondisi sosial kultural yang ada.
Dari
uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa antara masyarakat, kebudayaan,
dan sastra merupakan suatu jalinan yang kuat yang satu dengan yang lainnya
saling memberi pengaruh, saling membutuhkan, dan saling tentu-menentukan dalam
pertumbuhan dan perkembangannya.
C.
Pemanfaatan
Pendekatan Sosiologis.
Penggunaan pendekatan psikologis dalam melakukan
kritik sastra tidak kurang mendapat serangan pedas daripada kritikus sastra.
Salah satu serangan itu dilancarkan oleh Wellek dan Warren (1956) yang
mengatakan bahwa pendekatan sosiologis atau pendekatan ekstrinsik biasanya
mempermasalahkan sesuatu di seputar sastra
dan masyarakat bersifat sempit dan eksternal. Yang dipersoalkan biasanya
mengenai hubungan sastra dan situasi sosial tertentu, sistem ekonomi, sosial,
adat-istiadat, dan politik. Pendekatan sosiologis semacam itu terutamadianut
dan dilakukan oleh kritikus yang meykini suatu filsafat sosial tertentu,
misalnya para kritikusMarxis, yang telah memiliki sikap terhadap hubungan
sastra dan masyarakat, sehingga sering yang mereka lakukan bukanlah kritik
sastra, melainkan penghakinan yang
didasarkan atas kriteria sosial politik yang sifatnya non sastra.
Ada anggapan, bahwa sastra sebagai karya seni yang
mengambarkan masyarakat cenderunguntuk mengalihkan fungsi sastra menjadi
“Propaganda”. Hal itu dapat berakibat segi-segi teknik dan seni diabaikan. Ada
pula yang beranggapan, kalau sastra tidak memperhatikan apa yang tumbuh dan
hidup di dalam masyarakat dapat menyebabkan sastra kehilangan fungsi sosialnya,
kehilangan nilai didakriknya.
Apakah suatu karya sastra menjadi cermin keadaan
masyarakat di mana dia dilahirkan? Pada umumnya memang begitu, tapi hal itu
tidak harus. Ignas Kleden (1981)menyebutkan: Sastra adalah karya individual
yang di dasarkan pada kebebasan mencipta dan dikembangkan lewat imajinasi. Dia
pertama-tama, karena merupakan cermin diri sang pengarang itu sendiri:
persoalan dan motif-motif pribadinya. Bila dia kebetulan mengucapkan suatu
keadaan umum masyarakat, maka hanya lantaran persoalan umum itu kini terasa
sebagai masalah pribadinya sendiri. Hal kedua ialah, karena kemampuannya
menembus suatu kurun waktu, dia juga tidak terikat dengan masa kininya.
Persoalan yang digarapnya mungkin belum terasa aktual sementara ini. tentu saja
itu tidak dikatakan, bahwa sastra seharusnya suatu yang serba asing dari kehidupan masyarakat. Dia dapat juga
menyampaikan beberapa keluhan masyarakat masanya, tetapi itu tanpa pretensi mau
menjadi jurubicara jamannya dalam arti kata yang lengkap.
Jalan pikiran yang dikemukakan Kleden di atas dapat
dipahami. Kita dapat membenarkan pendapat itu, bahwa: karya sastra tidak harus
merupakan cetak ulang dari kenyataan yang ada. Karya sastra seharusnya juga
dapat berupa suatu imajinasi yang menggunakan lingkungan kemasyarakatan sebagai
titik tolak, dalam arti, sastra boleh jadi berupa interpretasi, dan boleh jadi
pula suatu ketika akan berupa imitasi kehidupan.
Keterkaitan sastra dengan mayarakat dan keterkaitan
masyarakat dengan sastra dapat menjadi diskusi yang panjang dan tak akan ada
habis-habisnya. Kenyataan menunjukkan bahwa ada sementara kritikus sastra yang
memandang bahwa segi-segi kemasyarakatan yang terungkap dalam suatu krya sastra
merupakan ukuran penting untuk digunakan, khususnya dalam pemanfaatan kritik
sastra di sekolah-sekolah. Memang terdapat beberapa pengarang yang menggunakan
karya sastra sebagai salah satu tempat memperjuangkan ide kemasyarakatannya,
antara lain dapat kita sebutkan Sutan
Takdir Alisyahbana, yang dengan gigihnyamemperjuangkan pengembangan tata
kemsyarakatan Indonesia baru. Lahirnya karya seperti les Misaraples oleh pengarang Perancis, Victor Hugo, Si Midah Bergigi Emas oleh Pramudya
Ananta Toer, atau Atheis karya Achdiat
Kartamiharja adalah rekaman-rekaman kehidupan kemasyarakatan yang pernah
dilihat atau dialami pengarangnya.
Di samping adanya pendapat yang menentang pendekatan
sosiologis, namun tidak kurang pula jumlah kritikus yang melihat manfaat kritik
sastra yang menggunakan pendekatan sosiologis ini. Dengan pendekatan sosiologis
orang mungkin dapat menunjukkan sebab-sebab dan latar belakang kelahiran sebuah
karya sastra, bahkan mungkin dapat melihat kritikus agar terhindar dari
kekeliruan tentang hakekat karya sastra yang ditelaah, terutama dalam
menentukan fungsi suatu karya sastra dan mengetahui beberapa aspek sosial lain
yang harus diketahui sebelum penelaahan dilakukan. Kritik sosiologis berfungsi
deskriftif: dengan deskripsi kemasyarakatan yang melingkupi satu karya sastra,
sering memberi bantuan yang besar terhadap keberhasilan suatu kritik sastra
yang dilakukan.
Kritik sosiologis juga berfaedah dalam mengembangkan
pengetahuan kita dengan memberikan keterangan tentang misalnya, mengapa
beberapa kelemahan menjadi ciri khas dalam suatu periode tertentu, mengapa
sustu kurun waktu tertentu memperlihatkan adanya suatu kesamaan, atau mengapa
karya-karya Hamka memperlihatkan suatu suasana yang memancing keharuan? Atau
mengapa Hamka cenderung untuk membunuh para tokoh ceritanya? Dengan
bantuan Ssosiologi sastra hal itu dapat diketahui dan dipahami secara lebih
mendalam.
Menurut Umar Yunus, keunggulan novel Telegram karya Putu Wijaya terletak
dalam kemampuan pengarangnya membuat “pengacauan antara realitas dan imajinasi
yang menyebabkan kecurigaan yang dapat membangun suatu suspens yang meyakinkan, sehingga kita tidak pernah berhenti dari
pertanyaan dan selalu dihadapkan kepada ketiba-tibaan yang tidak dapat diduga
sebelumnya”. Demikian pula halnya dengan novel-novel Iwang Simatupang: ia
tampaknya tidak tunduk dengan aturan-aturan yang berlaku, mereka (Putu dan
Iwan) dengan sadar atau tidak, menunjukkan kemerdekaan manusia untuk menerobos
batas-batas ruang dan waktu.
Dapat dipahami bahwa bilamana seseorang ingin
mengetahui keadaan sosiologis dari suatu massa karya tertentu ditulis, kita
memang belum tentu dapat mengenal tata kemasyarakatan yang ada waktu itu,
tetapi setidaknya kita dapat mengenal tema-tema mana yang kira-kira dominan
pada kurun waktu itu. Bisa terjadi seorang pengarang dengan motif tertentu
mengemukakan sesuatu yang mungkin keluar dari pola berpikir umum pada waktu
itu.
Pengarang-pengarang besar, menurut Sapardi Djoko
Damono (1978), tidak sekedar menggambarkan dunia sosial secara mentah. Ia
mengemban tugas yang mendesak: memainkan tokoh-tokoh ciptaannya itu dalam suatu
situasi rekaan agar mencari nasib
mereka sendiri, untuk selanjutnya menemukan nilai dan makna dalam dunia sosial.
Sastra karya pengarang besar melukiskan kecemasan, harapan, dan aspirasi
manusia; oleh karena itu barangkali ia merupakan salah satu barometer
sosiologis yang paling efektif untuk mengukur tanggapan manusia terhadap
kekuatan-kekuatan soial. Dan karena sastra juga akan selalu mencerminkan
nilai-nilai dan perasaan sosial, dapat diramalkan bahwa semakin sulit nantinya
mengadakan analisis terhadap sastra sebagai cermin masyarakat sebab masyarakat
semakin menjadi rumit. Dalam novel-novel yang ditulis pada abad kedelapan belas
di Inggris mungkin masih dapat ditemukan gambaran masyarakat secara utuh;
tetapi sementara masyarakat semakin berkembang dan struktur masyarakat semakin
kompleks; dalam novel modern, gambaram semacam itu sulit ditemukan. Kalaupun
novel-novel dikatakan mencerminkan struktur sosial, maka yang didapatkan di
dalamnya adalah gambaran masalah masyarakat secara umum ditilik dari sudut
tertentu yang terbatas, yang berperan sebagai mikro kosmos sosial: lingkungan
bangsawan, borjuis, seniman, intelektual, dan lain-lain.
Suatu bahaya yang mungkin timbul dalam menggunakan
pendekatan ini adalah bila pengeritik yang menganut suatu paham politik
tertentu mengadakan suatu telaah terhadap suatu karya sastra yang tidak sejalan
dengan aliran politik yang dianut pengeritik. Hail yang akan dicapai dapat
keluar dari hakekat kritik sastra yang sesungguhnya, untuk kemudian menjurus
kepada pertentangan paham politik.
Suatu hal yang perlu dipahami dalam melakukan
pendekatan sosiologis ini adalah, bahwa walaupun seorang pengarang melukiskan
kondisi sosial yang berada di lingkungannya, namun ia belum tentu menyuarakan
kemauan masyarakatnya, dalam arti: dia tidaklah mewakili atau menyalurkan
keinginan-keinginan kelmpok masyarakat tertentu, yang pasti dia hanyalah
menyalurkan atau mewakili hatinya sendiri. Dan bila dia kebetulan mengucapkan
sesuatu yang bergolak dalam masyarakatnya, hal itu merupakan suatu kebetulan
belaka atau kebetulan ketajaman hatinya dapat menangkap isyarat-isyarat itu.
Oleh sebab itu seorang pengeritik yang menggunakan pendekatan sosiologis ini
harus berhati-hati dalam mengambil kesimpulan yang berhubungan dengan pertautan
antara masa lahir suatu karya sastra dengan tata kemasyarakatan yang da di
waktu itu, sebab, seperti sudah disinggung di atas, bisa terjadi dengan daya
kreatifitas, pengarang justru mengungkapkan tentang suatu masyarakat yang
diinginkannya.
Para pengeritik sastra dengan menggunakan pendekatan
ini tentu akan mempertimbangkan: apakah pengarang dalam mengungkapkan segi-segi
kemasyarakatan itu dilakukan dengan cara yang menarik, dalam arti dia mampu
menarik hati pembacanya untuk merasakan apa yang dipersoalkannya atau dapat
membuat pembaca merenung dan memikirkannya. Dan sebagai sebuah hasil seni,
pengeritik tentunya akan melihat sejauh mana pengarang dapat menjalin
dokumentasi sosialnya sehingga menjadi suatu karya yang mempunyai nilai seni
dan kemasyarakatan yang besar.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa pendekatan
sosiologis mempunyai segi-segi yang bermanfat dan berdaya guna yang tinggi bila
para kritikus sendiri tidak melupakan atau memperhatikan segi-segi instrinsik
yang membangun karya sastra, di samping memperhatikan faktor-faktor sosiologis,
serta menyadari bahwa karya sastra itu diciptakan oleh suatu kreatifitas dengan
memanfaatkan faktor imajinasi.
D.
Pertanyaan Pemahaman
1. Kemukakan bagan sosiologi sastra menurut Wellek dan
Warren; dan bagaimana pula menurut Ian Watt ?
2. Bagaimana hubungan antara sastra dan kebudayaan ?
3. Bagaiman pendapat beberapa kritikus terhadap
pendekatan sosiologis dalam kritik sastra ?
4. Apakah mutlak sastra mencerminkan kehidupan
masyarakat ?
Selasa, 19 Maret 2019 – 07:18 WIB
—SP42—
PUSTAKA : Drs. Atar
Semi, “Kritik Sastra”
Penerbit : ANGKASA Bandung 1984
Tidak ada komentar:
Posting Komentar