Blog Sita : “Sastra Nusantara”
Sabtu, 23 Maret 2019 – 13:40 WIB
TENTANG KRITIK
SASTRA KITA
A.
Perkembangan Kritik Sastra Indonesia.
Tradisi kritik
sastra di tanah air kita ini masih sangat muda, lebih muda dari sastra
Indonesia itu sendiri. Karena itulumrah kalau ada orang yang menganggap bahwa
tradisi kritik sastra kita masih goyah. Sungguhpun demikian yang membesarkan
hati adalah, bahwa ada kegairahan untuk mengeritik dan berbicara tentang kritik
sastra.
Kritik sastra
Indonesia dikenal baru setelah budayawan dan sastrawan mengenyam pendidikan
Barat. Sebelum itu penilaian atas karya sastra hanyalah dalam hubungan dengan
kepercayaan, agama, dan mistik. Pendidikan Barat membuka mata para sastrawan
dan budayawan umumnya, bahwa sastra tidak harus sepenuhnya ditautkan dengan
dunia keagamaan, dan sastra tidak akan kehilangan hakekatnya walaupun
dilepaskan dari norma keagamaan. Seiring dengan kesadaran itu, orang mulai
memikirkan tentang hakekat sastra serta bagaimana menemukan dan mencari nilai
sastra. Hal ini menimbulkan minat pula dalam membaca dan mempelajari tentang
permasalahan esei dan kritik sastra yang berkembang pesat di negara-negara
lain. Pada saat itu dunia kritik mulai muncul di Indonesia. Semuanya itu
bermula pada abad kedua puluh ini.
Pada mulanya,
istilah kritik kurang disukai, namun pengertian tentang
kritik tampaknya berkembang dengan baik. Karangan-karangan yang dimuat dalam
majalah Pujangga Baru memberikan
buktibahwa kritik sastra telah mendapat tempat yang baik di kalangan para
sastrawan Indonesia pada waktu itu. Di antaranya terdapat tulisan-tulisan
kritik sastra yang ditulis J.E. Tatengkeng, di bawah judul Pendidikan dan Pengakuan; serta
karangan-karangan Sutan Takdir Alisyahbana, Armijn Pane, serta kelompok
sastrawan Pujangga Baru pda umumnya. Siapa yang mula-mula menggunakan istilah kritik dalam dunia kesastraan di In
donesia, tidak ada catatan yang dapat dipegang. Yang pasti adalah bahwa H.B.
Jassin telah menerbitkan buku kritik dan esei di bawah judul Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik
dan Essey, yang bertarikh 1954. Kemudian bukunya ini berkembang terus
sehingga mencapai empat jilid, dengan judul yang disesuaikan dengan pola ejaan
baru, sehingga judulnya menjadi: Kesusastraan
Indonesia Modern dala Kritik dan Esi. Di samping itu buku-buku H.B. Jassin
yang lain juga muncul. Ia dengan segala kesungguhan dan ketekunan, merupakan
seorang dokumentator kesusastraan Indonesia yang memiliki perpustakaan yang
lengkap.
Buku kritik sastra
yang lain yang patut disebut lebih awal adalah Pokok dan Tokoh karya A. Teew, seorang Mahaguru di Uniberstas
Leiden, Negeri Belanda, yang banyak menaruh minat terhadap kesusastraan
Indonesia. Setelah muncullah kritik-kritik sastra yang dihasilkan oleh
tokh-tokoh lebih muda yang sebagian besar murid-muridnya H.B. Jassin, antara
lain Boen S. Oemaryati, J.U. Nasution, M.S. Hutagalung. Dari kalangan sastrawan
atau pengarang pun bermunculan kritik sastra, nama-nama mereka antara lain
Gunawan Muhamad Arief Budiman, Asrul Sani, Sapardi Djoko Damono, Sitor
Situmorang, Ajib Rosidi. Sedangkan tulisan-tulisan tentang kritik sastra tidak
terbatas hanya pada beberapa buku kritik dan esei saja, namun meluas pada
pemanfaatan mass media seperti majalah sastra dan surat kabar. Majalah sastra
dan budaya yang memuat kritik sastra adalah Mimbar
Indonesia, Siasat, Indonesia, Budaya, Basis, Budaya Jaya, Horison, sedangkan
surat kabar, seperti: Sinar Harapan,
Kompas, Indonesia Raya, Merdeka, suara Karya.
Dalam ejarah kritik
sastra di Indonesia pernah tumbuh beberapa perbincangan tentang berbagai
masalah, antara lain sebagai berikut :
1.
Masalah seni untuk seni atau seni
untuk masyarakat, yang berkembang dari tahun 1936 sampai tahun 1946.
2.
Masalah orientasi ke Barat atau ke
Timur, yang dimulai oleh kelompok Pujangga Baru sekitar tahun 1933 dan masih
berkembang sampai tahun 1963.
3.
Masalah keuniversalan atau
kenasionalan pernah pula menjadi topik perbincanagan di sekitar tahun
limapuluhan.
4.
Perdebatan antara satu generasi
angkatan dengan angkatan sebeumnya, misalnya antara Chairil Anwar dan Asrul
Sani dengan tokoh-tokoh Angkatan Pujangga Baru.
5.
Tentang realisme sosialis versus “Surat Kepercayaan Gelanggang.”
6.
Perdebatan tentang ada tidaknya suatu
angkatan setelah Angkatan 45.
7.
Perdebatan tentang ada tidaknya
“krisis” dalam kesusastraan Indonesia, yang terjadi pada tahun limapuluhan.
8.
Perdebatan atau polemik metode
kritik, khususnya tentang kritikanalitik versus Ganzheit pada penghujung tahun enampuluhan.
Setelah itu memang
memang belum ada yang patut dicatat. Sungguhpun demikian, itu tidak berarti
tidak ada kegiatan kritik sastra yang berlangsung. Tulisan-tulisan tentang
kritik sastra kita jumpai dalam berbagai surat kabar dan di dalam majalah
sastra, , seperti Horison. Keadaan ini memang patut pula menjadi catatan dan
perhatian. Kalaupun tampak sedikit kelesuan tentang kelahiran buku-buku kritik
sastra, atau tulisan tentang kritik
sastra yang mampu menggelitik dan
memancing polemik, namun harus diakui bahwa kegiatan penciptaan sastra dan
minat baca sastra di kalangan masyarakat nampaknya menunjukkan tendensi
meningkat.
Tentang perdebatan
sastra yang sekarang kelihatannya tidak memiliki api sebagaimana yang kita kenal dulu, Gunawan Muhamad (1980) dalam
bukunya Seks, Sastra, Kita, mengajukan
pertanyaan ini, dan kemudian dijawabnya sendiri. “Saya tidak punya prestasi
untuk bisa memberikan suatu jawaban yang final di sini. Mungkin saja keadaan
tersebut timbul karena para pengarang tidak melihat gunanya untuk berdebat
tentang pendirian-pendirian yang sifatnya teoritis, dan mereka langsung terjun
dalam praksis
penciptaan. Sebab tiadanya polemik ternyata tidak memperlihatkan susutnya
kegiatan mencipta. Cerita-cerita pendek terus ditulis, untuk majalah Horison atau untuk surat kabar harian,
misalnya Kompas, Sinar Harapan dan
beberapa berkala wanita. Akhir-akhir ini terutama melalui penerbit penerbit
Pustaka Jaya mulai banyak muncul kumpulan cerita pendek, puisi, esei, novel.
Selama beberapa tahun ini naskah cerita untuk teater karangan asli, bukan
terjemahan, barangkali mencapai jumlah yang paling besar semenjak kemerdekaan.
Belum lama berselang saya ikut menjadi juri sayembara penulisan roman, dan saya
dapatkan tidak sedikit naskah yang masuk, di antaranya mengungkapkan mutu yang
menggembirakan. Pendeknya keadaan kesusastraan Indonesia nampak sehat-sehat
saja. hanya tidak terdapat pertengkaran riuhnya ide-ide.
Sesuatu yang kita
idamkan tentulah kemajuan pertumbuhan penciptaan sastra selalu seiring sejalan
dengan pertumbuhan dan kemajuan kritik sastra, karena keduanya saling
memerlukan.
Tentang kemajuan
atau pasang surut pemikiran tentang kritik sastra kita dewasa ini bisa
menimbulkan berbagai pendapat dan tafsiran. Ada yang berpendapat bahwa kritik
sastra sudah berjalan wajar; ada yang menganggap kritik sastra tidak memiliki
wibawa dalam masyarakat. Kalau terjadi kekurangan pertumbuhan sastra, teori
sastra, lalu siapa yang harus dipersalahkan. Sukar untuk diberikan jawaban yang
pasti, bisa disebabkan daya beli masyarakat terhadap karya sastra dan buku-buku
kritik sastra yang amat rendah, biaya penerbitan yang selalu tinggi, atau
mungkin oleh karena wibawa kritikus sastra yang hilang karena direnggut oleh
kekuatan-kekuatan politik atau organisasi massa yang ingin menghukum suatu
karya sastra dengan ukuran yang dicari dan dibuat berdasarkan kemauan politik
tertentu, dan mungkin pula disebabkan oleh berbagai hal yang sukar diketahui.
Salah seorang
penganut sastra Indonesia yang terkemuka, Prof. Dr. A. Teeuw, dalam kertas
kerjanya pada penataran sastra tahap I, yang diselenggarakan oleh Proyek
Pengembangan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah, Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di Tugu, Bogor, dari
tanggal 8 September sampai 6 November 1978, mengemukakan pendapatnya tentang
situasi dan masalah perkembangan teori dan kritik sastra Indonesia yang kurang
memuaskan. Faktor-faktor yang menyebabkan keadaan ini antara lain sebagai
berikut :
1.
Kekurangan majalah sastra (tetapi ini
akibat bukan sebab
masalahnya).
2.
Kritik sastra sebagai kritik
kewartawanan, yaitu kritik melalui surat kabar. Hal ini ada baiknya: dapat
memancing minat yang luas, tetapi ada juga buruknya; mengakibatkan kedangkalan,
menekankan aspek pribadi pengarang, bukan karyanya, menonjolkan heboh sastra, sensasi dan lain-lain.
3.
Kekurangan pendidikan sastra; baik di
tingkat universitas, maupun di tingkat sekolah menengah.
4.
Anggapan yang tersebar luas
seakan-akan sastra hanya permainan saja, tidak perlu diminati secara
sunguh-sungguh. Anggapan ini pun ering diperkuat atau ditimbulkan oleh sikap
dan cara bekerja sastrawan sendiri.
5.
Kekurangan kebiasaan membaca dan
penilaian rendah terhadap buku dan majalah sastra (sudah barang tentu
berhubungan erat dengan nomor 4).
6.
Kekurangan terjemahan karya sastra
dunia yang bermutu tinggi ke dalam bahasa Indonesia.
7.
Kekurangan kemampuan bahasa asing
(Inggris) dan kesukaran membeli buku sastra yang penting dalam bahasa Inggris.
Pendapat atau buah
pikiran A. Teeuw di atas, terlepas dari setuju atau tidak setuju, patut di
renungkan. Ketidakpuasan terhadap kritiksastra kita memang sering dilontarkan
banyak orang, tetapi hal itu merupakan bagian dari suatu keinginan untuk
melihat dan mendapatkan masa depan sastra, teori, dan kritik yang lebih baik
dari yang sekarang. Dan suatu kegagalan bukannya sesuatu yang tidak bermanfaat.
Itulah sebabnya, ketidakpuasan terhadap situasi kritik sastra kita seperti yang
terasa belakangan ini tidak dengan sendirinya mengharuskan beberapa kritikus
mundur. Rasa tidak puas dan perbedaan pendapat tentang kritik sastra Indonesia
dengan sendirinya bermanfaat besar dalam menciptakan momentum kreatif yang
diharapkan secara berangsur-angsur menunbuhkan minat banyak orang untuk berbuat
lebih banyak dan lebih baik di masa datang yang singkat.
Bahwa kritik
kewartawanan atau kritik jurnalistik menampakkan perkembangannya yang
menggembirakan, sementara kritik akademik menunjukkan kelesuan merupakan suatu
gejala, yang bila akan dibenarkan atau akan dibantah, tentu memerlukan
penelaahan dan data yang memadai. Barangkali hal ini patut menjadi telaahan
atau kajian bagi siapa yang berminat. Namun yang hendak disinggung di sini
adalah perkembangan kritik akademik sastra dari dulu sampai sekarang eperti
sepintas lalu.
Kritik akademik
yang dimaksudkan di sini adalah kritik yang dilakukan dengan mengikuti metode
tertentu oleh para akademisi (sarjana atau calon sarjana) yang biasanya
cenderung melakukan kritik sastra dengan metode close-reading dan pendekatan fisiologi. Mereka memang terbekali
dengan ilmu kebahasaan dan kebudayaan, sehingga terdapat kecenderungan untuk
membicarakan juga segi-segi kesejarahan, kebudayaan, di samping pembicarakan
segi-segi intrinsik yang dilakukan melalui media, yang memiliki halaman yang
terbatas dan oleh sebab itu cenderung untuk disesuaikan dengan masyarakat umum,
sehingga pembicaraan menjurus pada pembicaraan selayang pandang tentang aspek
tertentu.
Kritik akademik,
atau katakanlah pengkajian akademik, kesusastraan Indonesia dilakukan secara
serius dalam tahun limapuluhan dengan terbitnya buku Prof. Dr. A. Teeuw Pokok dan Tokoh, kemudian karya H.B.
Yassin: Kesusastraan Indonesia Modern
dalam Kritik dan Esei. Kedua tokoh ini amat berjasa dalam mengembangkan
tradisi tradisi kritik akademik di Indonesia. Pengembangan lebih lanjut terjadi
dengan bantuan dan doronganH.B. Yassin, dengan diterbitkannya beberapa skripsi
yang ditulis oleh para calon sarjana atau sarjana muda dari Universitas
Indonesia. Misalnya karya J.U. Nasution: Sitor
Situmorang Sebagai Penyair dan Penulis Cerita Pendek, dan buku Pujangga Sanusi Pane. Dari M.S.
Hutagalung kita dapati buku Jalan Tak Ada
Ujung, Muchtar Lubis dan buku Tanggapan
Dunia Asrul Sani. Dari tangan Boen S. Oemarjati kita dapati Roman Atheis Achdiat K. Miharja dan buku
Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia. Dari
IKIP kita jumpai Fachruddin Ambo Enre dengan telaah sastranya yang berjudul Perkembangan Puisi Indonesia dalam Masa
Duapuluhana; dari Ibrahim kita dapati Drama
dalam Pendidikan. Buku-buku di atas pada umumnya diterbitkan oleh Gunung
Agung. Dari Umar Junus (IKIP Malang) kita jumpai buku Dasar Interpretasi Sanjak
(Pendekatan Linguistik). Dari Universitas Gajah Mada kita jumpai Rachmat
Djoko Pradopo: Beberapa Gagasan dalam
Bidang Kritik Sastra Indonesia Modern. Di samping itu kita temui pula
beberapa buku lain seperti Pertumbuhan,
Perkembangan dan Kejatuhan Lekra di
Indonesia oleh Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Bahasa dan Kesusastraan Indonesia Sebagai Cermin Manusia Indonesia
Baru yang berisi kertas kerja dalam
simposium Bahasa dan Kesusastraan Indonesia tahun 1966, Angkatan 66 Prosa dan Puisi.
Di dalam beberapa
buku telaah sastra yang kita sebutkan itu, kita tidak melihat dasar metodologi
atau teori yang jelas, namun terlihat kecenderungan mereka menggunakan
pendekatan struktural. Kecenderungan kalangan sarjana sastra untuk menggunakan
pendekatan struktural itu secara eksplisit terungkap dalam suatu pertemuan atau
diskusi yang diselenggarakan di Gedung Balai Budaya, Jakarta, pada tanggal 3
Oktober 1968. Pada kesempatan itu kelompok sarjana sastra kampus Rawamangun
melansirkan dan mempertahankan tentang pendekatan struktural, yang nmereka
sebut dengan kritik santra dengan metode
analitik. Metode analitik ini kemudian
lebih populer dengan Aliran
Rangun, tokoh-tokohnya antara lain: M. Saleh Saad, Lukman Ali, S. Effendi,
M.S. Hutagalung. Aliran ini mendapat tantangan dari Gunawan Muhamad dan Arief
Budiman, mereka beranggapan bahwa kritik sastra analitik cenderung memperkosa hakekat sastra itu sendiri,
dan mereka (Gunawan dan Arief) mengetengahkan metode Ganzheit dalam kritik
seni. Metode ini cenderung untuk menggunakan pendekatan reseptif, yaang lebih
menekankan kesan yang diterima secara totalitas.
Meskipun pengkajian
akademik kesusastraan di Indonesia telah memberikan sumbangan yang besar pada
berbagai masalah kesusastraan di Indonesia, namun pada dasarnya pengkajian
akademik yang ada itu masih berada pada tahap awal, yang memerlukan
pengembangan lebih lanjut. Soalnya pengembangan lebih lanjut itu tidaklah
selancar yang diharapkan, dan dalam keadaan begitu kritik jurnalistik tentu
memberikan andil yang besar dalam mengisi ruang yang kosong yang belum diisi
oleh kritik akademik. Tentang metode kritik sastra, tidak perlu dipersoalkan
apakah kritik Aliran Rawamangun atau kritik Ganzheit
yang benar, yang penting mutu kritik
sastra harus ditingkatkan, bagaimanapun juga pendekatannya.
B. Gambaran Tema Sastra Indonesia
Jika kita telusuri
perkembangan tema sastra Indonesia teruatama atau khususnya dalam karya fiksi
akan terlihat bahwa sejak tahap-tahap permulaan perkembangan sastra Indonesia
modern, yakni sekitar tahun dua puluhan, tema-tema pokok yang muncul adalah
tentang realisme formal, yaitu gambaran kenyataan sosial tempat cerita itu bermain, yang tidak luput
pula dilatarbelakangi oleh kondisi sosio-kultural dan sosio-politik yang ada
dalam masyarakat di saat cerita itu berlangsung.
Pada permulaan abad
kedua puluh, di saaat bangsa Indonesia mulai mengenal kebudayaan Barat,
mulailah kita mengenal adanya bentuk novel dengan munculnya Si Jamin dan Si Johan yang dikerjakan
oleh Marari Siregar (1919), yang merupakan saduran dari sketsa pengarang
Belanda, Justus van Maurik: Jan Smiees.
Karangan itu diikuti pula oleh novel Azab
dan Sengsara juga buah tangan Marari Siregar (1920), dan disusul oleh
beberapa novel lain seperti Siti Nurbaya,
Salah Asuhan, Darah Muda. Dengan demikian mulailah suatu era baru dalam
sastra Indonesia; tema-tema sastra sebelumnya, yakni tentang kebangsawanan,
kepahlawanan, dan keagamaan, beralih kepada tema-tema kemasyarakatan dan
kehidupan sehari-hari.
Pada awal tahun dua
puluhan itu mulai terjadinya kebangkitan
nasiona, kesadaran akan perlu adanya perubahan sikap hidup bagi kalangan
cendikiawan tumbuh, maka mulailah dirasakan feodalisme merupakan hambatan
kemajuan. Masalah itu pula yang mendapat tempat dalam novel-novel kita yang
ditulis pada saat itu. Pengaruh kebudayaan Barat terhadap cara berpikir
masyarakat golongan menengah dan golongan atas yang hidup di kota-kota, banyak
pula mempengaruhi para sastrawan dalam menuliskan novel-novel mereka. Tidak
sekedar itu, peristiwa Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 memberi pengaruh besar
pula terhadap pemikiran adanya kesatuan budaya dan pembinaan kebudayaan
nasional; hal itu tercermin dalam Layar
Terkembang-nya Sutan Takdir Alisjahbanadan dalam beberapa puisi Muh. Yamin
dan Rustam Efendi, dan tokoh-tokoh Pujangga Baru lainnya. Novel Belenggu dari Sanusi Pane, meskipun
tidak secara langsung mengungkapkan masalah orientasi kebudayaan baru, namun
terkesan adanya penampilam terhadap sikap hidup masyarakat modern; hal itu
dapat dilihat dari kehidupan rumah tangga Dr. Sukartono dan Sumartini. Suatu
kehidupan yang bukan Timur dan Barat.
Periode sastra
sebelum pergolakan kemerdekaan memang digumuli oleh kehidupan masyarakat kota
tempat para cendikiawan dan sastrawan tumbuh dan berkembang, yang mengacu
kepada mayarakat Indonesia modern yang berorientasi pada perpaduan antara
kebudayaan Timur dan Barat. Masyarakat Indonesia di kota-kota, yang menjadi
pendukung peradaban modern pada umumnya, terobang-ambing pada dua kebudayaan
itu. Di antara mereka ada yang sadar akan goyahnya nilai sosial budaya yang
dijunjunnya, kemudian dengan sengit hendak membela dan mempertahankan
nilai-nilai sosial budaya leluhur mereka; di samping itu ada pula yang
menginginkan terjadinya pembaharuan di segala sektor kehidupan dengan menimba
penggetahuan dan kebudayaan Barat yang dinilai dapat mengantar masyarakat
Indonesia ke kehidupan modern dan maju.
Demikianlah
kedudukan budaya Indonesia pada waktu pra kemerdekaan itu, yang hidup antara
dua dunia, yang menurut Ajip Rosidi sama-sama
menjemukan. Hal itu pernah menimbulkan polemik yang cukup hangat di antara
para budayawan kita.
Pada zaman
berikutnya, yaitu zaman Chairil Anwar dan kawan-kawan, mulai menyingkirka masalah perbedaan antara Timur dan Barat,
karena yang hendak dituju adalah masalah humanisme universal; penjajahan
Belanda yang disusul dengan penjajahan Jepang dan Perang Dunia II akhirnya
mengalihkan perhatian gerakan kemerdekaan. Tema-tema perjuangan merebut
kemerdekaan banyak mengilhami karya-karya sastra waktu itu, misalnya Keluarga Geriya, Mereka yang Dilupakan,
Surabaya, Jalan Tak Ada Ujung, dan beberapa puisi Chairil Anwar, Asrul
Sani, dan sastrawan-sastrawan lainnya.
Walaupun masalah
perjuangan kemerdekaan banyak mendapat tempat dalam dalam karya sastra Angkatan
45, namun masalah orientasi ke kebudayaan Barat tidak lenyap, orientasi
kebudayaan Angkatan Chairil Anwar, menurut Subagio Sastrowardoyo (1980), pada
dasarnya tidaklah berbeda dengan yang terdapat pada Pujangga Baru. Sebutan
kebudayaan universal nampaknya
berorientasi ke Barat juga, khususnya ke Negeri Belanda. Masalah pengaruh
kebudayaan Barat terhadap arus modernisasi yang mengakibatkan timbulnya
berbagai benturan nilai di dalam masyarakat masih mendapat tempat, satu di
antaranya adalah Atheis karya Achdiat
Kartamihardja. Achdiat menggambarkan tentang orang-orang yang dibesarkan dalam
dan dengan lingkungan tradisi kemudian setelah dewasa hidup di kota, di mana
arus modernisasi terasa lebih dominan, menyebabkan mereka terombang-ambing yang
akhirnya kehilangan keseimbangan dan pegangan.
Setelah masa
kemerdekaan, masalah sosial yang diungkapkan dalam sastra Indonesia menjadi
tersebar luas, segala masalah kehidupan bermasyarakat, berbudaya, berbangsa
menjadi tema-tema karya sastra. Tema-tema yang dipilih terutama yang dirasakan
sebagai persoalan masyarakat, tidak terbatas pada masyarakat tertentu saja,
tetapi mencakup masalah manusia pada umumnya, seperti masalah cinta kasih,
pengabdian, kemiskinan, keagamaan, dan lain-lain.
Lebih kurang tujuh
tahun setelah Angkatan 45, Chairil Anwar meninggal dunia, pengarang-pengarang
lain muncul dengan meniupkan suatu kemunculan Angkatan Terbaru Sastrawan Indonesia dengan Ajip Rosidi sebagai
juru bicaranya.
Mereka mengeritik
dan mengecam Chairil Anwar dan teman-temannya dengan menyebutkan: secara ruhaniah tanah air mereka adalah
Belanda dan Eropa, sedangkan generasi mereka, generasi lima puluhan,
merupakan generasi yang tumbuh dan berakar pada bumi mereka sendiri. Zaman itu
penyair-penyair muda Indonesia menulis pujaan pada ibu pertiwi yang hangat,
legenda, serta balada romantis yang banyak diterbitkan oleh berkala seperti kisah, seni (Jakarta), Budaya (Yogyakarta). Sebuah buku puisi
yang tipikal buat tahun lima puluhan adalah Priangan
si Jelita, sebuah nyanyian cinta dan pemujaan kepada tanah tumpah darah,
oleh Ramadhan K.H.; lainnya adalah Balada
Orang-orang Tercinta oleh W.S. Rendra; lainnya adalah Romance Perjalanan oleh Kirjomuljo. Suatu ciri khas periode lima
puluhan adalah, individualisme mulai mengendor dan semangat nasionalisme
dikembangkan. Hal itu bisa terjadi oleh kesadaran para sastrawan sendiri atau
oleh cuaca politik waktu itu mencegah para sastrwan untuk berbicara mengenai
perasaan dan mengenai masalah diri sendiri; sehingga yang terjadi adalah
ungkapan-ungkapan hebat dan pelarian kata-kata abstrak dalam puisi. Dalam
suasana itu pula lahirnya suatu kelompok sastrawan yang berkiblat kepada ajaran
Marxisme-Lenimisme, yang terkenal dengan nama LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat)
yang akhirnya dapat merebut simpati sastrawan terkemuka Indonesia, Pramudya
Ananta Toer. Pengaruh kehadiran Lekra ini mendorong lahirnya lembaga kebudayaan
lain, seperti LKN (Lembaga Kebudayaan Naional) yang berinduk kepada PNI;
LESBUMI ( Lembaga Seniman Budayawan Muslim) yang bernaung di bawah NU.
Setelah itu,
mulailah wajah kesusastraan Indonesia menunjukkan keanekaragaman, yang
sekaligus mencerminkan kekalutan kehidupan politik dan soal budaya waktu itu.
Kemudian setelah terjadinya pemberontakan Gerakan G 30 S PKI dan munculnya
angkatan astrawa muda, yang disebut Angkatan 66, maka dunia sastra Indonesia
waktu itu dipenuhi oleh teriakan semangat juang generasi muda yang menginginkan
kehidupan kenegaraan yang lebih baik, dengan tokoh populer waktu itu adalah
Taufik Ismail, dengan kumpulan sanjaknya Tirani
dan Benteng yang pada umumnya berisi pekik militansi generasi muda yang
menghendaki pembaharuan dari segala sektor kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sikap-sikap militansi itulah yang mewarnai kehidupan sastra di tahun enampuluh
enam dan beberapa waktu sesudahnya. Hampir semua puisi, cerita pendek, dan
drama yang dimuat dalam majalah sastra Horison
melontarkan semangat perang suci melawan “kemerosotan” yang dikaitkan
dengan suasana semua rezim orde lama, dan menyampaikan berbagai macam ritik
sosial.
Pekik semangat perjuangan
dan kritik sosial yang tajam akhirnya mengendor. Penyampaian sesuatu secara
lebih konkrit akhirnya berubah menjadi penyampaian yang mengarah kepada sesuatu
yang abstrak yang selalu membuka berbagai kemungkinan penafsiran. Novel-novel
Iwan Simatupang seperti Merahnya Merah,
Ziarah, Kering, Koong, serta novel-novel Putu Wijaya Telegram, Stasiun, dan berbagai naskah dramanya, demikian pula
puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri, Ibrahim Sattah, Hamid Jabar, Danarto,
merupakan contoh pembaharuan pula dalam penampilan tokoh-tokoh. Mereka tidak
hanya mempersoalkan nilai-nilai yang ada tetapi malahan meniadakannya, bahkan
sering terlihat bahwa tata sosial yang digambarkan di luar apa yang kita kenal
dalam kenyataannya.
C. Realisme Sosialis dan Humanisme Universal.
Realisme sosialis
pernah tercermin dalam sejarah pertumbuhan sastra Indonesia, yakni melalui
karya penulis-penulis anggota LEKRA pada masa jayanya antara tahun 1950 sampai
tahun 1965.
Lekra didirikan
pada tanggal 17 Agustus 1950, enam bulan setelah diumumkan “Surat Kepercayaan
Gelanggang” yang berpandangan humanisme universal. Pada mukaddimah
kelahirannya, tegas-tegas disebutkan menganut paham realisme sosialis atau paham “seni untuk rakyat”. Paham itu
disampaikan melalui juru bicara mereka seperti Bakri Siregar, Buyung Saleh (IS
Puradisastra), dan A.S. Dharta (juga memakai nama samaran lain seperti
Yogaswara dan Klara Akustia, nama sebenarnya Rodji). Dengan demikian pandangan
atau paham Marxisme-Leninisme mulai menyusupi sastra Indonesia. Bakri Siregar
pernah menulis pada tahun 1964: bahwa seniman yang tergabung dalam Lekra
tegas-tegas berpihak kepada rakyat dan menganut paham seni untuk rakyat serta
menolak aliran seni untuk seni. Ide-ide,
pikiran, serta karya-karya Maxim Gorki, bapak realisme sosialis di Uni Sovyet
dan Lu Shun, pelopor sastra Tiongkok modern dan revolusioner, serta tokoh-tokoh
revolusioner dunia lainnya memberikan bahan dan merupakan pegangan, serta
menerima pula metode realisme sosialis dengan pegangan: poltik adalah panglima, serta mengabdi kepada rakyat pekerja.
Tokoh lain, Klra
Akustia, menyatakan bahwa sastrawan yang membicarakan masalah perorangan
(individualisme), yang tak ada sangkut-pautnya dengan manusia banyak, tidak
punya sumbangan kepada kemajuan bangsa, harus disingkirkan. Bagi Lekra, sastra
hanya dipandang sebagai alat, sedangkan ilhamnya sudah disediakan oleh ideologi. Penghayatan dan
pengalaman pribadi sastrawan harus dibendung selama tidak ada sangkut-pautnya
dengan revolusi sosialis. Dan pada kesempatan lain, yakni dalam Kongres
Kebudayaan Indonesia tahun 1951, ia mengatakan, “Perkembangan kesusastraan
adalah sejarah pertarungan dua kekuatan yang bertentangan kepentingannya di
lapangan kesusastraan, antara kekuatan yang mempertahankan kekolotan dan
kekuatan yang mengusahakan kemajuan.”
Dalam pandangan
Lekra penganut aliran realisme sosialis, kebudayaan bukan saja tak dapat
dipisahkan dari politik, melainkan kebudayaan merupakan bagian dari politik.
Dengan demikian sastra juga merupakan bagian dari politik. Pandangan ini
menempatkan sastra hanya sebagai alat politik. Sastra harus menerapkan paham
Marxisme-Leninisme, termasuk di dalamnya teori dan kritik sastra.
Paham realisme
sosialisme ini pernah diterapkan dalam beberapa karya sastra Indonesia, malahan
di antaranya sampai berbau anti muslim, seperti dalam karya Utuy Tatang Sontani
Si Kampeng dan dalam karya Pramudya
Ananta Toer: Si Manis Bergigi Emas, yang
menggambarkan para kyai dan haji sebagai tokoh penghisap rakyat.
Ilham karya sastra
mereka terutama sekali digali dari hasil kunjungan ke negara sosialis.
Peristiwa yang menyangkut buruh dan tani, yang kemudian ditarik pada tema
pertentangan kelas, didramatisasi sedemikian rupa sehingga gambaran buruh dan
tani yang mereka tokohkan adalah personifikasi gagasan ideal kelompok mereka,
gagasan partai.
Nada propaganda dan
sanjungan terhadap prinsip realisme sosialis tercermin dalam puisi-puisi H.R.
Bandaharo, Klara Akustia dan lain-lain. Bahkan karena semangat pemujaan
kemajuan kerevolusioneran rakyat negara sosialis membuat karya mereka
menjadi karya propaganda, misalnya Sekali Peristiwa di Banten Selatan, karya
Pramudya, sangat menonjol kepropagandaan itu, sehingga mutunya menjadi sangat
rendah dibanding dengan karya-karya yang lain.
Kelompok Lekra
dengan semangatnya yang menggebu-gebu, menantang lawan-lawannya, terutama para
penganut aliran humanisme universal. Mereka menyerang H.B. Jassin, HAMKA,
bahkan juga Chairil Anwar yang sudah almarhum, malahan mereka menganggap
Chairil Anwar sebagai penyair kontra revolusi. Puncak kemenangan mereka adalah
keberhasilan membujuk Presiden Soekarno mengeluarkan pernyataan pelarangan Manifesto Kebudayaan yang diumumkan pada
tanggal 8 Mei 1964. Tetapi setahun kemudian Lekra terkubur bersama partai mereka,
PKI, yang dinyatakan sebagai partai terlarang oleh orde baru.
Yang perlu
dijelaskan lebih lanjut adalah tentang pandangan realisme sosialis itu sendiri, bagaimana perkembangannya dan siapa
tokoh-tokohnya, serta hubungannya dengan sastra?
Pada umumnya
masalah realisme sosialis yang
berlaku dalam sastra terdapat di negara-negara komunis, terutama seperti Rusia
dan Cina yang menganut sistem satu partai. Pada negara seperti itu, partai
menentukan segala-galanya, termasuk di dalamnya pengaturan mengenai apa yang
harus ditulis oleh para sastrawan. Sastra yang keluar dari garis partai
dianggap tidak mengabdi kepada kepentingan umum, oleh sebab itu tidak punya hak
hidup dan harus disingkirkan.
Bagi negara
komunis, sastra dihargai tinggi, bahkan dianggap sebagai salah satu alat yang
penting dalam mengembangkan strategi partai. Oleh sebab itu sastra harus selalu
diawasi secara ketat agar tetap berjalan di atas garis partai. Oleh sebab itu
pila banyak pengarang terkemuka di negara komunis yang tidak mau didikte partai
melarikan diri ke negara lain atau mereka dibungkam dan disingkirkan ke dalam
penjara atau ke tempat kerja paksa. Itu pula sebabnya banyak terjadi penturan
antara sastrawan dan pemerintah.
Di Jerman, pada
tahun 1948, Karl Marx dan Fredrick Engels, dua pemuda tokoh revolusioner,
menerbitkan sebuah dokumen yang terkenal Manifesto
Komunis. Manifes itu merupakan sari paham materialisme, yang menyebutkan
bahwa sejarah soial manusia tak lain dari sejarah perjuangan kelas. Kemudian
teori Marx dan Engels dikembangkan dalam berbagai tulisan mereka atau kemudian
oleh pengikut-pengikut mereka yang gigih.
Sesungguhnya tidak
ada teori yang sudah jadi dalam tulisan Marx dan Engels yang menyinggung
tentang hubungan antara sastra danmasyarakat. Yang ada hanya isyarat dan
pikiran samar-samar dan beberapa dogma. Salah seorang pengikut mereka, George
Plekhanov (1856 – 1918) berusaha menyusun doktrin politik pemerintahan dan juga
mengembangkan teori yang menyangkut sastra, yang menekankan bahwa seni harus
bersumber pada perjuangan kelas; seni yang tidak bersumber pada perjuangan
kelas tidak mungkin menjadi seni yang agung.
Teori sastra
Marrxis itu kemudian dikembangkan oleh George
Lukacs, yang sepenuhnya menerima pandangan Plekhanov. sastra, kata
Lukacs, ditulis berdasar pada pandangan tertentu, tanpa tujuan dan perspektif
sastra hanya menjadi semacam laporan yang memasukkan segala yang buruk maupun
yang yang baik, yang penting maupun yang sepele. Lukacs yakin akan timbul suatu
realisme baru yang segar, realisme sosialis, yang akan mengatasi humanisme
borjuis yang apuk; dan realisme sosiali inilah yang menggambarkan manusia yang
sedang bergerak berjuang untuk mencapai suatu masyarakat sosialis.
Realis sosialis ini
kemudian banyak menimbulkan perbedaan para kritikus sastra di negara-negara non
komunis. Para kritikus itu berpendapat bahwa novel-novel yang dihasilkan oleh
pengarang-pengarang Rusia sebagai barang pesanan propaganda partai dan
pemerintah.
Realisme sosialis
itu tetap berkembang dengan melalui berbagai revisi. Revisi juga dilakukan di
Republik Rakyat Cina. Gerakan Lompatan
Jauh Ke Depan yang dilancarkan pemerintah Cina pada tahun 1958, menyangkut
segala sektor kehidupan, termasuk sastra. Para sastrawan bahkan diharuskan
membuat rencana kerja yang ketat; mereka harus melipat gandakan karya mereka.
Semua karya sastra yang harus dihasikan secara besar-besaran itu harus mudah
dimengerti dan menggambarkan corak manusia dan masyarakat yang ingin dicapai
oleh partai. Tentang isi sastra dikatakan, bahwa sastra harus merupakan paduan
antara realisme revolusioner dan romantisme revolusioner; bahkan dikatakan,
perpaduan antara realisme revolisioner dan romantisme revolusioner lebih
sempurna daripada realisme sosialis. Yang terjadi selanjutnya adalah romantisme
dipentingkan, dan realisme didesak ke belakang, sastra tidak diperbolehkan
memasalahkan penderitaan dan keputusasaan; hanya boleh dipergunakan sebagai
penggugah semangat revolisioner; sastra harus menangkap masa depan. Oleh sebab
itu, sastra cina modern penuh dengan penggambaran tokoj-tkoh yang hebat yang
selalu menang dalam melawan para pembangkang dan kaum kontra revolusi, sehingga
cerita-cerita yang disuguhkan semakin jauh dari realita dan semakin mirip
dengan dongeng.
Realisme sosial ala
Cina inilah yang kemudian menjadi panutan dan inspirasi pokok realisme sosialis
yang dikembangkan oleh Lekra Indonesia, karena waktu itu PKI memang berkiblat
ke Peking bukan ke Moskow. Sehingga penamaan realisme sosialis itu sebenarnya
kurang tepat, sastra Lekra itu sebenarnya realistis, bukan realistik, karena
kehidupan yang dipancarkannya bukan kehidupan nyata, melainkan apa yang seharusnya menjadi angan-angan
komunis.
Pramudya Ananta
Toer pada Seminar Sastra di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, pada tanggal
26 Januari 1963 mengatakan bahwa “Realisme sosialis adalah pemraktekkan
sosialisme di bidang kreasi sastra. Humanismenya adalah humanisme proletar
sebagai lawan dari humanisme Barat atau humanisme universal”. Dalam prasarannya
itu juga Pramudya Ananta Toer juga menjelaskan bagaimana mengembangkan realisme
sosialis yang sumbernya adalah Lekra yaitu :
1. Memperkuat kesadaran politik, sebb musuh tidak tinggal diam dan akan terus
menghisap rakyat, yaitu kaum humanis universal,
2.
Memberikan pengaruh taktis yang
terdiri dari :
a.
Menentukan garis yang tepat dan
salah, antara seni untuk rakyat dan seni untuk seni;
b.
Meluas dan meninggi, artinya
meluaskan pengetahuan kepada massa dan meninggikan mutu kreatif dan ideologi;
c.
Politik adalah panglima, sebab tanpa
politik kebudayaan dan sastra tak dapat menentukan haluan yang benar; dan
d.
Gerakan turun ke bawah (Turba),
pengarang harus mengetahui dan terbiasa dengan penghidupan rakyat.
Manifesto kebudayaan, yang dicetuskan
tanggal 17 Agustus 1963 dan ditandatangani oleh sejumlah sastrawan, seniman,
dan cendikiawan pada tanggal 24 Agustus 1963, merupakan reaksi terhadap
aksi-aksi kebudayaan Lekra. Manifesto kebudayaan ini berisi :
1. Kami para seniman dan cendikiawan Indonesia dengan ini mengemukakan sebuah
Manifest Kebudayaan, yang menyatakan pendirian, cita-cita dan politik
Kebudayaan Nasional kami.
2. Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup
manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sektor kebudayaan yang lain. Setiap
sektor berjuang bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya.
3. Dengan melaksanakan kebudayaan Nasional kami berusaha mencipta dengan
kesungguhan yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan dan
mengembangkan martabat diri kami sebagai bangsa Indonesia di tengah-tengah
masyarakat bangsa-bangsa.
4. Pancasila adalah falsafah kebudayaan kami.
Manifesto Kebudayaan ini hanya berumur kurang dari sembiln bulan, yang
akhirnya hanya dilarang pemerintah waktu itu. Tetapi H.B. Jassin kemudian
sempat menulis bahwa Manifes Kebudayaan tidak mati; Manifes tidak terletak di
tangan reolusi-reolusi dan pernyataan-pernyataan yang didasarkan pada salah
informasi, salah interpretasi. Nasib manifes itu sendiri, ia tidak akan mati
sebelum homocreator terakhir mati.
Dan memang ternyata pengarang-pengarang kreatif dibungkam, tetapi mereka tetap
mencipta.
Humanisme universal sudah sejak tahun 1950 ditentukan oleh Lekra. Tentang
humanisme universal itu dinyatakan dalam Surat Kepercayaan Gelanggang; bahwa
sastrawan Indonesia adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia. Dengan
tegas dinyatakan: Kami lahir kalangan orang banyak, dan pengertian rakyat bagi
kami adalah kumpulan campur baur dari mana dunia-dunia baru yang sehat dapat
dilahirkan.
Kaum realisme sosialis memandang prinsip yang dicetuskan itu sebagai suatu
bentuk individualisme dengan semangat kapitalis-borjuis, maka prinsip dan
cita-cita itu harus dilenyapkan dari Indonesia dengan revolusi.
Humanisme universal itu, menurut penjelasan Manifesto Kebudayaan,
merupakan suatu perjuangan manusia sebagai totalitas dalam usahanya mengakhiri
pertentangan antara manusia dan kemanusiaan. Humanisme universal adalah
perjuangan budi nurani universal dalam memerdekakan manusia dari setiap
belenggu, ia menolak sikap acuh terhadap semua aliran politik, ia menolak sikap
absolut dari satu golongan yang memandang hanya ideologinyalahyang benar.
Kebudayaan sebagai pernyataan hidup manusia mempunyai tendensi universal, dalam
arti, bahwa kebudayaan itu bukan hanya untuk satu bangsa saja, tetapi untuk
semua bangsa.
Pernyataan itu sangat bertentangan dengan wawasan kebudayaan Lekra, karena
itu mereka tentang habis-habisan. Tetapi tahun 1966, setelah PKI melakukan
kudeta, sastra Indonesia bangkit kembali. Era baru dalam sastra Indonesia
terbuka lebar. Lewat majalah sastra Horison
bermunculan karya-karya baru dengan segala macam gaya dan segala macam
eksperimen, dan segala kemungkinan tema. Sastra diletakkan pada proporsinya
yang tepat, dijadikan sebagai media ekspresi.
D.
Pertanyaan Pemahaman.
1. Sebutkan beberapa perbincangan yang dianggap hangat dalam sejarah
pertumbuhan kritik sastra di Indonesia ?
2. Apakah yang dimaksud dengan
a.
Kritik jurnalistik ?
b.
Kritik Aliran Rawamangun ?
c.
Kritik akademik ?
3. Kemukakan gambaran tema sastra Indonesia sesudah perang kemerdekaan !
4. Apakah humanisme universal ?
5. Kemukakan prinsip realisme sosial !
—SP42—
sabtu, 16 Maret 2019 – 15:35 WIB
Pustaka : Drs. Atar Semi, Kritik Sastra
Penerbit : ANGKASA
Bandung 1984
Tidak ada komentar:
Posting Komentar