Image "Syekh Siti Jenar" (Foto: SP) |
RABU, 02 JANUARI 2013 - Blog Sita: "SASTRA NUSANTARA" : Cerita
eksekusi Syeh Siti Jenar versi 'Serat Negara Kertabumi' berbeda dengan
versi-versi lain yang biasa kita baca dan saksikan dalam buku-buku maupun film.
Hal ini sebagaimana suntingan Rahman Sulendraningrat dalam buku "Siti
Jenar-Cikal Bakal Faham Kejawen" tulisan YB. Prabaswara, halaman 32-34:
"Seperti juga versi Jawatengahan, sastra Kacirebonan ini menceritakan bahwa para pengikut Syeh Siti Jenar di Cirebon merupakan kelompok oposisi atas kekuatan kasultanan Cirebon. Beberapa tokoh pimpinan kelompok ini pernah mencoba untuk merebut tahta tapi tak pernah berhasil. Ketika Pengging dilumpuhkan, Syeh Siti Jenar yang pada waktu itu menyebarkan ajarannya di sana kembali ke Cirebon dan diikuti oleh para pengikutnya dari Pengging. Di sini, kekuatan Syeh Siti Jenarmenjadi kokoh, pengikutnya meluas dan menyebar sampai ke desa-desa. Setelah Syeh Datuk Kahfi wafat, Sultan Cirebon meminta Pangeran Punjungan untuk menjadi guru agama Islam di Amparan Jati. Pangeran Punjungan bersedia, tetapi ia tidak mendapat murid karena orang-orang sudah menjadi murid Syeh Siti Jenar termasuk Panglima bala tentara Cirebon, Pangeran Carbon. Dijaga oleh para murid-muridnya sangat setia itu, Syeh Siti Jenar aman tinggal di Cirebon. Berita ini sampai ke telinga Sultan Demak, bahwa musuhnya berada di Cirebon. Sultan Demak lalu mengutus Sunan Kudus disertai 700 prajurit menuju Cirebon. Sultan Cirebon menerima permintaan Sultan Demak dengan tulus, bahkan memberi bantuan untuk tujuan itu.
Langkah pertama Sultan Cirebon adalah mengumpulkan para murid utama Syeh Siti Jenar antara lain, Pangeran Carbon, para Kyai Geng, Ki Palumba, Adipati Cangkuang, dan beberapa orang istana Pangkuangwati. Selajutnya bala tentara Cirebon dan Demak bergerak menuju Padepokan Syeh Siti Jenar di Cirebon Girang. Syeh Siti Jenar kemudian ditangkap dan dibawa ke Masjid Agung Cirebon untuk diadili. Di Masjid Cirebon banyak para ulama telah berkumpul. Sunan Gunung Jati bertindak sebagai hakim ketua. Melalui perdebatan yang panjang, pengadilan memutuskan bahwa Syeh Siti Jenar bersalah besar, dan pengadilan memutuskan bahwa Syeh Siti Jenar mendapat hukuman mati. Selang beberapa waktu, akhirnya Syekh Siti Jenar dieksekusi mati oleh Sunan Kudus dengan keris pusaka Sunan Gunung Jati. Peristiwa ini terjadi pada bulan Safar, tahun 923 H atau 1506 Masehi.
Mayat Syeh Siti Jenar
lalu dimakamkan di suatu tempat yang tidak diketahui. Akan tetepi lama kelamaan orang dapat mengetahui tempat tersebut.
Merekapun terutama para pengikut dan murid-murid Syeh Siti Jenar,
berdatangan berziarah ke makam Syeh Siti Jenar. Para peziarah itu ada yang
datang dari Cirebon, Jakarta, Banten, Parahiyangan, Jawa Timur, dan bahkan dari Semenanjung
Malaya. Melihat kenyataan ini Sunan Gunung Jati
memerintahkan kepada segenap kawulanya agar memindahkan secara diam-diam
mayat Syeh Siti Jenar ke suatu tempat yang sangat dirahasiakan. Mayat
Syeh Siti Jenar diganti dengan bangkai seekor anjing hitam. Pada waktu para
peziarah, terutama pengikut dan murid-murid Syekh Siti Jenar menghendaki agar
mayat Syekh Siti Jenar dipindahkan ke Jawa Timur. Makampun digali kembali, apa
yang terlihat? Ternyata mayat Syekh Siti Jenar tidak ada yang ada hanyalah
bangkai seekor anjing hitam. Para peziarahpun sangat terkejut, haran dan tidak
mengerti mengapa mayat Syeh Siti Jenar berubah menjadi bangkai seekor anjing
hitam. Mereka beranggapan kalau mayat syekh Siti Jenar telah berubah menjadi
seekor anjing. Menyikapi keadaan seperti ini sultan Cirebon kemudian
mengeluarkan instruksi agar para peziarah, dan para pengikut ajaran Syeh
Siti Jenar tidak menziarahi
bangkai seekor anjing dan segera meninggalkan ajaran Syeh Siti Jenar yang sesat”.
Tanggapan:
Menyikapi tindakan yang dilakukan
Sunan Gunung Jati mengganti mayat Syekh Siti Jenar dengan bangkai seekor
anjing, jika itu memang benar, malah justru mengangkat derajat Syekh Siti
Jenar, dan itu tak ada salahnya. Menurut sebagian sufi, anjing bukanlah khewan
nista, najis dan diharamkan bahkan sebaliknya malah dihormati. Hal ini sebagaimana
yang dilakukan, “Husain ibnu Manshur Al-Hallaj” seorang tokoh sufi yang
menjadi inspirasi lahirnya ajaran Syekh Siti Jenar di Jawa. Beliau adalah
seorang tokoh yang sangat menghormati anjing, diceritakan Fariduddin Aththar:
Suatu ketika, Sekh Abdullah
Turugbadi dari kota Thus menggelar taplak, dan makan roti bersama
murid-muridnya. Pada saat yang bersamaan, Manshur Al-Hallaj yang baru tiba dari
kota Qasymir dengan berpakaian qaba’hitam sambil membawa dua ekor anjing yang
juga berbulu hitam dengan rantai di lehernya. Syekh berkata kepada
murid-muridnya: “Seorang lelaki muda yang berpakaian seperti ini akan segera
datang, bangkitlah kalian semua, dan temui, karena dia melakukan hal-hal yang
besar”, ujar Sekh Abdullah Turugbadi kepada murid-muridnya.
Segera murid-murid keluar untuk
menjumpai lelaki itu yang bukan lain adalah Husain ibnu Manshur Al-hallaj, dan mereka
pun segera membawanya masuk. Setelah menghampirinya, Syekh segera
mempersilahkan tempat duduk kepada Al-Hallaj sambil membawakan 2 ekor anjingnya
untuk ikut makan di dekat mejanya. Tuan Syekh melihat Al-Hallaj makan roti dan
memberi makan roti pula kepada anjing-anjingnya itu. Ketika Al-Hallaj berpamit untuk kembali, tuan
Syekh segera beri untuk mengucapkan selamat jalan. Setelah Al-Hallaj pergi,
murid-murid tuan Syekh bertanya, ‘Mengapa tuan Syekh membiarkan orang semacam
itu, yang makan bersama annjing-anjingnya, duduk di tempat tuan Syekh, seorang
pengembara yang kehadirannya membuat seluruh makanan kita tidak suci lagi?”
Tuan Syekh menjawab dan memberikan penjelasan kepada murid-muridnya:
“Anjing-anjing
itu sebenarnya lambang keakuan (nafsu), mereka tinggal diluar dirinya, dan
berjalan disisinya, sementara anjing-anjing kita masih berada dalam diri kita,
dan kita mengikuti di belakangnya.”
Itulah perbedaan antara seseorang
yang mengikuti anjing dan orang yang diikuti anjing. Anjing-anjingnya berada di
luar, dan kalian dapat melihat mereka, sementara anjing-anjing kalian
tersembunyi berada di dalam hati kalian, dan kalian tak bisa melihatnya.
Kedudukan orang itu seribu kali lebih tinggi dari kedudukan kalian. Dia telah
berada dalam tataran ajaran Tuhan,
sifat-sifatnya telah menyatu dengan Tuhan, apakah ada seekor anjing atau tidak,
dia hanya ingin mengarahkan segala tindakannya itu dengan apa yang diperintahkan Tuhan.”
Anjing digambarkan sebagai symbol
arakter yang harus dikeluarkan dari diri manusia. Karena menjadi symbol, maka
anjing akrab dengan kehidupan para sufi, termasuk Al-Hallaj dan bisa jadi
demikian pula dengan Syekh Siti Jenar yang diumpamakan seperti anjing. Dalam
kisah di zaman Rasulullah, ada seorang pelacur masuk syurganya Allah karena dia
dengan ikhlas menolong seekor anjing yang sedang kehausan. (Referensi:
YB.Prabaswara, Siti Jenar Cikal Bakal Kejawen. Penerbit Armedia-Jakarta.)
Penulis: Slamet Priyadi
Karya Seni Budaya Nusantara |
Minggu, 30/12/2012 | 03:50.00 WIB
Anjing digambarkan sebagai symbol karakter yang harus dikeluarkan dari diri manusia. Karena menjadi symbol, maka anjing akrab dengan kehidupan para sufi, termasuk Al-Hallaj dan bisa jadi demikian pula dengan Syekh Siti Jenar yang diumpamakan seperti anjing. Dalam kisah di zaman Rasulullah, ada seorang pelacur masuk syurganya Allah karena dia dengan ikhlas menolong seekor anjing yang sedang kehausan.
BalasHapus