Blog Sita : "Sastra Nusantara"
Minggu, 17 Maret 2019 - 17:02 WIB
Minggu, 17 Maret 2019 - 17:02 WIB
A.
Ukuran
atau Sasaran Kritik
Apakah perlu adanya
ukuran dalam melakukan kritik sastra ? pertanyaan ini cukup sederhana, bukan ?
tetapi jawaban pertanyaan itu dapat mengundang diskusi atau perdebatan panjang.
Perdebatan mengenai ukuran ini pernah terjadi antara M.S. Hutagalung dengan
Arief Budiman yang diikuti juga oleh sastrawan-sastrawan lain. M.S. Hutagalung
penganut pendapat yang mengatakan bahwa di dalam suatu kritik pasti diperlukan
adanya ukuran-ukuran, sedangkan Arief Budiman bahwa kritik yang tanpa ukuran
dan prinsiplah yang dapat memahami seni modern.
Kiranya kedua
pendapat itu dapat dimengerti, ada segi-segi kebenaran di antara keduanya.
Memang tidak perlu adanya suatu ukuran dan patokan di dalam kritik sastra bila
ukuran dan patokan itu justru menciptakan jebakan bagi pemakainya, yang
akhirnya melakukan analisis dan penarikan kesimpulan yang dapat mengundan seni
yang berkecondongan bebas. Betapapun, ukuran-ukuran dalam melakukan kritik
perlu ada agar kritik sastra tersebut dapat mengemban fungsinya secara baik dan
bertanggung jawab. Kritik sastra tidak hanya berupa penikmatan, tetapi juga
berupa penilaian, berupa penghakiman. Dalam hal penilaian atau penghakiman itu,
amat diperlukan adanya rambu-rambu adanya prinsip-prinsip yang digunakan
sebagai pegangan. Tentu saja prinsip-prinsip itu harus dinamis, bukan prinsip
yang berlaku sepanjang zaman, karena sistem nilai itu juga sering berubah
menurut waktu dan tempat.
Tentang pendapat
Arief Budiman bahwa hanya kritik yang tanpa ukuran dan prinsip yang dapat
memahami seni modern, Hutagalung (1975) menulis :
“Penekanan Arief
agar kita mengosongkan diri untuk menggapai seni, saya kira juga kurang benar. Keaktifan dan persediaan-persedian
tertentu sangat kita perlukan untuk memahami seni termasuk seni modern. Hal ini
pernah dikemukakan oleh Ernest Cassire. Saya beranggapan bahwa H.B. Jassin (Yng
juga punya prinsip) yang sungguh banyak punya persediaan di hatinya akan lebih
gampang menanggapi seni daripada murid SMA yang tahu apa-apa atau kosong
hatinya dari prinsip-prinsip seni. Saya beranggapan pula bahwa orang-orang
sudah mengetahui harmoni akan lebih dapat merasakan fungsi disharmoni pada seni
modern. Demikian juga orang yang sudah tahu alur dan penokohan tradisional akan lebih gampang melihat apa yang disebut
anti alur atau anti penokohan. Pokoknya pengalaman kita, pengetahuan kita
mengenal seni yang terdahulu akan membuat kita lebih peka untuk menikmati seni
yang baru semuanya itu bukan kita diamkan malah harus kita aktifkan untuk
memahami seni yang lebih rumit. Sejarah seni juga akan lekas memberi saran
kepada kita apakah seni yang baru itu merupakan pengulangan dari seni yang
telah pernah ada atau ytidak.”
Di dalam menilai
karya sastra, seorang kritikus pasti tidak akan bertindak sembarangan. Dia akan
mengatakan suatu karya sastra itu gagal atau berhasil lengkap dengan memberikan
alasan-alasan dan bukti-bukti yang ditampilkan itu tentu berdasarkan kepada
suatu prinsip dan pengertian, sastra yang benar, prinsip dan pengertian sastra
yang jujur. Dengan menggunakan prinsip itu, kritik sastra memberi andil yang
besar dalam membangun kesadaran pengarang tentang hakekat karya sastra yang
baik, dan bila mereka jujur dengan hati nuraninya sendiri akan sangat membantu
dalam peningkatan mutu karyanya selanjutnya.
Kritik sastra,
dengan ukuran dan prinsip yang luwes, hendaknya mampu menunjukkan nilai suatu
karya sastra, mampu menerangi lorong-lorong gelap, mampu meniadakan persoalan
yang rumit dan sulit yang terdapat dalam suatu karya sastra. Dengan uraian dan
telaahan yang diberikan para kritikus itu, memungkinkan suatu karya sastra yang
pada mulanya dianggap tidak bernilai, mendapat sambutan yang ramah. Dalam
kenyataannya, memang sering suatu karya sastra disambut dengan tidak ramah.
Ketidakramahan itu mungkin disebabkan oleh ketidakmampuan memahaminya. Bila
seorang kritikus dengan keluasan pengalaman dan wawasan berhasil menunjukkan
nilai-nilai yang terselubung, mampu menerangkan metafor, mampu menjelaskan
makna yang terdapat di balik ungkapn-ungkapan, makna tentu saja setiap
menikmati sastra akan menyambut kehadiran suatu karya dengan segala senang
hati.
Bila ukuran
dikatakan perlu, maka pertanyaan lain muncul : Apakah ukuran itu ?
Bila suatu ketika
anda mempunyai waktu senggang dan ingin menghabiskan waktu senggang itu dengan
membaca novel yang anda beli minggu yang lalu, anda akan memperoleh suatu
impressi atau kesan dalam membaca atau setelah membaca novel tersebut. Kesan
itu akan sangat tergantung pada minat dan tujuan yang hendak dicapai sewaktu
hendak membaca novel tersebut. kalau anda membaca novel itu untuk mencari
hiburan ringan-segar, untuk melapangkan pikiran yang sumpek, sedangkan novel
yang anda baca itu memang memenuhi keinginan anda untuk hiburan dan melepaskan
ketegangan pikirn, tentulah anda akan menyimpulkan bahwa novel tersebut adalah
novel yang baik dan berhasil. Ukuran semacam ini merupakan ukuran yang bersifat
perorangan, yang terbatas pada kesenangan.
Walaupun setiap orang diberi hak untuk memberi tafsiran dan penilaian terhadap suatu
karya seni yang dihadapinya, namun kalau ukuran melakukan suatu perbuatan
mengeritik tidak dapat diterimaa.
Banyak kita dengar
keluhan tentang karya Sutarji, Iwan Simatupang, Putu Wijaya, Rendra, Danarto
yang sukar dipahami, sehingga timbul mitos sastra
membisu atau mitos sastra kosong. Malahan timbul pula
kecaman yang cukup hebat yang menganggap karya-karya yang sukar dipahami itu
bukan karya yang harus dikonsumsikan kepada masyarakat. Pada dasarnya sikap dan
pandangan smacam itu sudah menggunakan ukuran penilaian, yaitu ukuran mudah dipahami (intelligibility). Ukuran
kemudahan memahami tidak dapat digunakan sepenuhnya karena kebanyakan hasil
karya seni yang bernilai tinggi memerlukan pemusatan pikiran dan pengerahan
pengalaman batin dan wawasan keilmuan yang memadai mengenai tema atau persoalan
yang memungkinkan.
Seseorang mungkin
saja tertarik atau memberi nilai baik
kepada suatu karya sastra disebabkan persoalan yang dibahas di dalamnya merupakan
pengalaman baru orang tersebut. katakanlah bahwa dia tertarik karena
permasalahan berada di luar pengetahuan
dan pengalaman (noveltry). Tetapi bagi orang yang lain, yang terjadi
mungkin saja sebaliknya, ia akan tertarik kepada suatu karya sastra yang
membahas tentang sesuatu yang sudah dikenalnya, sesuatu yang berada dalam pengetahuan dan pengalaman sehari-hari
(familiarity).
Kedua ukuran yang
disebut belakangan, bukan tidak lumrah terjadi. Si Nano tertarik hatinya
terhadap sebuah novel atau cerpen yang dibacanya, karena menyampaikan suatu
kisah kehidupan yang baru, yang belum pernah ia kenal sebelumnya, belum pernah
ia baca atau dengar sebelumnya. Hal itu menyebabkan ia terkesan, lebih-lebih
lagi ia merasa mendapat pengalaman baru. Si Nana lain lagi, ia justru tertarik
kepada sebuah novel atau cerpen yang mengungkapkan kejadian atau peristiwa yang
pernah didengarnya, pernah dilihatnya di dalam lingkungan kehidupannya, atau
mungkin pernah dialaminya sendiri. Dengan membaca masalah yang sudah amat dikenalnya,
ia hatinya merasa digelitik kembali oleh kesan-kesan tertentu, atau mungkin ia
merasa dengan membaca karya yang mengungkapkan persoalan yang telah
dikenalnyaitu, ia merasa mudah memahami dan menikmatinya.
Bila penilaian suatu
karya sastra berdasarkan kesenangan (pleasur), kemudahan memahami (intelligibility),
tema cerita yang berada di luar pengetahuan dan pengalaman (noveltry), dan
berdasarkan kepada tema cerita yang sudah dikenal (familiarity) maka
penilaian semacam itu dapat digolongkan ke dalam jenis kritik yang mengikuti teori
pragmatis atau teori efektif, yaitu teori yang berdasarkan pada
kemudahan dan kesenangan.
Ukuran yang lain
yang lazim dipakai dalam melakukan kritik sastra adalah ukuran didaktik. Dengan
ukuran didaktik orang menentukan keberhasilan suatu karya sastra berdasarkan
kebolehan karya itu memberikan pengaruh positif, yang menyampaikan pesan
pembinaan moral dan kepribadian, serta meninggikan taraf kecerdasan pembacanya.
Ukuran didaktik
dalam kritik sastra tidak kurang pula mendapat serangan dari mereka yang tidak
senang. Marlies K. Danziger dan W. Stacy Johnson dalam buku mereka An
Introduction to literary Criticism misalnya, mengatakan bahwa masyarakat ingin
meninggikan moral dan intlktualismenya, maka jalan sebaik-baiknya bukan dengan
membaca sastra tetapi membaca buku falsafah. Bila ukuran didaktik yang dipakai
maka beberapa karya besar Shakespeare, Antony and Cleopatra misalnya, yang mengemukakan tentang persoalan
perzinaan, tidak dapat menyandang nama besar.
Ukuran yang pernah
digunakan dalam melakukan kritik terutama oleh pengeritik Barat, adalah
menggunakan ukuran pelahiran (ekspresi). Di dalam pelaksanaannya ukuran
ekspresi ini selalu dihubungkan dengan keaslian dan kejujuran.
Yang harus
dipersoalkan tentulah masalah keaslian dan kejujuran itu. Apa yang dimaksud
dengan keaslian, dan apa pula itu kejujuran. Adakah karya sastra yang dapat
dikatakan asli bukankah apa yang diungkapkan seorang pengarang merupakan
pengulangan kembali ? mungkin yang masih dapat dikatakan asli adalah
karya-karya besar tempo dulu yang dilahirkan oleh para pujangga genius seperti
Shakespeare, Goethe, dan Homer, dan lain-lain. Tetapi apakah mereka
tidak terpengaruh sama sekali oleh sastra sejamannya atau mungkin pula oleh
karya-karya sebelum mereka. Mungkin saja pengaruh itu ada, tetapi kadar
pengaruh itu amat kecil, dan mereka dengan karyanya membawa suatu pola baru,
cara penyampaian yang baru, mereka bekerja dengan visi baru.
Boleh saja, lumrah
saja, suatu karya seni, dalam hal ini karya sastra, mengemukakan suatu tema
cerita yang ditimba dari karya lain yang mungkin pula karya itu merupakan hasil
timbaan pula. Menurut sesuatu yang asli dari pengarang, sama halnya dengan
menuntut sesuatu yang bukan-bukan. Yang asli dalam pengertian yang sesungguhnya
tidak pernah ada. Kalau demikian, apa yang dimaksud dengan keaslian di sini.
Yang kita maksudkan keaslian di sini adalah suatu penampilan kembali dalam
bentuk yang lebih segar dan menarik dengan suatu pendekatan baru, penampilan
yang penuh semangat dengan menampakkan pribadi sendiri. Kemampuan menampakkan
wajah sendiri dalam karyanya itulah yang dikehendaki. Persoalan yang
disampaikan mungkin saja persoalan yang sudah dikenal atau sudah sering
dibahas, namun dengan kemampuan kepengarannya yang baik dia diharapkan dapat memberi visi baru, warna
baru, dan gaya penyampaian baru. Pengertian baru di sini bisa saja dalam bentuk penyuntingan
kembali sesuatu yang sudah telah ada.
Masalah kejujuran,
merupakan alat ukur lain yang dapat digunakan. Kejujuran di sini
dimaksudkan kesungguhan dan pendalaman pikiran dalam menyatakan suatu konsep.
Ia hendaknya memperlihatkan kepada pembaca bahwa apayang disajikannya lewat
tokoh-tokoh ceritanya adalah hasil pemikiran yang masak. Dan hasil pemikiran
yang masak itu dituangkan dengan menggunakan perencanaan yang baik.
Ukuran kebenaran (truth)
merupakan ukuran lain yang sering digunakan. Seorang penelaah sewaktu membaca
suatu karya sastra mempertanyakan apakah yang diungkapkan pengarang itu
mempunyai hubungan dengan kebenaran yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari.
Karya sastra yang dikatakan memiliki unsur kebenaran adalah karya sastra yang
mampu membayangkan atau mencerminkan kehidupan atau peristiwa kehidupan yang
ada, jadi bukan suatu hasil lamunan dan khayalan belaka. Ukuran kebenaran ini
mempunyai kelemahan juga. Bukankah karya-karya besar tempo dulu, seperti Cerita
Panji, Mahabarata, Ramayana merupakan karya-karya besar kendati di dalamnya
berisi cerita-cerita kepahlawanan yang dibumbui oleh berbagai macam keajaiban
dan kehidupan para dewa yang tidak masuk akal. Dalam hubungan ini tentu kita
tidak dapat mengatakan bahwa hanya karya sastra yang mengisahkan kehidupan
nyata yang dapat dikatakan karya yang besar.
Bila hendak
menggunakan ukuran kebenaran dalam kritik atau telaah sastra seharusnya
kita menggunakan istilah kebenaran itu menurut kadar yang benar. Kebenaran hidup
yang kita maksudkan bukanlah kebenaran yang klop dengan kenyataan pengalaman
sehari-hari. Tetapi lebih lkuas dari itu, kebenaran yang kita tuju adalah
kebenaran yang ideal, kebenaran yang bukan saja bertumpu pada kehidupan yang
terjadi sekarang, tetapi juga kebenaran yang diidamkan atau kebenaran yang
sepatutnya terjadi. Kebenaran yang berakar dari kenyataan dan kebenaran yang
secara ideal diinginkan, di dalam kritik sastra disebut dengan kebenaran
hidup (the truth to life).
Penafsiran ukuran
kebenaran yang lain adalah ukuran kebenaran dari segi perlambangan (the
criterion of symbolic truth). Konsep ini lebih luas dan lebih lempeng dari
penafsiran yang pertama. Konsep kebenaran perlambangan diartikan sebagai suatu
bentuk kegiatan penilaian suatu karya sastra bukan sebaggai salinan gambaran
kehidupan sehari-hari, tetapi dalam bentuk kiasan dan perlambangan terhadap
berbagai segi kehidupan yang aneka ragam coraknya itu. Kepada pembaca diminta
kemampuan untuk memberikan tafsiran secara benar untuk kemanfaatan
kehidupannya.
Ide tentang
kebenaran yang dilambangkan dalam suatu kesusasteraan dapat memberikan jawaban
yang wajar: mengapa kita dapat menerima cerita-cerita dongeng atau cerita
kepahlawanan yang diperbaurkan dengan kesaktian dan keajaiban itu sebagai suatu
bentuk karya sastra yang bernilai.
Dari uraian di atas
dapat kita simpulkan, bahwa kebenaran bila dijadikan ukuran dalam menilai karya
sastra, harus ditafsirkan secara betul. Kalau kita tafsirkan secara salah, kita
tidak bakal dapat menggunakan ukuran tersebut secara berdaya guna.
ALIRAN BARU dalam
kritik sastra (new criticism) merupakan pendekatan kritik, sastra yang
menitikberatkan analisisnya pada segi intrinsik suatu karya sastra dengan
mengabaikan segi-segi ekstrinsik. Para pengeritik meletakkan tumpuan perhatian
kepada masalah isi dan bentuk karya sastra, dengan kata lain segi struktural
dipisahkan dengan segi-segi yang melatarbelakangi penciptaan karya sastra
tersebut. Aliran baru ini dikembangkan oleh pengeritik-pengeritik Amerika
seperti John Crowe Ranson, R.P. Blackmur, Cleanth Brook, Robert Penn Warren,
dan lain-lain.
Yang dikaji oleh
pengertik yang menganut aliran baru (new criticism!) ini adalah segi-segi yang
membangun karya sastra, aliran yang hanya terdapat di dalam karya sastra, tidak
dipersoalkan segi-segi sosial kemasyatakatan yang melatarbelakangi kehadiran
karya sastra itu, malahan juga tidak diperhatikan siapa yang mengarangnya serta
sejarah kelahirannya. Segi-segi struktural yang dibicarakan adalah tema, alur,
setting, penokohan, gaya penulisan atau gaya bahasa dalam suatu karya fiksi.
Karya puisi yang diperhatikan adalah bagaimana pengimajinasiannya (imagery),
bagaimana pemanfaatan metafora, apakah pengertian yang dapat diperoleh dari
puisi tersebut.
Aliran baru ini
bukannya tidak mendapat tantangan dari pengeritik-pengeritik lain. Tantangan
itu terutama ditujukan pada pelengahan aliran ini terhadap segi kesejarahan dan
hal-hal yang melatarbelakangi kelahiran suatu karya sastra. Mereka beranggapan
bahwa bahwa tidak sepantasnya memisahkan suatu karya sastra dari lingkungan
tempat dan waktu kelahirannya. Para pendukung aliran struktural ini menganggap
bahwa kelahiran suatu karya seni bukanlah produk sejarahh tetapi semata-mata
sebagai bentuk pengertian (meaningful structurs) yang tidak tergntung kepada
tempat tertentu dan waktu tertentu.
Di antara kritikus
Barat yang mengemukakan kelemahan aliran kritik struktural ini adalah Rene
Wellek dalam bukunya Concepts of
Criticism. Wellek berpendapat bahwa kritik struktural ini hanya dapat
dipraktikkan dalam bidang perpuisian saja, dan kurang dapat diterapkan dalam
bidang fiksi dan drama. Selanjutnya dikatakan, bahwa penganut kritik struktural
melepaskan diri dari dalam kajiannya dengan linguistik modern, karena itu mereka tidak menelaah retorika, diksi.
Rima, dan lain-lain. Bahkan dikatakan bahwa mereka kurang menginsyafi karya
sastra sebagai suatu sistem, mereka tidak memperhatikan ciri khas sastra
sebagai tanda (semiotil). Bahkan dikatakan bahwa mereka, penganut aliran new criticism ini tidak mempunyai asas
estetika yang kokoh.
ALIRAN STRUKTURAL
muncul : Hal ini terjadi setelah aliran baru (new criticism) luntur.
Aliran yang muncul itu bermacam-macam-macam. Kritik sastra mulai membaurkan
beberapa macam pendekatan ilmu bahasa dengan ilmu sastra. Aliran strukturalis
ini berkembang dengan pesat di Eropa.
Mukarovskij seorang
strukturalis Tsjeko mengemukakan aspek tanda (sign) sebagai ciri khas karya seni dan seni seluruhnya
mengisyarati sesuatu yang ditafsirkan dan diberi makna oleh pembaca. Dalam
hubungan ini, dipadukan fungsi estetika dengan fungsi sosial. kedua hubungan
itu saling tentu-menentukan, saling mempengaruhi, saling memperkaya.
Alira strukturalis
muncul pula di Prancis, dari Amerika Serikat, melalui pertemuan ilmiah Jacobson
dan ahli antropologi Clade Levi-Strauss, 19655, kemudian menimbulkan berbagai
aliran dan pendekatan. Pendekatan itu antara lain (a) Deskripsi teks
berdasarkan analisis ilmu bahasa strukturaal, (b) Pendekatan yang menekankan
peranan pembaca, teks dipandang sebagai homo
significans (Roonald Barthes). Dia memasukkan unsur semantik ke dalam
analisis struktural dan menempatkan teks dalam lingkungan budaya, (c)
Pendekatan narratologi, yaitu usaha
membuat tata bahasa untuk cerita rekaan, dan tata cerita yang bersifat
universal, bahkan menyusun tipografi struktur cerita dongeng.
Aliran strukturalis
ini mendapat kritikan pula dari aliran kritik Marxis. Menurut pendapat kelompok
ortodoks Marxis, sastra sebagai unsur supra-struktur masyarakat ditentukan oleh
basis ekonomi; sastra membayangkan kenyataan ekonomi dan kenyataan sosial. oleh
sebab itu, kenyataan ekonomi dan sosial harus dijadikan tolok ukur dalam
melakukan kritik sastra. Di dalam praktik sering terjadi norma politik disalin
menjadi norma atau ukuran kritik sastra. Tetapi di kalangan neomarxis,
khususnya dunia Barat, menentang beberapa aspek teori marxisme klasi. Mereka
mengatakan bahwa sastra sebagai pencerminan langsung dari kenyataan ekonomi
merupakan realisasi beku (Brecht). Kesenian adalah sesuatu yang otonom, kita
harus menganggap penting karya-karya pelopor, walaupun bertentangan dengan
norma masyarakat (Adorno). Pada umumnya mereka (para penganut strukturalis)
diinsyfkan bahwa sastra tidak berbeda dalam kekosongan, bahwa sastra mempunyai
hubungan dengan dunia nyata.
KECENDERUNGAN BARU
dalam kritik sastra muncul, strukturalis mendapat kecaman dari sana sini. Orang mulai mempertimbangkan aspek
pembaca, yaitu aspek penerimaan karya sastra yang dilakukan oleh pembaca
diperhatikan. Walaupun masalah resepsi atau penerimaan ini dapat menimbulkan
ribuan tafsiran, bersifat subyektif, namun dianggap bahwa subyektifitas itu bukanlah subyektifitas yang semau-maunya
saja, yang tidak terkendalikan. Tradisi sastra lebih dari hanya rangkaian
proyeksi subyektif saja. kita memerlukan strukturalis yang dinamis. Aspek
semiotis perlu diperhatikan dalam menilai struktur suatu karya sastra. Akhirnya
dalam pendekatan yang terbaru diusahakan untuk menggabungkan keempat dimensi
sastra, yaitu: obyektif, ekspresif, dan
reseptif.
Bagaimana dengan
ukuran kritik sastra di Indonesia ?
pertanyaan ini sulit untuk dijawab. Kesulitan itu disebabkan umur kritik
sastra di Indonesia masih cukup muda. Para kritikus dengan dasar pengalaman dan
pendidikan masing-masing mencoba untuk berbuat, dan hal itu masih terus
berlangsung. Tetapi tidak berarti kita tidak dapat memperbincangkan mengenai
tolok ukur dalam kritik sastra di Indonesia atau kritik sastra di Indonesia.
Bila diperhatikan
berbagai karya kritik atau tulisan-tulisan tentang kritik sastra di Indonesia
mungkin kita dapat mengklasifikasikan beberapa kelompok :
1.
Mereka yang menolak ukuran-ukuran
kritik yang muncul dari Barat, tetapi ia sendiri belum memiliki pola atau
ukuran sendiri.
2.
Mereka yang menggunakan ukuran kritik
sastra dari Barat.
3.
Mereka yang memakai ukuran Barat yang
dianggap relevan dengan menggabungkannya dengan ukuran sendiri yang dibentuk
dengan pengetahuan teoritis dari pengetahuan Barat.
Bagaimanapun,
tradisi kritik sastra itu kita terima dari Barat. Di dalam sastra melayu klasik
tidak kita jumpai adanya tradisi kritik sastra ini. Masuknya kritik sastra ke
tanah air kita justru bersamaan dengan masuknya pengaruh sastra dan pendidikan
Barat. Satu hal yang jelas adalah kita harus memperhatikan atau memilih ukuran
dan perbedaan kritik sastra yang sesuai dengan kondisi Indonesia, dalam arti
bahwa kritik atau telaahan sastra itu dapat dijadikan salah satu perangkat alat
pendorong pertumbuhan dan perkembangan dunia sastra di Indonesia, termasuk di
dalamnya dunia kritik sastra.
Tentang ukuran dan
pendekatan kritik ditanah air kita, kiranya patut diperhatikan apa yang
dikatakan oleh Prof. Dr. A. Teew dalam kertas kerjanya pada penataran sastra
tahap I yang dilaksanakan oleh Proyek Pengembangan Bahasa dan Sastra Indonesia
dan Daerah, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, di Tugu Bogor, dari tanggal 8 September sampai dengan 6 November
1978.
Dalam penelitian
struktur sastra harus ada kesadaran akan tempat karya sastra dalam keseluruhan
sastra, dalam tradisi budaya, dalam sejarah bahasa, dan lain-lain. Jadi tidak
cukup dan tidak baik kalau struktur-dalam diteliti tanpa perhatian untuk aspek
lain menurut keadaan. Sedapat dan di mana mungkin penelitian struktur harus dibingkai
dalam kadar teori yang lebih luas; sejarah sastra, fungsi budaya, resepsi
masyarakat, unsur ekspresi, pandangan dunia.
B.
Pertanyaan
Pemahaman
1.
Apakah yang dimaksudkan dengan ukuran
didaktik dalam kritik sastra ?
2.
Jelaskan apa yang dimaksudkan dengan kebenaran
dalam suatu karya sastra ?
3.
Uraikan secara singkat tentang aliran
baru (new criticism) dalam kritik sastra ?
4.
Sebutkan ukuran yang digunakan
penganut aliran struktural !
5.
Bagaimanakah sebaiknya kritik sastra
dilakukan di Indonesia menurut Prof. Dr. A. Teew ?
— SP42
—
Pustaka : Drs. Atar Semi, Kritik Sastra
Penerbit : ANGKASA
Bandung 1984
Tidak ada komentar:
Posting Komentar