Blog Sita : "Sastra Nusantara"
Senin, 18 Maret 2019 - 06:05 WIB
Senin, 18 Maret 2019 - 06:05 WIB
A.
Sastra
dan Kritik Sastra
Sebelum membahas
berbagai pendekatan kritik sastra terlebih dahulu harus dibicakan mengenai
hakekat sastra dan kaitannya dengan kritik sastra. Bagaimanapun, cara seseorang
memandang sastra itu akan memberi pengaruh dan memberi bentuk terhadap
pendekatan yang digunakannya dalam melakukan kritik sastra.
Mungkin kita dapat
mengatakan bahwa sastra memberikan pengalaman dan mengarahkan dirinya kepada
perasaan, sedangkan kritik sastra cenderung untuk memberikan dan memenuhi
kebutuhan pikiran atau intelektual. Pemisahan semacam ini bukan pemisahan yang
mutlak, karena dalam kenyataannya saling berkaitan. Keduanya bisa dimulai dari
pikiran dan perasaan walaupun wujud akhirnya berbeda, yang satu dalam bentuk
karya sastra dan yang lain dalam bentuk karya kritik. Setelah itu keduanya
dapat menjadi konsumsi pikiran dan perasaan.
Sastra adalah karya,
karena itu ia mempunyai sifat yang sama dengan karya yang lain, seperti seni
suara, seni lukis, seni pahat, dan lain-lain. Tujuannya pun sama yaitu untuk
membantu manusia menyingp rahasia keadaannya, untuk memberi makna pada
eksistensinya, serta untuk membuka jalan ke kebenaran. Yang membedakannya
dengan seni yang lain, adalah bahwa sastra memiliki aspek bahasa.
Kritik sastra
merupakan suatu bentuk karya sastra yang mengandalkan adanya norma dan nilai.
Norma dan nilai adalah prinsip atau konsepsi mengenai apa yang dianggap baik
yang hendak dituju. Nilai sukar dibuktikan kebenarannya, ia lebih merupakan
sesuatu yang disetujui atau ditolak, norma ialah ukuran yang mengatur cara
mencapai nilai. Tanpa pengertian norma dan nilai kritik tidak dapat dilakukan.
Oleh sebab itu seorang pengeritik sastra sebelum melakukan kritik sudah
mempunyai norma atau ukuran.
Dalam melakukan
pekerjaan mengeritik, kritikus menghadapi karya sastra, ia memahami apa yang
terkandung di dalamnya, ia menganalisis setiap unsur dan aspek, bahasa dan
teknik penyajian dengan secermat dan sehalus mungkin untuk mendapatkan
pengertian dan membentuk penafsiran. Hanya dengan demikian dia dapat melihat
pertalian antara bentuk dan isinya. Penilaian itu penting karena hakekat sastra
itu adalah bagaimana isi mempengaruhi
bentuk dan bagaimana bentuk membungkus atau menyampaikan isi.
Pada dasarnya teknik
atau metoda kritik yang dipilih seorang kritikus bertolak dari sikap dan
pandangannya tentang apa hakekat sastra itu dan apa hakekat sastra itu sendiri.
Pandangan dan sikap seorang kritikus terhadap sastra serta kritik sastra
merupakan pendekatan. Sedangkan
pendekatan itu sendiri merupakan kerangka berpikir dalam melakukan kritik, yang
akhirnya akan membentuk langkah kerja selanjutnya (teknik atau metoda).
Persoalan yang
selalu menjadi perdebatan yang tidak pernah putus adalah tentang pemberian
makna terhadap kata sastra. Pemberian
makna dan bahasan tentang sastra itu tampaknya semakin menjadi rumit disebabkan
pertumbuhan dan perkembangan sastra yang demikian pesat. Kerumitan memberi
batasan tentang sastra itu menurut Prof. Dr.. A. Teeuw (1978) disebabkan oleh
hal-hal berikut :
1.
Makin banyaknya macam kesusastraan,
sehingga susah mencari ciri-ciri khas yang terdapat dalam semua ragam sastra.
2.
Ciri-ciri khas sastra tidak stabil,
sering berubah-ubah, tidak identik dengaan segala masa dan segala tempat.
3.
Batas antara sastra dan bukan sastra
tidak mutlak: gejala khas yang terdapat dalam sastra juga dimanfaatkan oleh
karangan yang bukan sastra, dan begitu pula sebaliknya.
4.
Justru dalam sastra modern oleh
banyak pengarang dengan sengaja batas antara sastra dan bukan sastra
dikaburkan; batas antara kategori, jenis sastra, dan lain-lain ditembus dan
dirombak.
5.
Dalam masyarakat tradisional, sastra
selalu berfunsi dalam konteks kemasyarakatan yang lebih luas, tidak seperti
masyarakat modern, sastra memiliki otonomi.
6.
Identifikasi sastra berbeda menurut
pendekatan, misalnya :
a.
Struktur karya sastra;
b.
Makna atau pesan karya sastra;
c.
Ekspresi pengarang, dan
d.
Himbauan, impresi, resepsi pembaca.
Tidaklah
mengherankan kalau banyak penulis muda dewasa ini merengut karena tidak adanya
ketentuan mengenai norma dan nilai tersebut. itu suatu hal yang baik, karena
adalah suatu generasi yang berharap dapat menunaikan tugas generasi mereka
menentukan keputusan-keputusan terhadap kesusastraannya, dan malahan kebudayaan
bangsanya. Itulah pula sebabnya setiap kali dicanangkan oleh sekelompok orang
tentang lahirnya suatu angkatan sastra, seperti angkatan 66 , atau angkatan
tujuhpuluhan tidak mendapat sambutan yang ramah. Hal ini boleh disebabkan
oleh perkembangan masyarakat serta kebudayaan kita yang semakin hari menjadi
semakin kompleks. Dalam masyarakat dulu yang sederhana, setiap orang melakukan
kegiatan yang disetujui oleh semua dan kepentingan umum. Para seniman pun
berbuat dalam bentuk yang diakui oleh semua anggota golongan. Tetapi setelah
masyarakat menjadi besar, cara manusia
berpikir dan berbuat berkembang dengan pesat sehingga menjadi kompleks
timbullah banyak perbedaan dan ketidaksamaan. Kesenian menjadi terpisah,
menjadi kegiatan yang otomon, tidak menjadi bagian integral dari kehidupan
masyarakat. Pengaruh materi terhadap cara berpikir dan berbuat anggota
masyarakat mempengaruhi pula apresiasi masyarakat terhadap seni. Faktor-faktor-faktor
itu menyebabkan kita sukar menentukan nilai-nilai atau ukuran-ukuran yang
melembaga yang dapat diterima oleh masyarakat umum.
Walaupun
tidak ada ukuran yang tetap yang berlaku atau diterima secara umum, tidaklah
berarti kita dapat menerima baik kritik sastra yang dilakukan secara liar,
tanpa acuan berpikir yang jelas. Penilaian obyektif dalam arti yang sebenarnya
memang tidak ada yang tidak mungkin. Sia-sia memang, kalau kita mau mencari
kritik sastra yang obyektif. Yang dapat dilakukan adalah upaya mendekati pelaksanaan
prinsip obyektivitas itu. Hal itu dapat dilakukan dengan jalan penetapan dan
pemilihan secara sadar pendekatan dan ukuran kritik. Sewaktu menilai ia harus
berpegang dalam ukuran yang sudah ditetapkan itu. Dalam hal ini ia dituntut
agar konsisten dengan pilihannya. Tetapi hal itu tidak berarti bahwa ukuran dan
pendekatan yang dipilihnya itu bersifat abadi dan mutlak. Dapat saja ia
melakukan pilihan atas melakukan perubahan pada norma, nilai, dan pendekatan
kritiknya bila itu dirasakannya tepat. Tentu diharapkan hal itu terjadi dalam
batas sikap tanggung jawabnya dalam mengembangkan dan membina sikap kritik yang
berbobot berdaya guna.
Semua
orang dapat melakukan kritik sastra, tetapi tidak semua orang dapat menjadi
kritikus sastra, karena untuk menjadi kritikus, kepadanya dituntut memiliki
syarat-syarat tertentu. Ia harus terlebih dahulu tahu hakekat sastra. Tahu
dalam arti berpengetahuan tentag konsep, proses penciptaan, unsur-unsur, serta
fungsi dan peran sastra. Mengetahui dan mengamati, walaupun merupakan dua hal
yang berbeda, tetapi keduanya tidak harus dipertentangkan dan tidak harus pula
terjadi sekaligus. Seorang sastrawan tentulah telah mengalami proses penciptaan
sastra. Seorang kritikus walaupun tidak mengalami langsung proses penciptaan
tetapi ia mempunyai pengetahuan tentang prosep penciptaan, memahami
unsur-unsur, serta peranan sastra. Seorang pengeritik tahu di mana kekuatan dan
kelemahan suatu karya sastra. Oleh sebab itu orang yang mengetahui tentang
sastra lebih berhak melakukan kritik sastra. Bila pengeritik itu adalahseorang
yang berpengetahuan tentang sastra dan sekaligus dia adalah sastrawan, maka
tentulah ia lebih mungkin untuk menjadi kritikus yang baik.
Kepada
seorang pengeritik sastra tidak saja dituntut pengetahuan yang kaya tentang
kesastraan, namun lebih dari itu, kepadanya dituntut pula kesadaran tentang
lingkungan, tradisi kebudayaan, sejarah, kemasyarakatan, dan pengarangnya.
Kesadaran akan tanggung jawab atas kritikan yang diberikan merupakan segi lain
yang perlu dimiliki oleh seorang kritikus sastra, karena kritik sastra bukan
mesia penyampaian atau pelampiasan pendapat pribadi yang subyektif, tetapi
suatu keputusan yang rasional.
B.
Beberapa
Pendekatan Kritik Sastra
Kritik
sastra pernah dikotak-kotakkan dengan berbagai cara menurut sifat, tujuan,
sejarah, atau lingkungan soal geografis. Hal itu memperlihatkan bagaimana para
kritikus dan para ilmuwan sastra mencoba mendekati sastra melalui berbagai
jalan dan ikhtiar. Namun tidaklah semua pendekatan itu bersifat mutlak dan berdiri
sendiri, atu sama lainnya saling berhubungan. Berikut ini akan dikemukakan
beberapa pendekatan.
1.
Pendektan
Mimesis
Pendekatan
ini bertolak dari pemikiran bahwa sastra, sebagaimana hasil seni yang lain,
merupakan pencerminan atau representasi kehidupan nyata. Sastra merupakan
tiruan atau pemaduan antara kenyataan dengan imajinasi pengarang, atau hasil
imajinasi pengarang yang bertolak dari suatu kenyataan. Menurut aristoteles,
mimesis lebih tinggi dari kenyataan, ia memberi kebenaran yang lebih umum,
kebenaran yang universal.
Pendekatan
ini lama sekali mempengaruhi kehidupan kritik sastra di Eropap. Bahkan di
Rusia, pendekatan ini menjadi ajaran resmi. Mereka hanya dapat mengakui sastra
yang mengemukan realisme sosialis. Pendekatan ini juga diterima di RRC dengan
sekedar variasi: mereka menyebutnya secara eksplisit gabungan realisme
revolusioner. Di Indonesia pendekatan ini diwakili oleh LEKRA pada permulaan
tahun lima puluhan sampai tahun 1965.
2.
Pendekatan
Pragmatis (Reseptis)
Pendekatan
ini menganut prinsip bahwa sastra yang
baik adalah sastra yang dapat memberi kesenangan
dan faedah bagi pembacanya.
Dengan begitu pendekatan ini
menggabungkan antara unsur pelipur lara
dengan unsur didaktis. Pemanfaatan pendekatan ini harus berdekatan dengan
relativitas konsep keindahan dan konsep nilai didaktis. Setiap generasi pada
setiap kurun waktu tertentu diharuskan menentukan kembali nilai keindahan dan
nilai keindahan dan nilai didaktis menurut kondisi waktu itu. Tetapi hal itu
tidak berarti bahwa interpretasi hanya subyektif belaka. Ada semacam kaitan
atau kesinambungan antara sesuatu yang lama dengan sesuatu yang dianggap baru.
Di Indonesia sejak dulu menganggap aspek didaktis dan unsur keindahan merupakan
dua unsur yang penting.
3.
Pendekatan
Ekspresif.
Pendekatan
ini menitikberatkan perhatian kepada upaya pengarang atau penyair
mengekspresikan ide-idenya ke dalam karya sastra. Kemampuan pengarang
menyampaikan pikiran yang agung dan emosi yang kuat menjadi ukuran
keberhasilan. Yang menjadi tanah garapan para
pengeritik adalah kejiwaan pengarang. Misalnya, esei Arief Budiman tentang
Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan dengan Pribadi
Chairil Anwar, sedikit banyaknya mengandung pendekatan ini. Di Indonesia, kita kenal dengan istilah kritik Ganzheit.
4.
Pendekatan
obyektif (Struktural)
Pendekatan
ini membatasi diri pada penelaahan karya sastra itu sendiri, terlepas dari soal
pengarang dan pembaca. Dalam hal ini kritikus memandang karya sastra sebagai
suatu kebulatan makna. Dengan kata lain, pendekatan ini memandang dan menelaah
sastra dari segi intrinsik yang membangun suatu karya sastra, yaitu tema, alur,
latar, penokohan, dan gaya bahasa. Perpaduan yang harmonis antara bentuk dan
isi merupakan kemungkinan kuat untuk menghasilkan sastra yang bermutu.
Penelaahan sastra melalui pendekatan struktural ini menjadi panutan para
kritikus aliran strukturalis, di Indonesia tercermin pada kelompok Rawamangun.
5.
Pendekatan
Semiotik
Pendekatan
semiotik ini pada dasarnya merupakan pengembangan pendekatan obyektif atau
pendekatan struktural, yaitu penelaahan sastra degan mempelajari setiap unsur
yang ada di dalamnya, tanpa ada yang dianggap tidak penting, serta melihat
suatu karya sastra sebagai suatu yang terikat kepada sistem yang dibentuknya
sendiri, sehingga sistem yang ada di luarnya tidak berlaku terhadapnya.
Pendekatan semiotik melihat sistem itu jauh lebih luas. Dalam semiotik, segala
unsur yang ada dalam suatu karya sastra dilihat sebagai sebagian dari suatu
sistem. Dengan demikian, setiap unsur dalam suatu karya sastra masuk ke dalam
suatu sistem tertentu. Karya sastra disusun berdasarkan suatu sistem. Sesuatu
yang hidup dan tumbuh dalam suatu masyarakat akan tercermin di dalam karya
sastra, karena karya sastra itu tidak dapat melepaskan diri dari sistem
kemasyarakatan itu sendiri.
Bila
suatu masyarakat memperlihatkan pembenturan berbagai nilai maka kekacauan dan
pembenturan itu akan tercermin pula dalam karya sastra. Pola bahasa masyarakat
yang kacau mungkin saja akan tercermin dalam bahasa yang digunakan oleh
pelaku-pelaku cerita sehingga menelaah suatu karya mau tidak mau harus
menghubungkannya dengan kenyataan kehidupan masyarakat. Begitulah, penting
adanya analisis yang memperhatikanatau memandang sesuatu sebagai satu sistem,
yakni sistem tanda, sesuai dengan pandangan semiotik. Pandangan semiotik bukan
hanya dapat menghubungkan sistem dalam karya sastra itu sendiri, tetapi juga
dengan sistem yang ada di luarnya: dengan sistem kehidupan. Dalam hubungan ini
tidak mungkin diabaikan kesanggupan kita untuk memahami kehidupan itu sendiri;
tentu saja harus didukung oleh ilmu bantu yang lin. Dengan pendekatan semiotik
ini diharapkan kita dapat memahami karya sastra dengan lebih baik sehingga
memungkinkan kita dapat memberikan penilaian secara lebih positif.
6.
Pendekatan
Sosiologis (the sosiological approach).
Pendekatan
ini bertolak dari pandangan bahwa sastra merupakan pencerminan kehidupan
kehidupan masyarakat. Melalui sastra , pengarang mengungkapkan tentang suka
duka kehidupan masyarakat yang mereka ketahui dengan sejelas-jelasnya. Bertolak
dari pandanga itu telaah atau kritik sastra yang dilakukan terfokus atau lebih
banyak memperhatikan segi-segi sosial kemasyarakatan yang terdapat dalam suatu
karya sastra serta mempersoalkan segi-segi yang menunjang pembinaan dari
pengembangan tata kehidupan.
Catatan:
tentang pemanfaatan pendekatan ini akan dibicarakan pada bab 4
7.
Pendekatan
Psikologis.
Pendekatan
psikologis adalah pendekatan penelaahan sastra yang menekankan pada segi-segi
psikologis yang terdapat dalam suatu karya sastra. Mengapa segi-segi psikologis
ini mendapat perhatian dan penelitian sastra? Hal in terjadi disebabkan
timbulnya kesadaran bagi para pegarang, yang dengan sendirinya juga bagi
kritikus sastra, perkembangan dan kemajuan masyarakat di zaman modern ini
tidaklah semata-mata dapat diukur dari segi material, tetapi juga dari segi
rohaniah atau kejiwaan.
Kemajuan-kemajuan
teknologi serta modernisasi dalam segala sektor kehidupan nampaknya bermula
dari sikap kejiwaan tertentu serta bermuara pula ke permasalahan kejiwaan.
Tidak sedikit jumlahnya manusia yang sudah sukses dalam kehidupan kebendaan,
namun ia masih juga berusaha keras mencapai taraf kehidupan yang lebih tinggi,
yang tidak pernah ada batasnya itu, akhirnya kandas dan menemukan dirinya
terbenam ke dalam penyakit kejiwaan. Oleh sebab itu banyak pengarang-pengarang
terkemuka dewasa ini mengemukakan tantang permasalahan kehidupan dengan
memperhatikan pendapat-pendapat atau teori psikologi.
Dari
berbagai cabang psikologi, psikologi analislah yang lebih banyak mempunyai
hubungan dengan sastra, sebab ia memberi teori adanya dorongan bawah sadar yang
mempengaruhi tingkah-laku manusia. Pelopor psikologi-analis ini adalah Sigmund
Freud. Prinsip-prinsip psiko-analis ini adalah sebagai berikut :
a.
Lapisan kejiwaan yang paling dalam (rendah) adalah lapisan bawah sadar (libido) atau daya hidup, yang berbentuk
dorongan seksual dan perasaan-perasaan lain yang mendorong manusia mencari
kesenangan dan kegairahan.
b.
Pengalaman-pengalaman waktu bayi dan
sewaktu kanak-kanak, banyak mempengaruhi sikap hidup di masa dewasa. Yang
paling terkenal dalam hal ini adalah ikatan kasih antara anak perempuan dengan
ayahnya dan antara anak laki-laki dengan ibunya.
c.
Semua buah pikiran, betapapun
kelihatannya tidak berarti, masih tetap penting bila dihubungkan dengan daerah
bawah sadar.
d.
Konflik emosi, pada dasarnya adalah
konflik antara perasaan bawah sadar dengan keinginan-keinginan yang muncul dari
luar.
e.
Emosi itu sendiri bersifat dwirasa.
Tidak ada emosi dari satu jenis. Benci dan sayang saling bercampur. Seorang
laki-laki mungkin membenci seorang wanita tetapi sekaligus dia juga tertarik
kepadanya.
f.
Sebagian konflik dapat diselesaikan
atau disembunyikan dengan cara yang dapat diterima.
Apabila dia mampu keluar dari konflik itu, disebut sublimasi, tetapi bila gagal ia akan menyerupai neorosis, yaitu konflik emosi di dasar jiwa.
Di
dalam tahun 1923, Freud merumuskan hipotesis akhirnya berhubungan dengan
seluk-beluk jiwa manusia. Dia menyimpulkan, bahwa seluk-beluk jiwa manusia itu
tersusun dalam tiga tingkat, yaitu: id (libido
atau dorongan dasar), ego (peraturan
secara sadar antara id dan realitas
luar), dan superego (penuntun moral
dan aspirasi seseorang). Id tidak bisa dimusnahkan, tetapi hanya dapat
dikawal: di dalam tidur ia menjelma kembali tetapi sebagian saja. Ego biasanya mengawal dan menekan
dorongan id yang kuat, mengubah sifatnya jika ia menjelma
ke tingkat alam sadar. Super ego berfungsi
sebagai lapisan yang menolak sesuatu yang melanggar prinsip moral, yang
menyebabkan seorang merasa malu atau memuji sesuatu yang dianggap baik. Pabila
terdapat keseimbangan yang wajar dan stabil antara ketiga unsur itu akan
memperoleh struktur watak manusia biasa.
Teori
psiko-analisis ini bukannya tidak memiliki kelemahan. Terdapat beberapa
kritikan penting terhadap psikologi Freud ini, antara lain adalah :
1.
Dianggap berlebihan menyorot kembali segalanya ke alam bayi;
2.
Teori ini tidak boleh dan tidak dapat
dibuktikan secara scientific, ia sebenarnya merupakan suatu sistem metafora;
3.
Terdapat terlalu banyak jenis aliran
psiko-analisis sebagai suatu ilmu pengetahuan;
4.
Penekanan terlalu berlebihan tentang
penumpuan pada seksual.
Pemanfaatan
teori ini dalam sastra yang dilakukan oleh kebayakan pengarang, ialah dengan
mengambil bagian-bagian yang berguna dan tulen untuk pertimbangan mereka dalam
mengkaji sifat dan pribadi seseorang.
Pengetahuan
tentang psikologimendorong kita untuk menyadari bahwa sebuah karya sastra yang
baik sekurang-kurangnya mempunyai dua jenis makna: yang jelas dan yang
terselubung. Sesuatu watak tidak harus dinilai dari keadaan lahirnya saja,
tetapi harus juga diperhitungkan apa yang dilakukan dan dikatakannya. Faedah
lain psikologi dalam ssatra adalah dalam pengkajian riwayat hidup pengarang,
yaitu dalam hal kita menganggap riwayat hidup pengarang membantu memahami karya
mereka. Dengan memahami kejiwaan, sikap hidup, dan cara berpikir, akan
memudahkan kita menemukan makna yang tersembunyi di balik tulisan-tulisan
mereka. Bagi sastrawan sendiri, pengetahuannya tentang psikologi mendorong
kesungguhan dalam menguraikan tentang gambaran watak, dan mendorong mereka lebih
cermat dalam menggambarkan pergolakan jiwa tokoh-tokoh cerita mereka.
Di
dalam pemanfaatan psikologi ini, hendaknya jangan ditinggalkan teori-teori
psikologi yang dikemukakan oleh Jung dan Alder. Jung dengan teori kumpulan
ketaksadaran (collective subconscious), dan Alder dengan teori tentangvrasa rendah
diri (inferiority complex) juga mendapat perhatian dari beberapa
pengarang terkemuka.
Di
antara pengarang-pengarang Indonesia yang mampu membawa unsur-unsur psikologi
dalam karyanya adalah Sanusi Pane dengan Belenggu-nya,
Achdiat Kartamiharja dalam Atheis, Toha Muchtar dalam Pulang, Muchtar Lubis dalam Harimau-harimau,
Iwan Simatupang dalam Merahnya Merah.
8.
Pendekatan
Moral
Pendekatan
moral dalam kritik sabtra sering pula dianut oleh beberapa kritikus. Pendekatan
ini bertolak dari dasar pemikiran bahwa suatu karya sastra diaggap sebagai
suatu medium yang paling efektif membina moral dan kepribadian uatu kelompok
masyarakat. Moral dalam hal ini diartikan sebagai suatu norma, suatu konsep
tentang kehidupan yang disanjung tinggi oleh sebagian besar masyarakat
tersebut. mral yang dipegang teguh oleh suatu masyarakat tidak berarti statis,
tidak berubah. Ukuran moral
T.S.
Eliot seorang penyair Inggris pernah mengatakan, bahwa ukuran nilai suatu karya
sastra harus dilihat dari aspek etika dan keagamaan. Bila ada semacam
kesepakatan dalam suatu masyarakat tentang etika dan keagamaan, maka kritik
sastra dari segi moral masih dapat diterima dengan baik ( Yahya Ismail: 1967 ).
Suatu hal harus diingat bahwa ukuran dari segi moral ini sering membuahkan
hasil kritik yang tidak memuaskan. Hal
itu disebabkan ukuran moral yang ada pada suatu waktu tidak sama dengan ukuran
moral yang ada pada waktu yang lain. Kalau sekarang kita menggunakan suatu
ukuran moral yang ada saat ini dalam menelaah karya sastra yang terbit tahun
duapuluha tentu terjadi kesalahaan tafsiran atau mungkin terjadi kesalahan
kesimpulan.
Pendekatan
moral, dalam kenyataannya, cenderung menjurus kepada penggunaan ukuran dari
segi nilai-nilai keagamaan. Hal ini disebabkan moral dan tata nilai yang ada
dan dipegang teguh oleh masyarakat pada umumnya dibentuk oleh agama yang dianut
oleh masyarakat yang bersangkutan. Bila, disengaja atau tidak, terkait dalam
suatu kritik sastra terhadap nilai-nilai keagamaan, maka persoalannya menjadi
semakin rumit dan kompleks. Dikatakan demikian karena dengan sendirinya akan
dipersoalkan:
1) Hubungan
antara kritikus dan karya sastra,
2) Hubungan
karya sastra dan realitas kehidupan dalam masyarakat, dan
3) Hubungan
kritikus dengan realitas kehidupan keagamaan pengarang.
Dalam
keadaan yang demikian, bisa terjadi apa yang diungkapkan dalam suatu karya
sastra diidentikkan dengan sikap hidup beragama pengarangnya, padahal karya
sastra itu dapat berupa fiksi, yang terlahir dari suatu perpaduan kenyataan
dengan imajinasi. Hal ini dapat menyebabkan suatu karya sastra diberangus, atau
mungkin pengarangnya dapat diseret ke meja hijau.
Meruncingkan pertentangan
agama dengan sastra sudah barang tentu merugikan keduanya. Seyogyanya
kedua-duanya dapat berjalan seiring dan saling membantu: karya sastra adalah
wadah yang cukup dapat diandalkan dalam pembinaan moral keagamaan, sedangkan di
pihak lain, moral keagamaan ini merupakan problem yang selalu menarik untuk
ditampilkan dalam karya sastra. Oleh sebab itu pendekatan moral dalam kritik
sastra harus digunakan secara teliti dan cermat.
C.
Pertanyaan
Pemahaman.
1.
Apakah syarat yang harus dipenuhi
oleh seorang yang ingin melakukan kritik sastra ?
2.
Sebutkan prinsip-prinsip pendekatan
mimesis dan pendekatan pragmatis (reseptif) !
3.
Apakah perbedaan dan persamaan antara
pendekatan struktural dan pendekatan semiotik ?
4.
Jelaskan dengan singkat tentang
prinsip pendekatan kemasyarakatan !
5.
Apakah itu pendekatan moral ?
SP42
Senin, 18 Maret 2018 – 0613 WIB
PUSTAKA : Drs. Atar
Semi, “Kritik Sastra”
Penerbit : ANGKASA Bandung 1984
Tidak ada komentar:
Posting Komentar