Blog Sita : "Sastra Nusantara"
Minggu, 17 Maret 2019 - 16:53 WIB
Minggu, 17 Maret 2019 - 16:53 WIB
A.
Batasan Kritik Sastra.
Istilah kritik
sastra punya sejarah panjang . istilah itu telah dikenal tahun 500 sebelum
Masehi. Kata kritik berasal dari krinein, bahasa Yunani, yang berarti menghakimi, membanding, atau menimbang. Kata krinein menjadi pangkal atau asal kata kreterion yang berarti dasar,
pertimbangan, penghakiman. Orang yang melakukan pertimbangan dan
penghakiman itu disebut krites yang
berarti hakim. Bentuk krites inilah yang menjadi dasar kata kritik yang kita gunakan di sini.
Kegiatan kritik
sastra pertama dilakukan bangsa Yunani bernama Xenophanes dan Heraclitus,
ketika mereka mengecam pujangga Homerus yang gemar mengisahkan cerita tentang
dewa-dewi yang mereka anggap tidak senonoh serta bohong. Peristiwa kritik
sastra yang pertama itu kemudian diikuti oleh tokoh-tokoh lain seperti
Aristphanes (450 — 385 S.M.). setelah itu, muncullah tokoh Plato (427 — 347
S.M.) dan disusul pula oleh Aristoteles (384 — 322 S.M.).
Buku tentang kritik
sastra dan lengkap, yang dapat dipandang sebagai sumber pengertian kritik
modern merupakan buah tangan Julius Caesar Scaliger (1484 — 1585). Buku itu
berjudul Criticus, di isinya
menerangkan tentang tentang perbandingan antara pujangga-pujangga Yunani dan
latin dengan titik berat pada pertimbangan, penyejajaran, dan penghakiman
terhadap Homerus guna mengagungkan Vergilius.
Dalam sastra
Inggris abad ketujuh belas istilah critic
dipakai baik untuk menunjukkan orang yang melakukan kritik (kritikus)
maupun untuk melakukan kritik itu sendiri. Kemudian muncul pula istilah criticism yang dipakai pertama kali
oleh penyair John Dryden (1677). Istilah itu kemudian menjadi lebih kokoh
setelah terbitnya buku John Dennis, The
Grounds of Criticism in Poetry (711). Semenjak itu istilah criticism dipandang lebih tepat dari
cakup pengertian yang lebih luwes. Tidak hanya itu, malahan berkembang menjadi
sutu kegiatan kesastraan yang mendapat tempat yang tak terpisahkan dari
pendidikan dan pengajaran sastra.
Di Indonesia
istilah maupun pengertian kritik sastra baru dikenal setelah para sastrawan
meperoleh atau mendapat pendidikan dari atau di negara Barat sekitar awal aba
kedua puluh. Sungguhpun demikian, bukan tidak terjadi sebelumnya penilaian
penilaian atau penghukuman terhadap sastrawan dan karyanya di dalam sejarah
kehidupan kesastraan ini. Kita tentu tahu, bahwa syair-syair Nuruddin ar-Raniri
yang dibakar karena ajaran mistik yang terkandung di dalamnya dianggap bertentangan
dengan ajaran penyair Hamzah Fansuri,
bahkan dinilai sangat membahayakan ajaran agama pada umumnya. Dengan demikian
pula sastra suluk dan sastra Jawa seperti Kitab
Darmogandul dan kitab Suluk Gatoloco,
karena dianggap menyampaikan ajaran mistik yang bertentangan dengan ajaran
agama. Malahan kita masih ingat beberapa karya sastra yang dilarang
peredarannya oleh pemerintah karena dianggap mengandung pikiran-pikiran yang
bertentangan dengan kepentingan umum dan kepentingan kehidupan kenegaraan.
Perlakuan terhadap karya sastra seperti itu tentu tidak dapat digolongkan ke
dalam penertian kritik sastra dalam artian yang sesungguhnya.
Jadi, sesunguhnya
kritik sastra sudah ada dalam kehidupan sastra Nusantara dalam arti yang
seluas-luasnya. Hanya saja kritik tersebut tidak berbentuk tulisan dan tidak
mempunyai aturan yang sistematik. Kritik berlangsung secara lisan oleh
masyarakat yang baru saja menyaksikan suatu pertunjukan atau pergelaran
kesenian, atau memberi komentar tentang suatu karya sastra yang dibaca kepada
teman sejawat. Dalam wayang kulit mendapat sorotan masyarakat masyarakat,
diperbincangkan tentang caranya memainkan wayangnya atau mengenai teknik ucapan
pelaku-pelakunya. Situkang kaba di Minangkabau akan diperbincangkan mengenai
kebolehannya menyusun alur cerita dan membangun kontak dengan pendengarnya.
Begitulah, bahwa hampir setiap penonton atau hadirin dalam suatu pergelaran
kesenian merupakan pengertik-pengeritik dalam arti yang luas. Sehingga hal itu
dapat menjadi sumbangan yang positif bagi peningkatan mutu karya para seniman.
Meskipun sudah ada
semacam kritik sastra tapi belum ada teori atau kerangka acuan yang digunakan.
Kritik berlangsung dalam kerangka selera personal dan pengalaman masing-masing.
Baru setelah adanya pengaruh Barat sebagaimana yang telah disebutkan di atas
timbullah kritik sastra dalam sastra Indonesia, dalam arti sudah mempunyai
teori kritik walau berdasarkan pada pola kritik yang dikembangkan di Barat.
Dengan munculnya
kritik sastra di In donesia maka kita sudah memiliki tiga wilayah ilmu atau
studi sastra, yaitu teori sastra, sejarah sastra, dan kritik sastra. Teori
sastra menyangkut bidang yang membicarakan masalah definisi sastra, hakekat
sastra, teori penelitian sastra, jenis sastra, teori gaya penulisan, dan teori
penikmatan sastra. Sejarah sastra merupakan studi sastra yang berhubungan
dengan penyusunan sejarah sastra seperti masalah periodesasi dan perkembangan
sastra. Kritik sastra merupakan bidang studi sastra yang berhubungan dengan
pertimbangan karya sastra, mengenai bernilai atau tidaknya sebuah karya sastra.
Ketiga wilayah studi sastra ini saling berhubungan erat, saling menunjang, dan
saling isi mengisi.
Di Indonesia memang
pernah istilah kritik ini pernah
dihindari karena dianggap perkataan itu membawa makna yang cukup tajam, dan
perbuatan mengeritik itu dianggap destruktif,
sehingga sering dimunculkan sinonimnya seperti penyelidikan, atau pengkajian,
atau telah, atau ulasan, atau bahasan. Sungguh pun banyak kemungkinan pilihan kata yang dapat
digunakan, dan memang pernah digunakan, namun akhirnya katakritik itu sendiri tetap digunakan secara luas. Dengan munculnya beberapa
buku kritik sastra H.B. Jassin dan penulis-penulis lainnya, menyebabkan
pengertian kritik sastra itu menjadi semakin tumbuh dan berkembang dengan baik.
Tentang kritik
sastra itu sendiri, berbagai batasan kita jumpai. HB Jassin mengemukakan bahwa
kritik sastra adalah pertimbangan baik buruknya suatu hasil karya sastra.
Rumusan semacam ini tentu ada benarnya
bila yang dimaksudkan adalah semacam penilaian, tanggapan, dan komentar
terhadap suatu karya sastra. Masalahnya tidak hanya masalah baik dan buruk
semata melainkan diperlukan adanya alternatif-alternatif lain.
William Flint
Thrall dan Addison Hibbard dalam bukunya A
Handbook ti Literature (1960) mengemukakan sebagai berikut: Kritik adalah
merupakan keterangan, kebenaran analisis atau judgment suatu karya sastra. Selanjutnya dikatakan, bahwa ada
beberapa cara mengklasifikasikan kritik, yang lazim di antaranyaa adalah
mimetic, pragmatik, ekspresif, dan obyektif. Salah satu dikhotomi umum kritik ialah aliran Aristetotelian versus Platonic. Aristolian menganggap kritik
bersifat formal, logis dan yudisial yang
cenderung mengemukakan nilai-nilai karya pada diri suatu karya sastra atau
hal-hal yang berhubungan dengan karya itu sendiri. Platonic mengarah kepada
pada pandangan moral dan kegunaan (manfaat) suatu karya seni, dimana nilai
suatu karya seni diperoleh pada kegunaan untuk yang lain dan tujuan-tujuan non
seni. Jadi, pada pokoknya apa yang dimaksud dengan dikhotomi Aristoliant Platonic ialah pemisahan
intrinsik dengan ekstrinsik.
Andre Harjana,
dalam bukunya Kritik Sastra: Sebuah Pengantar (1981) mendifinisikan
kritik sastra sebagai hasil usaha pembaca dalam mencari dan menentukan nilai
hakiki karya sastra lewat pemahaman dan penafsiran sistematik, yang dinyatakan
dalam bentuk tertulis. Selanjutnya dijelaskan Harjana: kata pembaca dalam difinisi singkat itu
digunakan dengan sengaja untuk menunjukkan bahwa kritik sastra dapat membuat
kritik sastra yang baik, apabila ia betul-betul berminat pada sastra, terlatih
kepekaancitanya, dan mendalami serta
menilai tinggi pengalaman manusiawi dalam menunjukkan kerelaan jika untuk
menyelami dunia karya sastra.
Menurut Gayley dan
Scott (Drs. Liaw Yock Fang, 1970) krrtik sastra adalah :
1.
Mencari kesalahan (fault-Finding),
2.
Memuji (to praise),
3.
Menilai (to judge)
4.
Membanding (tocompare), dan
5.
Menikmati (to appreciate).
Menurut L.L.
Duroche (1967) dengan mengutip pendapat Stanley Edgard Huyman, mendifenisikan
kritik seni sebagai “interpreting the work, relating it to literary tradition,
evaluating it, and so on.” Kemudian dia menarik suatu kesimpulan bahwa terdapat
tiga pendapat tentang kritik sastra :
1.
Kritik sastra adalah penilaian
(evaluation)
2.
Kritik sastra adalah interpretasi
(interpretation), sebab (a) belum adanya ukuran yang baku, (b) ukuran itu
sendiri tidak dapat disusun.
3.
Kritik sastra itu adalh penilaian dan
interpretasi.
Batasan kritik sastra yang disebut di
atas pada dasarnya memiliki jalan pikiran
yang hampir sama, perbedaannya hanyalah terletak pada graduasi belaka. Dari
uraian di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa kritik sastra adalah upaya
menentukan nilai hakiki karya sastra dalam bentuk memberi pujian, mengatakan
kesalahan, memberi pertimbangan ewat pemahaman dan penafsiran yang sistematik.
B.
Jenis Kritik Sastra
Kritik sastra
dibagi atas beberapa jenis berdasarkan atas pendekatan yang digunakan, dan
pelaksanaan kritik itu sendiri. Jika kritik sastra dilihat dari pendekatan atau
metode kritik maka kritik sastra dapat dibagi atas dua jenis :
1.
Krdi atasitik sastra penilaian (Judicial
Criticism),
Yaitu kritik sastra yang sifatnya
memberi penilaian terhadap pengarang dan karyanya. Penilaian dilakukan
berdasarkan ukuran yang telah ditetapkan sebelum penilaian itu dilakukan.
2.
Kritik sastra induktif (inductif
criticism),
Yaitu kritik sastra yang tidak mau
mengakui adanya aturan-aturan atau ukuran-ukuran yang ditetapkan sebelumnya.
Kritik sastra jenis ini dilakukan dengan jalan menelaah atau menjelahi suatu
karya sastra tanpa ada persepsi sebelumnya, kemudian hasil penjelajahan itu
dikemukakanlah bahwa karya sastra itu disusun berdasarkan pendekatan atau
metode tertentu.
Di samping kedua
pembagian itu masih ditemui pembagian yang lain yang sifatnya merupakan
pemerincian dari kritik sastra penilaian (Judicial criticism) di atas,
yaitu sebagai berikut :
1.
Kritik sastra ilmiah (scientific
criticism).Yaitu kritik sastra yang dilakukan dengan pendekatan ilmiah.
2.
Kritik Sastra Estetis (Aesthetic
criticism). Yaitu kritik sastra yang dilakukan dengan menggunakan
pendekatan estetika, yang mengutamakan kritik pada segi keindahan suatu karya
sastra.
3.
Kritik Sastra Sosial (Sosiological
criticism). Yaitu kritik sastra yang dilakukan dengan menggunakan
pendekatan sosiologis; artinya suatu karya sastra itu ditelaah aspek-aspek
sosial kemasyarakatan yang berada di sekitar kelahiran karya tersebut serta
sumbangan yang diberikannya terhadap pembinaan tata kehidupan masyarakat.
Berdasarkan
pendekatannya terhadap karya sastra, kritik sastra itu dapat digolongkan ke
dalam empat jenis (Abrams;1981) yaitu :
1.
Kritik Mimetik (mimetic criticism). Yaitu kritik yang
bertolak pada pandangan bahwa karya sastra merupaka suatu tiruan atau penggambaran dunia dan
kehidupan manusia. Oleh karena itu kritik sastra mimetik cenderung untuk
mengukur kemampuan suatu karya sastra menangkap gambaran kehidupan yang
dijadikan sebagai obyek.
2.
Kritik Pragmatik (pragmatic
criticism). Yaitu suatu kritik yang disusun berdasarkan pandangan bahwa sebuah karya
sastra itu disusun untuk mencapai efek-efek tertentu kepada pembacanya, seperti
efek kesenangan, estetika, pendidikan dan sebagainya. Kritik pragmatik ini
berkecenderungan untuk memberi penilaian terhadap suatu karya berdasarkan
ukuran keberhasilannya dalam mencapai tujuan tersebut.
3.
Kritik Ekspresif. Yaitu kritik sastra
yang menggunakan pendekatan atau pandangan bahwa suatu karya sastra adalah
karya yang mandiri. Ia tak perlu dilihat dari segi pengarang, pembaca, atau
dunia sekitarnya. Ia harus dilihat sebagai obyek yang berdiri sendiri, yang
memiliki dunia sendiri. Oleh sebab itu kritik yang dilakukan atas suatu karya
sastra merupakan suatu kajian intrinsik semata.
Jika ditinjau dari segi bentuknya,
kritik sastra dibagi atau dipisahkan atas kritik relatif dan kritik
absolut. Kritik relatif diartikan sebagai suatu bentuk kritik yang
mempunyai aturan-aturan yang dijadikan pegangan dalam upaya menguraikan atau
menjelaskan tentang hakekat karya sastra. Sedangkan kritik absolut merupakan
kritik sastra yang tidak percaya akan adanya suatu prosedur dan perangkat
aturan yang dapat diandalkan untuk dijadikan patokan dalam melakukan kritik.
Ada pula pemisahan antara kritik
teoritis dan kritik praktis. Kritik teoritis adalah kritik sastra
yang berusaha untuk sampai kepada prinsip-prinsip seni yang umum dan
memformulasikan usah pemaduan unsur estetika dengan prinsip kritik. Kritik
praktis, adalah kritik yang berupaya agar prinsip dan patokan yang digunakan
disesesuikan dengan karakteristik karya seni yang bersangkutan.
Kritik sastra dapat pula
diklasifikasikan berdasarkan tujuan yang hendak dicapai. Tujuan yang hendak
dicapai kritik adalah :
1.
Pertimbangan atau penjelasan tentang
karya sastra serta prinsip-prinsip terpenting tentang karya tersebut kepada
penikmat yang kurang dapat memahaminya.
2.
Menerangkan seni imajinatif sehingga
mampu memberikan jawaban terhadap hal-hal yang dipertanyakan pembaca.
3.
Membuat aturan-aturan untuk para
pengarang mengatur selera pembacanya.
4.
Menginterpretasikan suatu karya
sastra terhadap pembaca yang tidak mampu memberikan apresiasi.
5.
Memberi keputusan atau pertimbangan
dengan ukuran penilaian yang telah ditetapkan.
6.
Menemukan dan mendapatkan asa yang
dapat menerangkan dasar-dasar seni yang baik.
Bertolak dari
tujuan yang hendak dicapai maka kritik sastra akan melahirkan berbagai kritik.
Karena pada umumnya kritik sastra itu dilakukan dengan berbagai macam tujuan
maka dengan sendirinya tidak hanya satu atau duapendekatan saja yang digunakan
dalam melakukan kritik, tetapi menggunakan berbagai pendekatan, dengan kata
lain beberapa pendekatan dicampur-baurkan untuk memperoleh kesempurnaan.
Kritik sastra juga
dibagi berdasarkan tipe sejarah sastra, dan kritik sastra yaitu sebagai berikut
:
1.
Impressionistik, menekankan
bagaimana karya seni mempengaruhi para kritikus.
2.
Kesejarahan, menyelidiki karya
seni berdasarkan lingkungan sejarah dan fakta tentang kehidupan di lingkungan
kehidupan pengarang.
3.
Textual. Berusaha untuk
menuliskan kembali naskah asli karya tersebut.
4.
Formal. Menyelidiki jenis
dan karakteristik mana suatu karya sastra dapat dimasukkan.
5.
Yudisial. Yaitu menilai
suatu karya sastra dengan perangkat ukuran yang telah ditetapkan.
6.
Analitik. Berupa usaha untuk
menemukan hakekat suatu karya sastra secara obyektif melalui analisis yang
mendalam bagian-bagian karya tersebut.
7.
Moral. Menevaluasi suatu
karya sastra dalam kaitannya dengan nilai kemanusiaan.
8.
Mistik. Yaitu menyelidiki
tentang hakekat dan makna suatu karya sastra dalam hubungan dengan pola-pola
kepercayaan. (William Flint Thrall dan Adfison Hibbard, 1960: A Handbook to
Literature).
Jika dilihat dari hakekat suatu karya
sastra yang merupakan suatu kebutuhan, suatu kebulatan yang berdiri sendiri,
maka kritik sastra dapat pula dibagi atas tiga aspek. Ketiga aspek itu
disejajarkan dengan ketiga aspek sastra sebagai suatu bentuk karya seni. Ketiga
aspek itu adalah:
1.
Sastra itu merupakan suatu fenomena
atau gejala sejarah, yakni sebagai hasil karya dari seorang seniman yang datang
dari suatu lingkungan tertentu dengan kebudayaan tertentu yang tidak lepas dari
rangkaian sejarah.
2.
Suatu karya sastra pastilah merupakan
pengejawantahan gaya yang menandai karya-karya sastra lain, termasuk di
dalamnya aliran, permasalahan, dan kebudayaan yang sama atau hampir sama dengan
karya tersebut.
3.
Karya sastra sebagaimana juga dengan
karya sastra yang lain, berbeda-beda tingkat pencapaiannya sebagai karya seni,
begitu juga dengan kebenaran yang diungkap dan kepentingannya pada kehidupan
masyarakat. Tegasnya, suatu karya sastra mempunyai tingkatan sendiri dalam hal
kesempurnaan, dan mempunyai pandangan sendiri tentang nilai-nilai.
Bertolak dari
pendirian itu, maka seorang kritikus yang jelilah yang dapat mengamati suatu
karya sastra dengan baik, yang dapat mengamati aspek-aspek perbedaan dan
kesamaan suatu karya sastra dengan karya sastra yang lain. Ketepatan
pengamatan, pengalaman, pengetahuan, pendidikan, dan minatnya yang besar.
Dengan itu pula seorang kritukus dapat menghasilkan suatu pandangan serta
getaran hati yang lebih halus dibanding dengan pembaca biasa. Oleh karena itu
kritik sastra pun menghendaki adanya ketiga aspek seperti yang sudah
dikemukakan di atas. Jelasnya, kritik sastra memiliki tiga aspek pula, yaitu :
1.
Aspek kesejarahan, yang akan
menghasilkan kritik kesejarahan (historis), yaitu kritik sastra yang
berorientasi kepada segi-segi kesejarahan berkait suatu karya sastra.
2.
Aspek rekreasi, yaitu suatu bentuk
pengulangan dari apa yang mungkin terdapat dalam suatu karya sastra ke dalam
karya sastra yang lain. Aspek rekreasi ini akan melahirkan kritik rekreatif,
yang menyang berkaitan dengan segi-segi artistik yang menonjol pada suatu
karya sastra.
3.
Aspek kadar artistik suatu karya
sastra, yang menghasilkan suatu kritik penghakiman,yang bermakna bahwa
kritikus berupaya menemukan atau menentukan nilai-nilai kegunaan dan
kepentingannya, serta nilai-nilai lain yang terdapat dalam suatu karya sastra.
Kriteria yang digunakan adalah : (a) Kriteria estetik, yang memperhatikan
pencapaian nilai keindahan dalam suatu karya sastra. (b) Kriteria epistemis, yang menyangkut
penilaian tentang kebenaran. (c) Kriteria normatif, yaitu kriteria yang lebih
luas menyangkut kepentingan, keagungan, dan kedalamannya.
Kritik yang ideal tentu kritik yang dapat memadukan secara harmonis ketiga
aspek itu, namun yang ideal itu diakui sukar sekali dilakukan, sebab ada saja
kemungkinan untuk menitikberatkan perhatian kepada satu atau dua aspek dengan
mengurangi perhatian terhadap satu atau dua aspek yang lain.
C.
Kedudukan
dan Fungsi Kritik Sastra
Jauh sebelum orang memikirkan tentang hakekat
sastra serta kedudukan dan fungsinya, sastra itu sudah diciptakan. Oleh sebab
itu usia kritik sastra jauh lebih muda dari sastra itu sendiri. Kritik sastra
baru ada setelah orang mempertanyakan apa dan dimana nilai karya sastra yang
dihadapinya. Selanjutnya, setelah muncul berbagai macam kritik sastra, timbul
pula pertanyaan : Apa fungsi kritik sastra itu, dan bagaimana dengan karya
sastra itu sendiri ? Apakah kritik sastra itu juga nerupakan karya sastra?
Bicara kedudukan kritik sastra berarti bicara hubungan kritik sastra
dengan karya sastra. Bcara karya sastra berarti pula bicara tentang pencipta
dan penikmat, sastra yang sudah dicipta oleh seorang pengarang belum tentu
langsun dapat dinikmati oleh pembacanya, karena masih dipersoalkan apakah
pembacanya siap untuk membaca karya tersebut dengan modal pengetahuan dan
kepekaan estetis, atau kalau pembaca sudah mempunyai kesiapan namun masih juga
disangsikan apakah karya sastra yang baik. Dengan kata lain, bisa terjadi
jurang pemisah antara karya sastra dan penikmatnya. Persoalan ini bermula dari
kenyataan bahwa penikmatan bisa terjadi apabila sudah terdapat pengertian. Dan
pengertian dapat merupakan masalah apabila pandangan, alam pikiran, visi kepengarangan,
dan sikap pengarang jauh berbeda atau sama sekali asing bagi pembacanya. Di
samping itu, faktor bahasa yang digunakan pengarang juga dapat menjadi faktor
pelancar atau penghambat pemahaman atau pengertian. Bahasa yang sehari-hari
dikenal dengan struktur tertentu berubah wujud menjadi bahasa bersayap, bahasa
yang berbunga-bunga, yang dengan sendirinya sering menghasilkan makna yang
tidak sama dengan makna yang ditemui dalam komunikasi sehari-hari, atau mungkin
tidak punya pengertian sama sekali bagi pembacanya.
Timbulnya persoalan penikmatan dan pemahaman suatu karya menimbulkan pula
pertanyaan, tentang arti dan nilai karya tersebut. Tidak jarang pula terjadi
pro dan kontra terhadap seorang pengarang dan karya-karyanya, terutama terhadap
karya sastra terbaru yang dilihat sebagai penyimpangan dari apa yang dikenal
sebelumnya. Dalam dunia sastra kita, misalnya, kita kenal adanya semacam eksperimentasi
yang mengacu pada pemunculan suatu bentuk penciptaan yang dinilai aneh
oleh kebanyakan pembacanya. Eksperimentasi yang kita maksudkan dilakukan oleh
Sutarji dalam bidang puisi, Iwan Simatupang dalam bidang prosa, Rendra, Putu
Wijaya dan Arifin C. Noor dalam bidang drama. Kehadiran para pengarang tersebut
menimbulkan berbagai reaksi dari para pembaca, kritikus, eseis. Terjadi sikap
pro dan kontra di antara mereka. Yang pro menganggap bahwa karya-karya Sutarji,
Putu Wijaya dan lain-lainnya itu merupakan suatu pembaharuan. Bagi pihak yang
kontra, karya tersebut sebagai hasil permainan belaka, suatu karya dilakukan
dengan tidak sungguh-sungguh suatu karya yang tidak ada isinya. Puisi Sutarji
dianggap puisi yang bukan puisi, bahkan ada yang menganggap puisi sutarji
sebagai puisi membisu. Tidak kurang pula mereka yang tidak dapat
memahami makna puisi Sutarji justru memberi vonis sebagai karya yang kosong
tanpa isi.
Mengapa karya-karya Sutarji, Iwan Simatupang, Danarto, Rendra, Putu
Wijaya, dan Arifin C. Noor dianggap oleh para pembaca sulit dipahami ?
Paraptomo Baryadi dalam artikelnya Pemahaman Konvensi Sastra Membisu yang
termuat dalam harian Merdeka terbitan Kamis, 25 November 1982 mengemukakan
beberapa alasan, yaitu :
1.
Perbedaan idiom yang digunakan menyebabkan
karya-karya yang hadir pada dekade sekarang ini sulit dipahami. Dunia
perpuisian sekarang masih di bawah kunkungan kekuasaan pola puisi Chairil Anwar. Idiom yang
digunakan Chairil Anwar dan penyair berikutnya adalah kata dijadikan tonggak
dan materi utama untuk membangun puisi. Dengan begitu, dalam membuat puisi
diadakan pemilihan kata yang sesuai terlebih dahulu. Sutarji justru tidak
menggunakan kata sebagai idiom dalam puisi-puisinya. Sutarji justru ingin membebaskan
kata dari makna. Sehingga ada yang menyebut puisi Sutarji sebagai puisi anti
kata (antara lain Dani N. Toda). Demikian pula halnya dengan karya Iwan
Simatupang dan karya-karya Rendra. Novel Iwan Simatupang penuh dengan
kekacauan, plotnya kacau, tokoh tanpa nama, watak tokoh yang absurd, dan lain
sebagainya. Teater Rendra juga mendapat julukan tidak dimengerti, misalnya bib
bob bib bob menggunaka idiom yang sangat berlainan dengan teater
sebelumnya.
2.
Perbedaan realitas sosial yang diungkapkan.
Realitas sosial yang diungkap Sutarji adalah kondisi sosial yang telah mendem
atau muak dengan kata-kata, karena masyarakat sudah terlalu biasa mendengar
slogan-slogan kosong dalam kehidupan sehari-hari yang tidak sesuai dengan
kenyataan, tidak terbukti dalam tindakan. Karena itu Sutarji ingin
mengembalikan kata kepada mantra, walaupun sukar dipahami namun memiliki efek
magis. Kondisi sosial yang kacau yang diungkap Iwan Simatupang memberi pengaruh
terhadap kekacauan bentuk penyampaian.
3.
Pembaharuan biasanya tidak selalu langsung
diterima masyarakat. Setiap pembaharuan yang muncul tidak dapat terhindar dari
serangan dan kecaman. Novel Belenggu mengalami nasib serupa, bahkan puisi
Chairil Anwar mendapat ejekan dari penyair-penyair lain waktu awal
pemunculannya, yang akhirnya disanjung sebagai karya yang bermutu dan kemudian
diikuti oleh mereka yang sebelumnya mengecam.
Dari uraian di atas
dapat disimpulkan bahwa suatu karya sastra yang belum dimengerti atau susah
dipahami belum tentu tidak mengandung isi sama sekali, melainkandisebabkan oleh
idiom yang berbeda, realitas sosial yang ditampilkan juga berbeda, dan
munculnya munculnya pembaharuan tidak langsung diterima tetapi memerlukan waktu
dan proses.
4.
Selain ketiga faktor di atas, terdapat pula
faktor lain yang cukup penting pula sebagai penyebab ketidakpahaman, adalah
justru pembaca itu sendiri yang tidak berusaha memahami dengan sunguh-sungguh.
Hal ini mungkin disebabkan karena mereka sudah terbiasa menghadapi karya sastra
yang mudah dipahami.
Karya sastra demikian pula dengan karya seni lainnya, tidak hanya untuk
dimengerti, tetapi lebih dari itu harus dinikmati, dihayati dan diinterpretasi.
Seni dapat dimengerti bila kita tekuni, kita hayati, dan akhirnya kita
tafsirkan. Dengan upaya demikian kita tidak menjatuhkan vonis yang bukan-bukan
terhadap suatu karya seni, dikatakan tidak menampilkan masalah kemanusiaan,
kosong tanpa ini.
Setiap orang beri kesempatan memberikan penafsiran sendiri, karena pada
hakekatnya sastra adalah poliinterpretable. Tetapi suatu kenyataan yang
bisa tumbuh adalah interpretasi tersebut mempunyai graduasi yang berlainan. Ada
penafsiran yang lebih dekat, ada yang dekat, malah mungkin ada yang jauh dan
sangat jauh dari tafsiran yang dianggap bermutu.
Bagi seorang yang mempunyai kemauan untuk memahami suatu karya sastra,
berusaha mengungkap segala sesuatu yang terhubung di dalam karya sastra yang
dibacanya. Hasil jawaban itu tidak saja diperuntukkan bagi dirinya tetapi juga
untuk pembaca lain, walaupun akhirnya menimbulkan persetujuan atau pertentangan
pendapat terhadap hasil pemahaman karya yang sama. Karena pertanyaan yang
menggoda untuk dicarikan jawabannya menyangkut masalah makna, nilai, dan
hakekat sastra secara umum, maka setiap orang memberikan jawaban, berarti
mencari, menunjukkan, dan juga menentukan arti, makna dan hakekat. Usaha yang
demikian itu merupakan kritik sastra.
Dalam melacak sastra, atau katakanlah dalam melakukan kritik sastra,
seorang kritikus sastra dalam melakukan kritiknya melewati suatu proses
penghayatan keindahan yang serupa dengan proses yang dilakukan pengarang dalam
melahirkan karyanya. Perbedaan antara perbuatan mengeritik dan mengarang
terletak pada pangkal tolak dan titik ahirnya.
Proses penghayatan pengarang dalam menciptakan karyanya berpangkal atau
bersumber pada persepsi, baik persepsi alamiah faktual lewat daya indra dan
daya khayal, maupun persepsi khayal yang semata-mata menggerakkan daya
angan-angan. Kedua persepsi itu oleh pengarang dipadukan menjadi suatu
kenyataan baru yang bergerak di dalam batinnya yang kemudian mendorongnya untuk
mengungkap pengalaman batiniah itu dalam bentuk karya yang menggunakan bahasa
sebagai medianya. Proses penghayatan keindahan
seorang kritikus bermula dari pengamatan dan pencernaan jiwanya atas
suatu karya. Dalam penghayatan itu seorang kritikus juga dapat larut
persepsinya atas karya yang dihadapinya. Meskipun persepsinya juga tergantung
pula pada ketajaman angan-angan, penghayatan itu tidak lepas dari fakta yang
dihadapinya. Penghayatan keindahan, yang tidak lain adalah juga penghayatan
nilai tersebut, dapat dikatakan penghayatan atau pengalaman estetik . penghayatan estetik berarti penemuan nilai,
dan bagaimana penemuan nilai itu terjadi, dan mengapa penemuan nilai itu
terjadi tidak terlepas dari apa hakekat nilai sastra dan nilai karya sastra.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kritikus yang baik dalam
mencari, menunjukkan, dan menentukan nilai suatu karya sastra, dengan analisis maupun
perbandingan, secara teoritis tidaklah berbeda jauh dengan apa yang dilakukan
pengarang dalam melahirkan karyanya, sehingga sastra dan kritik sastra tidaklah
saling bertentangan. Oleh sebab itu kritik sastra dapat dianggap sebagai bentuk
sastra.
Tentang peranan dan fungsi kritik sastra dapat diketahui melalui pemahaman
tentang hakekat perbuatan penciptaan kritik sastra serta manfaatnyaaa bagi
pembaca dalam membantu memahami suatu karya sastra.
Seorang pengeritik dalam merenung dan menimbang tidak hanya berdialog
dengan dirinya sendiri. Dengan begitu dia tidak hanya bersikap kritis terhadap
karya sastra yang dibacanya atau yang sedang dipahaminya, tetapi juga bersikap
kritis terhadap dirinya sendiri, terhadap perasaan, selera, hati, dan
pengalamannya sendiri. Seorang kritikus tidak akan terbawa hanyut oleh
keterpukauannya terhadap apa yang sedang diniukmati dan dihayati atau terbius
oleh kesan-kesan dari pengalamannya membaca suatu karya sastra. Kalau dia
sempat terbius dan terbuai oleh kesan-kesan belaka, maka apa yang ditulis
bukanlah sebuah kritik melainkan rekaman kesan-kesan, atau laporan perjalanan
batin membaca suatu karya sastra. Seorang kritikus jelas tidak berhenti di
dalam keterbuaiannya dengan kesan-kesan itu, dia memiliki kemampuan rasional
berkat pengetahuan dan pengalaman batinnya yang telah diperkaya oleh banyaknya
jenis karya yang telah dibacanya dan ditelaahnya. Semakin banyak dia membaca
semakin kaya pula di dengan pengetahuan dan pengalaman batin, dan semakin tajam
pula pengamatannya serta kemampuannya memberi rasionalitas terhadap
kesimpulan-kesimpulan yang ditariknya dari apa yang dibacanya itu. Dengan
demikian dia dapat menerangkan hakekat sastra yang bersangkutan sebagaimana dia
dapat menangkap dan merasakannya.
Dalam melakukan misi kritiknya, seorang kritikus melakukan empat langkah :
1. Dengan sikap serba menanya melakukan
penjelajahan sambil melakukan penikmatan, kemudian membuat tafsiran-tafsiran
agar karya itu datang secara utuh dengan jalan melihat kedeluruhan karya itu
serta memadunya dengan pengalaman membaca karya yang lain.
2. Menempatkan diri dalam karya
sastra itu. Dalam hal ini mau tidak mau, diakui atau tidak, ia terpengaruh oleh
unsur-unsur yang melahirkan karyaa itu serta unsur-unsur tata nilai dimana
karya itu dilahirkan.
3.
Memberikan dasar-dasar penilaian
sebagai tolok ukur untuk menyatakan pendapat baik atau tidaknya karya tersebut,
dan untuk itu dengan sendirinya kepadanya dituntut untuk tahu syarat-syarat
suatu karya dapat dikatakan baik.
4.
Membuka diri terhadap nilai baru yang
muncul dari karya yang dibacanya. Hal ini tentu tergantung pada keterbukaan dan
kepekaan jiwa bersangkutan dan kemampuan karya itu memberi nilai bsru.
Melalui keempat
langkah itu , sebenarnya, seorang kritikus sastra bermaksud menunjukkan bahwa
dia telah menikmati dan memahami secara betul. Bila demikian halnya maka bila
seseorang membaca kritik sastra yang dibuatnya berarti dia telah terbantu dalam
menikmati dan memahami karya tersebut, bila disuatu waktu membaca karya yang
dimaksud.
Soalnya sekarang,
apakah perlu sdsnya kritikus sastra ? Atau mungkin ada orang lain bertanya
begini : Apasih perlunya kita membaca ulasan atau kritik sastra ? Yang penting toh kita harus membaca sendiri
kritik sastra yang banyak beredar di toko-toko buku : baca, nikmati, tafsirkan,
titik.
Memang benar, kalau
semua orang dapat membaca karya sastra dengan baik, dapat menafsirkan dengan
baik, dan dapat pula memahami dan menikmatinya dengan baik, tidak perlu adanya
kritik sastra. Kenyataan menunjukkan bahwa sering terdapat keluhan atau kecaman
bahwa karya si Anu tidak berisi, tidak mempunyai nilai sastra, bahkan dikatakan
karya itu sebagai karya yang membisu,
yang tidak membawa pesan apa-apa, hanya merupakan produk lamunan kosong.
Dalam kondisi
semacam inilah kritik sastra memiliki pesan sebagai jembatan penghubung antara
karya sastra dengan masyarakat penikmat karya sastra. Sumbangan pikiran dan
analisis pengeritik yang baik bisa menimbulkan minat yang menyala-nyala bagi
pembaca-pembaca lain untuk membaca karya tersebut. pengeritik dalam hal ini
dapat jadi pemandu pembaca dalam menikmati karya sastra. Di samping itu kritik
sastra dapat pula dijadikan alat pemandu bakat para penulis muda dan dapat mematangkan penulis-penulis yang telah
berkarya. Bahkan untuk pengarang, kritikus kritikus dapat menjadi propagandis
yang baik bagi karya-karya mereka. Dalam mengemban misinya, para kritikus
dituntut rasa tanggung jawab dan kejujuran, terutama kejujuram dalam
mengembangkan profesi dan kejujuran terhadap hati nurani sendiri.
Sebetulnya tanggung
jawab profesional seorang kritikus itu dituntut agar sesuai dengan keseluruhan
cara hidup, keadaan kita, dan sesuai pula dengan kebudayaan sendiri, serta
penyingkapan nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat tertentu, baik secara tersirat
maupun tersurat. Hal ini penting agar fungsi dan peran kritik sastra itu dapat
berakar dan tumbuh subur di tengah-tengah lingkungannya, dan dengan sendirinya
dapat memberi faedah yang besar, baik bagi sastrawan, penikmat sastra, maupun
bagi kriyikus itu sendiri.
Pada dasarnya,
kritikus sastra yang bertanggung jawab itu melakukan tiga peran sekaligus,
yaiyu :
1.
Menjalankan disiplin pribadinya
sebagai jawaban terhadap karya sastra tertentu. Dia berbeda dengan seorang
estetikus karena seorang kritikus adalah seorang yang terlatih kemampuannya
dalam memisahkan hal-hal yang sifatnya emosional dengan hal-hal yang rasional.
2.
Bertindak sebagai pendidik yang
berupaya membina dan mengembangkan kejiwaan suatu masyarakat, dia mengajak dan
membimbing pembaca menelusuri lorong-lorong astra. Mereka diberi pengarahan bila
ternyata kebingungan dalam mencari nilai moral sebagai pegangan, terutama bila
sudah tidak dapat lagi dijadikan pegangan sedangkan nilai dan tradisi baru
belum terbentuk.
3.
Bertindak sebagai hakim yang
bijaksana, yang dapat membangkitkan kesadaran serta menghidupkan suara hati
nurani, pembinaan akal budi, ketajaman pikiran , dan kehalusan cita rasa. Tugas-tugas
itulah yang harus dijalankan oleh para kritikus sastra.
Berdasar uraian panjang lebar mengenai kedudukan kritik sastra, tugas yang
dijalankan oleh pengeritik , serta pengertian kritik sastra, maka dapat
disimpulkan bahwa fungsi atau kegunaan kritik sastra itu adalah sebagai berikut
:
1.
Untuk Pembinaan dan Pengembangan Sastra.
Fungsi utama kritik sastra adalah memelihara dan menyelamatkan, serta
mengembangkan pengalaman manusiawi yang berwujud karya seni bernama sastra.
Kemudian, menjadikannya sebagai suatu proses perkembangan struktur yang
bermakna. Fungsi ini jauh lebih penting dari hanya membuat kategori-kategori
yang biasa dilakukan, meskipun kategori-kategori itu juga berfaedah.
Melalui kritik sastra, kritikus menunjukkan struktur karya sastra, memberi
penilaian, menunjukkan segi-segi kekuatan dan kelemahan yang terdapat dalam
suatu karya sastra serta memperlihatkan alternatif-alternatif lain yang
membangun suatu karya sastra.
2.
Untuk Pembinaan Kebudayaan dan Apresiasi Seni.
Kritik sastra berfungsi pula untuk membina tradisi kebudayaan, membentuk
suatu tempat berpijak cita rasa yang benar, melatih kesabaran, dan secara sadar
mengarahkan pembaca kepada pembinaan pengertian tentang makna dan nilai
kehidupan.
Para kritikus, melalui karya kritiknya, berupaya menunjukkan kepada
pembaca bahwa para sastrawan melalui karyanya berusaha membuat pembaharuan,
karya seni selalu berada dalam ketegangan antara yang lama dan yang baru,
antara konvensi dan inovasi. Di samping itu para kritikus juga menunjukkan daerah-d daerah gelap yang terdapat
dalam suatu karya sastra secara lebih baik dan lebih bermakna, yang akhirnya
dapat meningkatkan kemampuan apresiasi mereka ke tingkat yang lebih tinggi dari
sebelumnya. Hal itu dimungkinkan karena kritikus menganalisa struktur sastra,
memberi komentar dan interpretasi, menerangkan unsur-unsurnya , serta
menunjukkan hal-hal yang tersurat.
3.
Untuk Menunjang Ilmu Sastra
Kritik sastra berguna untuk pembinaan dan pengembangan ilmu sastra (teori
sastra). Kritik sastra merupakan wadah analisis karya sastra, analisis struktur
cerita, gaya bahasa, teknik penceritaan, dan sebagainya. Dengan demikian ia
memberi sumbangan kepada ahli sastra dalam mengembangkan teori sastra. Tentu
tidak dapat dipungkiri pula bahwa para ahli teori sastra memberi sumbangan pula
kepada kritikus sastra. Melalui kritik sastra, para kritikus juga membuka daerah baru yang belum dijelajahi oleh
pengarang. Dengan demikian kritik sastra secara nyata memberi sumbangan pula
dalam meningkatkan mutu karya sastrawan. Mereka
(para sastrawan) dapat belajar melalui kritik sastra untuk meningkatkan
kecakapannya, memperluas wawasan pandang dan daerah garapan. Dengan begitu,
karya sastra ciptaannya dapat lebih berkembang, baik, gya, maupun mutunya; dan
pada gilirannya juga akan mengembangkan dan meningkatkan mutu kritik sastra itu
sendiri. Bantuan kritik sastra tidak hanya terbatas pada pembinaan dan
pengembangan ilmu sastra, tetapi juga memberi sumbangan kepada sejarah sastra.
Dalam menyusun sejarah sastra tidak dapat dikesampingkan usaha untuk memberi
ciri sastra dan penilaian sastra. Tidak semua karya sastra dapat dimagukkan ke
dalam rangkaian perkembangan sastra bila tidak menunjukkan nilai sastra; sedang
aktivitas penilaian itu adalah aktivitas kritik sastra. Oleh sebab itu sejarah
sastra memerlukan bantuan kritik sastra.
Dari uraian di atas terlihat bahwa kritik sastra mempunyai kedudukan dan
funsi yang penting. Yang perlu dipersoalkan adalah apakah semua kritik sastra
mempunyai nilai yang sama dalam menjalankan fungsinya; atau dengan kata lain,
kritik sastra yang bagaimana yang dapat menjalankan fungsi-fungsi seperti tersebut
di atas ?
Memang tidak semua kritik sastra dapat menjalankan fungsi-fungsi tersebut.
kritik yang asal mengeritik tidak mempunyai nilai apa-apa bahkan mungkin justru
hasilnya bertolak belakang dari tugas dan fungsinya. Agar kritik sastra dapat
memenuhi dan menjalankan fungsinya secara baik dituntut beberapa persyaratan,
antara lain sebagai berikut :
1.
Kritikus dengan karyanya harus
berupaya membangun dan menaikkan taraf kehidupan sastra.
2.
Melakukan kritik secara objektif
tanpa prasangka, dan dengan jujur dapat mengatakan yang baik itu baik dan yang
kurang itu kurang.
3.
Mampu memperbaiki cara berpikir, cara
hidup, dan cara bekerja para sastrawan sebab hal itu memberi pengaruh terhadap
hasil karyanya.
4.
Dapat menyesuaikan diri dengan
lingkup kebudayaan dan tata nilai yang beraku, dan memiliki rasa cinta dan rasa
tanggung jawab yang mendalam terhadap pembinaan kebudayaan dan tata nilai yang
benar.
5.
Dapat membimbing pembaca berpikir
kritis dan dapat menaikkan kemampuan apresiasi masyarakat terhadap sastra.
D.
Pertanyaan Pemahaman
1.
Apa yang dimaksud dengan kritik
sastra ?
2.
Kapan kritik sastra mulai tumbuh dan
berkembang di Indonesia ?
3.
Apa yang dimaksud dengan kritik
sejarah, kritik rekreatif, dan kritik penghakiman ?
4.
Apa yang dimaksud dengan kritik
relatif dan kritik absolut ?
5.
Apa sebabnya karya-karya Sutarji,
Iwan Simatupang, Rendra, Putu Wijaya yang muncul belakangan ini dianggap
sebagai karya sastra yang membisu, yang tidak sampai kepada pembacanya ?
6.
Bagaimana upaya kita agar kita tidak
menjatuhkan vonis yang bukan-bukan terhadap suatu karya sastra ?
7.
Sebutkan langkah-langkah yang dilalui
kritikus dalam menjalankan kritiknya ?
8.
Bagaimana pendapat anda bila ada
orang yang beranggapan bahwa kritik
sastra itu tidak perlu, karena setiap orang diharapkan dapat langsung menikmatinya,
memahami, dan memberi interpretasi terhadap suatu karya sastra ?
9.
Apakah pesan dan tanggung jawab
kritikus yang baik ?
— SP42
—
Tidak ada komentar:
Posting Komentar