|
Wajah Macan Welang yang malang |
Blog Sita: "SASTRA NUSANTARA" - Selasa, 03 Febuari 2015 - 20:07 WIB -
ADIK-ADIK, sekarang Kak Sita mau
mendongeng tentang seekor harimau loreng atau macan welang yang sangat setia
dan loyal kepada tuannya sungguh perlu dicontoh dan diapresiasi menjadi teladan
bagi kita bangsa manusia.
Adik-adik
lokasi Kp. Pangarakan masih termasuk wilayah Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa
Barat.
Keadaan alamnya bisa dikatakan
indah dengan cuaca yang sejuk diapit oleh dua buah gunung yang sampai sekarang
masih mengandung banyak misteri, di sebelah barat terdapat Gunung Salak dan di
sebelah timur terdapat Gunung Gede atau Gunung Pangrango.
Dari sinilah dongeng ini Kak Sita mulai.
Adik- adik, selamat membaca!
Dahulu kala, konon di Kp.
Pangarakan tinggal sepasang suami istri yang bernama Kang Permana dan Teh
Permani yang pekerjaan sehari-harinya, untuk menghidupi keluarganya, hanya dari
bercocok tanam, berkebun, bertani dan menanam padi di sawah.
Kehidupan rumah tangga sepasang suami istri,
Kang Permana dan Teh Permani itu nampak cukup bahagia, tenteram dan damai, akan
tetapi mereka hingga kini belum juga dikaruniai seorang anak.
Tempat tinggal mereka berada di tepi kali
Sadane yang airnya begitu jernih, bening dan bersih. Oleh penduduk setempat
sungai itu digunakan untuk kegiatan sehari-hari seperti mencuci pakaian,
mencuci piring, mandi dan buang air besar, bahkan karena kejernihan, kebeningan
dan kebersihan air sungai Sadane itu, sebagian besar penduduk setempat
menggunakannya untuk minum.
Pada suatu hari Kang Permana,
hendak pergi membersihkan kebun jagung miliknya yang letaknya jauh di atas
bukit.
Menuju ke sana harus melewati
hutan kecil yang banyak ditumbuhi pohon-pohon bambu, naik-turun melalui jalan
setapak yang licin jika hujan mengguyur bukit itu.
Akan tetapi cuaca di pagi hari itu kebetulan
sangat cerah, sang Mentari pagi bersinar putih keperakan. Maka berkatalah Kang
Permana kepada istrinya:
“Istriku, kau jagalah baik-baik dirimu,
jangan sampai pergi jauh, akang mau ke kebun dulu melihat tanaman jagung,
mudah-mudahan sudah ada yang bisa dipanen?!”
“Ya, kang hati-hatilah di jalan!” demikian
jawab istri Kang Permana sambil menyerahkan perlengkapan berkebun seperti pacul,
sabit parang dan keranjang kecil yang
baru diambilnya dari belakang rumah.
Dengan membawa perlengkapan yang
dibutuhkan, berangkatlah Kang Permana ke ladang kebun jagungnya yang berada
jauh di atas bukit.
Dia terus melangkah
melewati jalan setapak di tengah-tengah hutan bambu yang daunnya begitu rindang
bergoyang-goyang berbunyi kemerisik, dan batangnya bersuara gruyat-gruyut
karena tiupan angin pagi di bukit Pangarakan
berhembus sangat kencang.
Sementara cahaya Sang Surya pagi yang menembus lewat celah-celah daun
bambu meskipun sedikit menyengat tak membuat Kang Permana merasa terhambat, dia
terus melangkah dengan penuh semangat menuju ladang kebun jagungnya yang berada
di atas bukit Pangarakan.
Dua jam sudah Kang Permana
berjalan, ladang kebun jagung yang dituju sudah nampak di depan mata, kurang
lebih 10 meter lagi di pengkolan jalan arah ke kanan.
Akan tetapi sungguh tak dinyana-nyana, persis
di pengkolan jalan bertugu batu, dia mendengar suara auman harimau seperti yang
sedang kesakitan, dan dari pengkolan jalan itu seekor anak harimau yang masih
kecil berlari-lari ketakutan.
Melihat
Kang Permana anak harimau itupun berlari menuju ke arah dirinya,
mengeos-ngeoskan badannya ke arah kaki Kang Permana.
Melihat anak harimau yang masih teramat
kecil, masih memerlukan susu induknya itu, dan terus mengeoskan badannya di
kaki Kang Permana, dia menjadi iba lalu digendongnya anak harimau itu seraya
berkata:
“Ada
apa anak macan, kenapa seperti yang ketakutan, di mana indukmu?” bertanya Kang Permana kepada anak harimau
sambil mengelus-elus kepala anak harimau kecil yang berbulu lembut dan nampak
lucu itu.
Mendengar
pertanyaan Kang Permana, anak harimau kecil
itu seperti mengerti, ia meronta-ronta sambil mengeong-ngeong,
suaranya seperti suara kucing, agaknya minta
dilepas dari gendongan Kang Permana. Kang Permana memahami keinginan anak
harimau, dia lalu membungkukkan badannya melepas kembali anak harimau yang pada
saat itu juga berlari-lari kecil menuju ke arah semula tempat tadi ia datang,
sambil sebentar-sebentar menolehkan
kepalanya ke arah Kang Permana.
Melihat tingkah laku anak harimau kecil itu, Kang Permana lalu
mengikutinya dari belakang sambil berkata sendiri dalam hati,
“Hm...
ada kejadian apakah di ladang kebun jagungku? Anak harimau kecil itu nampaknya
ketakutan sekali, dan seperti ingin memberitahukan bahwa ada peristiwa tertentu
yang membuatnya bertingkah laku seperti itu!”
Benar
saja, setiba di pengkolan arah ke kanan menuju ladang kebun jagung,
persis di bawah gerumbul pohon bambu yang
rimbun, ada ular sanca besar berkulit kembang-kembang berwarna hitam kekuningan
sedang melilit tubuh seekor harimau loreng yang nampak sudah tak berdaya dan
kepalanya sebagian sudah tertelan berada di mulut sang ular sanca besar yang
badannya sebesar batang pohon kelapa dengan panjang sekitar 15 meter itu.
Rupanya harimau loreng yang tewas dimangsa
ular sanca besar itu adalah induk dari anak harimau kecil yang tadi datang
minta pertolongan Kang Permana.
Mungkin
saja saudaranya yang lain sudah tewas ditelan lebih dulu dan hanya dia sendiri
yang selamat dari sergapan ular sanca besar itu.
Tak mau menanggung resiko bahaya yang akan
dihadapi jika melanjutkan perjalannya menuju ladang kebun jagung miliknya,
akhirnya Kang Permana berbalik arah untuk kembali ke pondoknya.
Baru sepuluh langkah berjalan, sontak dia
ingat akan anak harimau kecil yang tadi datang menghampirinya,
“Oya, lebih baik aku pelihara saja anak
harimau yang induknya sudah tewas dimakan ular sanca raksasa itu, kebetulan
hingga kini akupun belum mempunyai anak, dan sebaiknya aku ambil dan aku angkat
saja dia sebagai anakku sendiri, mudah-mudahan istriku di rumah juga akan
menyetujuinya.” Akhirnya Kang
Permana pun kembali berbalik ke tempat semula.
Ketika Kang Permana
berbalilik,
dia
melihat anak harimau kecil itu
berada di belakangnya, rupanya anak harimau kecil itu mengikuti terus
ke mana ia pergi.
Perasaan
iba dan rasa empati yang begitu besar terhadap nasib si anak harimau yang masih
kecil dan masih butuh perlindungan dan air susu dari induknya
itu, membuat Kang Permana begitu antusias dan
bersemangat, dia bertekad untuk menolong dan memelihara sang anak harimau itu.
Segera diapun menggendong anak harimau kecil itu dan dibawanya kembali pulang
ke pondoknya.
Dalam hatinya ia berharap
istrinya tidak marah dengan apa yang telah dilakukannya.
Segera diapun menggendong si anak harimau
lalu dimasukkan ke dalam keranjang bambu yang ada dipundaknya, dan selanjutnya
dengan teresa-gesa dia melangkahkan kakinya berjalan menuju pondoknya.
Sita Blog: "NINA BOBO": MACAN WELANG YANG MALANG Bag.1 Diceritakan Oleh ...: Sita Blog: "NINA BOBO" Macan Welang Jawa Barat Sita Blog: "NINA BOBO"- Selasa, 03 Febuari 2015 - 19:34 WIB - A...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar