Jumat, 13 November 2015

EMPAT EKSPRESI Karya : Ki Slamet 42


“MAKA AKU KIBAS SEGALA CARUT MARUT”
Karya : Ki Slamet 42

Nun jauh di atas bukit ada sepasang burung perkutut
Nengger mesra di atas ranting pohon yang kering akut
Di saat pagi hari nan cerah berselimut gumpalan kabut
Nampak saling berlolohan kepalanya manggut-manggut
Tak sadar sanca manuk menjalar siap santap memagut

Beruntung mujur masihlah limpahi sepasang perkutut
Sebab datang seekor elang rajawali layang menjemput
Cengkeram kencang tubuh sanca manuk hingga maut
Perkutut pun manggung rasa senang di wajah seraut
Ucap ribu-ribu terimakasih pada rajawali lepas puput

Sepasang kutilang bernyanyilah riang berkemat-kemut
Salam selamat pada sobat perkutut selepas dari maut
Mereka bersama senandungkan lagu tiada mau susut
Tentang gema persahabatan yang terus dijaga diurut
Dalam naung sang rajawali sakti tiada ada rasa takut

Maka, sang kutilang terbang bersama sang perkutut
Melintasi bukit nan kering berapi asap lahan gambut
Terasa jadikan negeri pun carut-marut kalang kabut
Tapi kembali sang rjawali datang menjemput sambut
Kepakkan sayapnya kibaskan carut di segala sudut

Bumi Pangarakan, Bogor
Sabtu, 14 November 2015 – 06:WIB


“SAAT ATMA GUNDAH GULANA”
Karya : Ki Slamet 42

Aku curah isi batin ini  saat merenung diri
Di  sisi tepi kali Bogowonto yang sunyi sepi
Saat merona sang Surya pagi  cerah berseri
Nan bercahaya kemilau sinari Dewi Pertiwi

Kusandarkan tubuh di batang pohon tinggi
Daun di ranting sonokeling  layang ke bumi
Aus terhembusi angin sepoi-sepoi  pagi hari
Menerpa wajah sumringah senanglah di hati

Pulpen hitam di lenganku terus menari-nari
Susun kata-kata jadikan kalimat penuh arti
Tentang kejadian alam yang terus bernyanyi
Senandungkan nada-nada indah makna asri

Riak air alir Bogowonto suarakan do sol mi
Ada  ular besar jalar di belukar pinggir kali
Lalu melingkar sebentar mata nanar dekati
Mulutnya mendesis ke arahku ba’ nasehati:

“Cucu, ada tujuan apa berada di tempat ini?
Sejak malam hingga pagi  tak beranjak pergi
Bermenung saja seorang diri di tempat sepi
Tiadakah cucu sadar bahaya selalu menanti?”

Mata nanar ular dan  desisnya yang ngegirisi
Buat jantung berdebar, mengetar-getar hati
Aku baca mantra sawer ular tenangkan diri
Sebab tahu dia Ki Bogowonto penguasa kali

“Maaf  mbah, tiada tuju apa-apa aku kemari
Lain ‘tuk curahan jiwani lewat tulisan puisi
Rekam geliat alam kampung halaman sendiri
Yang sudahlah lama sekali aku tinggal pergi”

 Rupa wadaklah ular penguasa kali  berganti
Seorang tua berkumis, berjenggot putih asli
Mengenakan pakaian tradisi  ethnik Jawani
Bersapa lemah lembut penuh rasa mengasihi

“Cucuku,  melihat dari wajah lekuk di dahi
Kau pasti keturunan seorang guru mengaji
Ki Martosedono yang dahulu di Luano sini
Jika begitu, terus bermesu diri lewat puisi!”

Begitulah pesan nasehat sang penguasa kali
Ki Bogowonto yang sebentarpun sirna pergi
Hilang secara gaib tiadalah ada nampak lagi
Kemudian kulanjutkan ungkap-curah jiwani

Pulpen di jemari kembali lincah menari-nari
Berkisah tentang peristiwa alam spritualiti
Yang hingga kini  masih ngiang di mata hati
Gambaran damainya alam bahagianya jiwani

Kp. Pangarakan, Bogor
Minggu, 08 November 2015 – 08:01 WIB







“KARNA PERLAYA”
Karya : Ki Slamet 42

Alkisah dalam lelakon perang Bharata-Yudha
Antara dua satria tampan sakti mandraguna
Dua saudara satu ibu  dari Dewi Kunti boja
Karna putera Dewa Surya dari Hastina pura
Melawan Arjuna  putera Indra  dari Amarta

Surya Putera bersais kereta  sang Raja Salya
Indra Putera bersais kereta sang Sri Kresna
Keduanya bagaikan rasuk-rasuk dewa Rudra
Indahlah hiasan pakaian yang dikenakkannya
Berbinar bersinar kemilau menyilaukan mata

Saat panah-panah sakti keduanya dilepaskan
Serasa langit dan bumi ‘ba dihancurleburkan
Sudah begitu lama berlangsung pertempuran
Tapi belum ada dari mereka yang terkalahkan
Karena mereka sama sakti tinggi kemampuan

Karna dengan panah saktinya mendatangkan
Angin taufan yang dahsyat amat mengerikan
Dari panahnya keluarlah api yang berkobaran
Pasukan Amarta banyak gugur terbinasakan
Melihat ini hati Arjuna marah bukan buatan

Seketika Arjuna pun keluarkan panah ampuh
Balas serangan agar pasukan kurawa lumpuh
Panah sakti Bramastra cepat mendesing riuh
Beribu-ribu anak panah  Arjuna melesat jauh
Bunuh banyak prajurit Hastina hancur luluh

Anak-anak panah Arjuna terus bergemuruh
Panah-panah api ditawur bisa banyak bunuh
Prajurit Kurawa,  hingga wyuha jadi lumpuh
Lihat ini sekelompok resi datang bersikukuh
‘Tuk meredam perang agar sejenak berlabuh

Maka kelompok resi itu pun berikan nasehat
Kepada kedua satria yang masihlah bersiasat
“Wahai, Karna dan Arjuna yang samalah kuat
Sama-sama sakti, digjaya, dan tinggi  derajat
Hentikanlah pertempuran ini barang selewat”

Demikianlah kata-kata nasehat sang para resi
Sambil menaburkan hujan bunga warna-warni
Karna dan Arjuna akhirnya jadilah menyadari
Keduanya hentikan perang menenangkan hati
Wijayadhanu dan Bramastra tiada berulah lagi

Sementara Raja Salya sais kereta perang Karna
Dan Raja Sri Kresna sais kereta perang Arjuna
Mereka berdua, salinglah mendekatkan kereta
Dengan cekatan  keduanya saling putar kereta
Dan,  kuda-kuda mereka saling bergigitan pula

Maka terjadilah gempa tanah bongkah terbelah
Kedua badan kereta perang saling bentur arah
Gunung-gunung bersuara gemuruh berserapah
Segara lautan mengamuk limpah-ruah tirta bah
Karena Karna dan Arjuna kembali lagi berulah

Pertempuran Karna dan Arjuna kacau jadinya
Dengan kemunculan seekor naga Ardhawalika
Yang ingin bantu sang Karna,  si Surya Putera
Karena dulu  pernah berselisih dengan Arjuna
Maka, ia pun masuklah ke kepala panah Karna

Sementara itu, Karna sang putera Dewa Surya
Sesungguhnya  tidaklah tahu jika  Ardhawalika
Masuk ke dalam panahnya, yang diarahakannya
Kepada tubuh sang Arjuna putera Dewa Indra
Pusatkan tepat pada titik sasaran leher Arjuna

Dengan segera sais kereta perangnya raja Salya
Menginngatkan Karna sang putera Dewa Surya
“Arah panah anda terlalu tinggi saudara Karna
Panah itu tidak akan tepat menuju sasarannya”
Demikianlah pesan kataraja Salya kepada Karna

Mendengar itu Karna tersenyum lalu menjawab:
“Akh, tidak mungkin, lihat aku akan menyergab
Lehernya akan kena panahku, mati terjerambab
Kendalikan saja kereta perang ini dengan sigap
Wahai Raja Salya,  janganlah berpikiran pengab!”

Maka, Karna pun segera melepas panah saktinya
Yang di dalamnya bersemayam naga Ardhawalika
Sri Kresna sais ulung kereta perang sang Arjuna
Sudahlah mewaspadai akan serangan maut Karna
Maka dengan serta merta, ia injak keras kereta

Kereta perang pun, terperosok ke dalam tanah
Kedua rodanya masuk sedalam lengan setengah
Kejadian itu lah selamatkan Arjuna yang lengah
Lehernya nyaris hampir putus tertembus panah
Untung, cuma mahkota kepala yang kena panah

Hati Arjuna  betapa sangatlah dipenuhi amarah
Dibiarkannya mahkota kepala berserak di tanah
Ia rapihkan lagi rambutnya yang tergerai kaprah
Dalam sekejap mata ia memegang kembali panah
Yang kekuatan saktinya sebagai panah pemunah

Sementara Karna tiada suka sapa Ardhawalika :
“Wahai Karna perkasa sang putera Dewa Surya!
Sekali lagi, cobalah bidik dengan tenang Arjuna
Lakukan dengan konsentrasi pada lehernya saja
Agar tuan tidaklah gagal lagi tuk membunuhnya”

Mendengar semua kata-kata naga  Ardhawalika
Surya putera justru sesorah dengan angkuhnya:
“Akh......sudahlah, kau pergi saja  Ardhawalika!
Sebenarnya, aku tidaklah perlu bantuanmu, naga
Lakukan saja niatmu untuk membunuh Arjuna!”

Ardhawalika seekor naga besar itu maju ke depan
Mulutnya menganga lebar sungguhlah menakutkan
Lidahnya yang panjang bercabang dijulur-julurkan
Racunnya berbentuk bola api menyala berkobaran
Berupaya mendekati  Arjuna  yang hendak ditelan

Arjuna mengetahui naga besar yang menyerangnya
Dia, Ardhawalika yang dulu pernah dikalahkannya
Yang datang ‘tuk balas dendam atas kekalahannya
Arjuna pun telah siap untuk hadapi Ardhawalika
Maka dipanahnya naga itu sehingga tewas perlaya

Setelah naga Ardhaliwalika tewas mati dipanahnya
Ajuna teruslah maju ke depan bersama Sri kresna
Yang kendalikan kereta perang begitulah mahirnya
Sri Kresna ingatkan Arjuna agar panah Bramastra
Segera lesatkan ke  arah sang Karna Surya putera

Hal itu oleh karena Karna lupalah bacaan mantra
Berulang baca mantra tetapi tetap salah dan lupa
Hingga panah saktinya  tak mau ada di tangannya
Ditambah kereta perang yang dikendali raja Salya
Serta merta telah hancur berikut ruji-ruji rodanya

Saat itulah panah sakti Arjuna Pasupati melesat
Menggeliatlah dengan cepat, mendesing dahsyat
Tembuslah mengenai leher Karna hingga sekarat
Maka gugurlah senapati Kurawa paling terkuat
Di atas kereta perangnya yang memang tersurat

Kp. Pangarakan, Bogor
Minggu, 05 November 2015 – 21:58 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar