“MAKA AKU KIBAS SEGALA CARUT
MARUT”
Karya : Ki Slamet 42
Nun
jauh di atas bukit ada sepasang burung perkutut
Nengger
mesra di atas ranting pohon yang kering akut
Di
saat pagi hari nan cerah berselimut gumpalan kabut
Nampak
saling berlolohan kepalanya manggut-manggut
Tak
sadar sanca manuk menjalar siap santap memagut
Beruntung
mujur masihlah limpahi sepasang perkutut
Sebab
datang seekor elang rajawali layang menjemput
Cengkeram
kencang tubuh sanca manuk hingga maut
Perkutut
pun manggung rasa senang di wajah seraut
Ucap
ribu-ribu terimakasih pada rajawali lepas puput
Sepasang
kutilang bernyanyilah riang berkemat-kemut
Salam
selamat pada sobat perkutut selepas dari maut
Mereka
bersama senandungkan lagu tiada mau susut
Tentang
gema persahabatan yang terus dijaga diurut
Dalam
naung sang rajawali sakti tiada ada rasa takut
Maka,
sang kutilang terbang bersama sang perkutut
Melintasi
bukit nan kering berapi asap lahan gambut
Terasa
jadikan negeri pun carut-marut kalang kabut
Tapi
kembali sang rjawali datang menjemput sambut
Kepakkan
sayapnya kibaskan carut di segala sudut
Bumi Pangarakan, Bogor
Sabtu, 14 November 2015 – 06:WIB
“SAAT ATMA GUNDAH GULANA”
Karya : Ki Slamet 42
Aku
curah isi batin ini saat merenung diri
Di
sisi tepi kali Bogowonto yang sunyi sepi
Saat
merona sang Surya pagi cerah berseri
Nan
bercahaya kemilau sinari Dewi Pertiwi
Kusandarkan
tubuh di batang pohon tinggi
Daun
di ranting sonokeling layang ke bumi
Aus
terhembusi angin sepoi-sepoi pagi hari
Menerpa
wajah sumringah senanglah di hati
Pulpen
hitam di lenganku terus menari-nari
Susun
kata-kata jadikan kalimat penuh arti
Tentang
kejadian alam yang terus bernyanyi
Senandungkan
nada-nada indah makna asri
Riak
air alir Bogowonto suarakan do sol mi
Ada
ular besar jalar di belukar pinggir kali
Lalu
melingkar sebentar mata nanar dekati
Mulutnya
mendesis ke arahku ba’ nasehati:
“Cucu, ada tujuan apa berada di tempat ini?
Sejak malam hingga pagi tak beranjak pergi
Bermenung saja seorang diri di tempat sepi
Tiadakah cucu sadar bahaya selalu menanti?”
Mata
nanar ular dan desisnya yang ngegirisi
Buat
jantung berdebar, mengetar-getar hati
Aku
baca mantra sawer ular tenangkan diri
Sebab
tahu dia Ki Bogowonto penguasa kali
“Maaf mbah,
tiada tuju apa-apa aku kemari
Lain ‘tuk curahan jiwani lewat tulisan puisi
Rekam geliat alam kampung halaman sendiri
Yang sudahlah lama sekali aku tinggal pergi”
Rupa wadaklah ular penguasa kali berganti
Seorang
tua berkumis, berjenggot putih asli
Mengenakan
pakaian tradisi ethnik Jawani
Bersapa
lemah lembut penuh rasa mengasihi
“Cucuku,
melihat dari wajah lekuk di dahi
Kau pasti keturunan seorang guru mengaji
Ki Martosedono yang dahulu di Luano sini
Jika begitu, terus bermesu diri lewat puisi!”
Begitulah
pesan nasehat sang penguasa kali
Ki
Bogowonto yang sebentarpun sirna pergi
Hilang
secara gaib tiadalah ada nampak lagi
Kemudian
kulanjutkan ungkap-curah jiwani
Pulpen
di jemari kembali lincah menari-nari
Berkisah
tentang peristiwa alam spritualiti
Yang
hingga kini masih ngiang di mata hati
Gambaran
damainya alam bahagianya jiwani
Kp. Pangarakan, Bogor
Minggu, 08 November 2015 – 08:01 WIB
“KARNA PERLAYA”
Karya
: Ki Slamet 42
Alkisah
dalam lelakon perang Bharata-Yudha
Antara
dua satria tampan sakti mandraguna
Dua
saudara satu ibu dari Dewi Kunti boja
Karna
putera Dewa Surya dari Hastina pura
Melawan
Arjuna putera Indra dari Amarta
Surya
Putera bersais kereta sang Raja Salya
Indra
Putera bersais kereta sang Sri Kresna
Keduanya
bagaikan rasuk-rasuk dewa Rudra
Indahlah
hiasan pakaian yang dikenakkannya
Berbinar
bersinar kemilau menyilaukan mata
Saat
panah-panah sakti keduanya dilepaskan
Serasa
langit dan bumi ‘ba dihancurleburkan
Sudah
begitu lama berlangsung pertempuran
Tapi
belum ada dari mereka yang terkalahkan
Karena
mereka sama sakti tinggi kemampuan
Karna
dengan panah saktinya mendatangkan
Angin
taufan yang dahsyat amat mengerikan
Dari
panahnya keluarlah api yang berkobaran
Pasukan
Amarta banyak gugur terbinasakan
Melihat
ini hati Arjuna marah bukan buatan
Seketika
Arjuna pun keluarkan panah ampuh
Balas
serangan agar pasukan kurawa lumpuh
Panah
sakti Bramastra cepat mendesing riuh
Beribu-ribu
anak panah Arjuna melesat jauh
Bunuh
banyak prajurit Hastina hancur luluh
Anak-anak
panah Arjuna terus bergemuruh
Panah-panah
api ditawur bisa banyak bunuh
Prajurit
Kurawa, hingga wyuha jadi lumpuh
Lihat
ini sekelompok resi datang bersikukuh
‘Tuk
meredam perang agar sejenak berlabuh
Maka
kelompok resi itu pun berikan nasehat
Kepada
kedua satria yang masihlah bersiasat
“Wahai, Karna dan Arjuna yang samalah kuat
Sama-sama sakti, digjaya, dan tinggi derajat
Hentikanlah pertempuran ini barang selewat”
Demikianlah
kata-kata nasehat sang para resi
Sambil
menaburkan hujan bunga warna-warni
Karna
dan Arjuna akhirnya jadilah menyadari
Keduanya
hentikan perang menenangkan hati
Wijayadhanu
dan Bramastra tiada berulah lagi
Sementara
Raja Salya sais kereta perang Karna
Dan
Raja Sri Kresna sais kereta perang Arjuna
Mereka
berdua, salinglah mendekatkan kereta
Dengan
cekatan keduanya saling putar kereta
Dan, kuda-kuda mereka saling bergigitan pula
Maka
terjadilah gempa tanah bongkah terbelah
Kedua
badan kereta perang saling bentur arah
Gunung-gunung
bersuara gemuruh berserapah
Segara
lautan mengamuk limpah-ruah tirta bah
Karena
Karna dan Arjuna kembali lagi berulah
Pertempuran
Karna dan Arjuna kacau jadinya
Dengan
kemunculan seekor naga Ardhawalika
Yang
ingin bantu sang Karna, si Surya Putera
Karena
dulu pernah berselisih dengan Arjuna
Maka,
ia pun masuklah ke kepala panah Karna
Sementara
itu, Karna sang putera Dewa Surya
Sesungguhnya tidaklah tahu jika Ardhawalika
Masuk
ke dalam panahnya, yang diarahakannya
Kepada
tubuh sang Arjuna putera Dewa Indra
Pusatkan
tepat pada titik sasaran leher Arjuna
Dengan
segera sais kereta perangnya raja Salya
Menginngatkan
Karna sang putera Dewa Surya
“Arah panah anda terlalu tinggi saudara Karna
Panah itu tidak akan tepat menuju sasarannya”
Demikianlah
pesan kataraja Salya kepada Karna
Mendengar
itu Karna tersenyum lalu menjawab:
“Akh, tidak mungkin, lihat aku akan menyergab
Lehernya akan kena panahku, mati terjerambab
Kendalikan saja kereta perang ini dengan
sigap
Wahai Raja Salya, janganlah berpikiran pengab!”
Maka,
Karna pun segera melepas panah saktinya
Yang
di dalamnya bersemayam naga Ardhawalika
Sri
Kresna sais ulung kereta perang sang Arjuna
Sudahlah
mewaspadai akan serangan maut Karna
Maka
dengan serta merta, ia injak keras kereta
Kereta
perang pun, terperosok ke dalam tanah
Kedua
rodanya masuk sedalam lengan setengah
Kejadian
itu lah selamatkan Arjuna yang lengah
Lehernya
nyaris hampir putus tertembus panah
Untung,
cuma mahkota kepala yang kena panah
Hati
Arjuna betapa sangatlah dipenuhi amarah
Dibiarkannya
mahkota kepala berserak di tanah
Ia
rapihkan lagi rambutnya yang tergerai kaprah
Dalam
sekejap mata ia memegang kembali panah
Yang
kekuatan saktinya sebagai panah pemunah
Sementara
Karna tiada suka sapa Ardhawalika :
“Wahai Karna perkasa sang putera Dewa Surya!
Sekali lagi, cobalah bidik dengan tenang
Arjuna
Lakukan dengan konsentrasi pada lehernya saja
Agar tuan tidaklah gagal lagi tuk
membunuhnya”
Mendengar
semua kata-kata naga Ardhawalika
Surya
putera justru sesorah dengan angkuhnya:
“Akh......sudahlah, kau pergi saja Ardhawalika!
Sebenarnya, aku tidaklah perlu bantuanmu,
naga
Lakukan saja niatmu untuk membunuh Arjuna!”
Ardhawalika
seekor naga besar itu maju ke depan
Mulutnya
menganga lebar sungguhlah menakutkan
Lidahnya
yang panjang bercabang dijulur-julurkan
Racunnya
berbentuk bola api menyala berkobaran
Berupaya
mendekati Arjuna yang hendak ditelan
Arjuna
mengetahui naga besar yang menyerangnya
Dia,
Ardhawalika yang dulu pernah dikalahkannya
Yang
datang ‘tuk balas dendam atas kekalahannya
Arjuna
pun telah siap untuk hadapi Ardhawalika
Maka
dipanahnya naga itu sehingga tewas perlaya
Setelah
naga Ardhaliwalika tewas mati dipanahnya
Ajuna
teruslah maju ke depan bersama Sri kresna
Yang
kendalikan kereta perang begitulah mahirnya
Sri
Kresna ingatkan Arjuna agar panah Bramastra
Segera
lesatkan ke arah sang Karna Surya putera
Hal
itu oleh karena Karna lupalah bacaan mantra
Berulang
baca mantra tetapi tetap salah dan lupa
Hingga
panah saktinya tak mau ada di tangannya
Ditambah
kereta perang yang dikendali raja Salya
Serta
merta telah hancur berikut ruji-ruji rodanya
Saat
itulah panah sakti Arjuna Pasupati melesat
Menggeliatlah
dengan cepat, mendesing dahsyat
Tembuslah
mengenai leher Karna hingga sekarat
Maka
gugurlah senapati Kurawa paling terkuat
Di
atas kereta perangnya yang memang tersurat
Kp. Pangarakan, Bogor
Minggu, 05 November 2015 – 21:58 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar