Sabtu, 22 Februari 2020

ARJUNA DALAM EPOS MAHABHARATA 1 By Sri Guritno - Purnomo Soimun HP

Blog Sita : "Sastra Nusantara"
Minggu, 23 Febuari 2020 - 08.02 WIB 

Buku "Karakter Tokoh Pewayangan Mahabharata

A.           SILSILAH
        PANDDHU ᗔ     
     KUNTHI
          ᗕ - - - - - - - - BATHARA INDRA
        Drupadi
       ᗕ Arjuna ᗔ
        Subadra
         Ulupi
        Larasati
        Srikandi
J      Jimambang
        Pratiwidya
       Abimanyu
         Irawan
        Sumitra
        Kumala Dewa
       Kumala Sakti













B.           DESKRIPSI CERITA
Sebagaimana kelahiran Puntadewa dan Bima melalui mantra Adityahredaya, lahirnya Arjuna pun  melalui mantra tersebut. ketika Pandu menginginkan seorang anak yang sakti tanpa ada yang menandingi dan berbudi luhur, ia lalu meminta petunjuk kepada para Brahmana. Atas petunjuk para Brahmana, Pandu disarankan Bersamadi  untuk memohon kepada Bathara Indra, yang dalam duni pewayangan dikenal sebagai rajanya para dewa. Adapun caranya, setiap hari – sejak matahari mulai merekah dari arah timur sampai matahari tenggelam ke arah barat – Pandu harus berdiri dengan sebelah kaki, sedang kaki yang satunya harus digantung. Di samping itu, setiap malam tiba Pandu harus memusatkan samadinya untuk memohon kepada Bathara Indra sampai Sang Bathara itu mendatanginya.
Walaupun jalan yang harus ditempuh oleh Pandu terasa sangat berat, akan tetapi karena adanya dorongan yang sangat kuat untuk mewujudkan keinginannya tu, maka semua petunjuk para Brahmana tersebut tetap dilaksanakan dengan penuh kesabaran. Ementara itu Bathara Indra yang sebenarnya sudah mengetahui keinginan Pandu, hatinya merasa iba karena melihat betapa bersungguh-sungguhnya Pandu, hatinya merasa iba karena melihat betapa bersunguh-sunguhnya Pandu dalam bersamadi. Oleh karena itu, Bathara Indra mendatangi Pandu sambil bersabda,
“Hai Pandu! Saya sudah mengetahui apa yang menjadi keinginanmu. Ketahuilah, bahwa permintaanmu akan saya kabukan”. Setelah bersabda demikian, Sang Bathara Indra lalu menghilang dari pandangan mata.
Hilangnya Bathara indra ini diikuti dengan badarnya Pandu dalam melaksakan samadinya. Ketika itu, ia sempat tertegun dengan peristiwa yang baru saja dialaminya. Namun ia segera sadar lalu memanggilpermaisurinya Dewi Kunthi. Selanjutnya Pandu bersabda,
“Wahai Dinda! Ketahuilah keinginan saya untuk mendapatkan serang putera yang sakti tanpa ada yang menandingi, berbudi luhur dan pandai menggunakan segala macam senjata akan segera dapat terwujud, karena Bathara Indra telah memberi ilham ketika sya sedang bersamadi. Oleh karena itu, segeralah Dinda mendatangkan Batara Indra dengan kekuasaan mantra Adityahredaya”. Mendengar perintah suaminya itu, Dewi Kunthi menjawab, “Baik Kanda, perintah paduka akan hamba laksanakan”.
Dewi Kunthi segera mohon diri dari hadapan suaminya, ia segera mohon diri dari hadapan suaminya, menyiapkan sesaji sebagai syarat untuk membaca mantra Adiyahredaya. Setelah semuanya tersaji, Dewi Kunthi lalu membaca mantra sambil berkonsentrasi penuh kepada Bathara Indra. Tanpa diketahui dari arah mana datangnya. Tiba-tiba Bathara Indra telah berada di hadapan Sang Dewi. Tanpa basa-basi lagi Sang Bathra menyatukan rasa dengan Dewi Kunthi sehingga menjadi hamil. Sang Dewi lalu melahirkan serang bayi laki-laki yang diberi nama Arjuna. 1*)
Bersamaan dengan lahirnya Arjuna, di udara terdengar suara dari langit yang keras dan menggema,
“Hai Kunthi, ketahuilah! Putramu yang baru lahir itu kelak mempunyai kesaktian yang sama denganPrabu Kertawijaya, keperwiraannya sama dengan Bathara Siwa. Jika berperang tidak dapat dkalahkan lawan seperti Bathara Indra. Ya putramu inilahnantinya dapat membuat rasa senang keluarganya dan selalu membuat senang hatimu. Sebagaimana dengan putrinya Dewi Aditiyang bungsu yaitu Bathara Wisnu. Putramu itu nantinya juga dapat menaklukkan berbagai bangsa, seperti bansa Somaka, bangsa Cedhi, dan bangsa Kasi.  Ya, putramu ini pulalah yang nantinya akan memberi bantuan Batara Agni dalam menumpas alas Kandhawa”.
“Hai Kunthi, ketahuilah! Kesaktian putramu itu nantinya sama dengan Bathara Wisnu, seimbang dengan putranya Resi Jamadagni yang bernama Ramaparasu. Ya, hanya putramu itulah yang nantinya mampu menandingi Bathara Sangkara, sehingga membuat Sang Bathara merasa gembira. Untuk mengungkapkan rasa kegembiraannya itu maka putramu akan diberi anugerah senjata “Pasopati”. Bathara Indra pun juga akan meminta bantuan kepada putramu untuk membunuh Nitakawaca”.
Mengumandangnya suara tersebut telah menembus ke seluruh penjuru wilayah Gunung Saptarengga (tempat bertapanya Pandhu), sehingga semua makhluk hidup yang ada di sana dapat mendengarnya dengan jelas. Konon, para Brahmana, para pendeta, para pertapa di wilayah tersebut lalu mendatangi padepokannya Pandhu
Untuk memberi anugerah bayi yang baru saja dilahirkan oleh Dewi Kunthi itu. Selain itu, tujuh maharsi yang namanya sudah kesohor, seperti Bharatwaja, Kasyapa. Wiswamitra, Botama, Jamadagni, Wasista, dan atri juga ikut datang untuk mendoakan. Bahkan, para dewa ataau apsara, widadara, rajanya naga, rajanya garuda, dan lain sebagainya juga turut berdatangan ke padepokannya Pandhu guna memberi selamat atas kelahiran putranya.
Di gunung Saptarengga, Arjuna beserta saudara-saudaranya (Pandhawa) sempat mendapat didikan ayahnya dengan berbaga pengetahuan, setelah akhirnya ayahnya itu meninggal karena kutukan Resi Kimindama(baca cerita Pandhu papa), ketika mereka masih berusiaanak-anak. Dengan meninggalnya Pandhu, maka Maharsi Wiyasa (ayah Pandhu) lalu memboyong Dewi Kunthi, Arjuna dan saudara-saudaranya ke padepokan Ngerawu.
Namun, tidak lama kemudian – atas inisiatif Widura (adik Pandhu) – Dewi Kunthi dan putra-putrinya itu diboyong lagi ke kasatrian Astinapura. Hal ini karena Pandhu putra tersebut nantinya harus menggantikan kedudukan ayahnya sebagai raja di Astinapura, yang waktu itu diwakilkan kepada Drestarastra (kakak Pandhu). Untuk itu Widura merasa berkewajiban mendidik keponakan-keponakannya itu. Dengan direstui oleh Resi Wara Bhisma, maka mulai saat itulah Widura mendidik keponakan-keponakannya dengan berbagai pengetahuan tentang kenegaraan, pengetahuan tentang agama. Dan kewajiban-kewajiban seorang ksatria dalam menjalani hidupnya. Ketika Resi Wara Bhisma yang telah mendapat anugerah dari dewa itu memperhatikan cucu-cucunya (Pandhawa) satu persatu, ia dapat mengenali dengan jelas bahwa cucu-cucunya itu merupakan “titah” kesayangan para dewa. Sang Arjuna, sangat diharapkan oleh Bisma agar nantinya dapat menjadi seorang prajurit yang sakti dan dapat menjadi “lelakinya” para senopati di medan pertempuran.
_________________________________
1*)  Arjuna  mempunyai banyak nama lain. Menurut pedalangan nama-nama itu di antaranya:Pritaputra, Janaka, Permadi, Dananjaya, Kumbalyali, Ciptaning, Mintaraga, Pandisiwi, Indranaya, Jahnawi Palguna, Damaswara, dan Margana ( Sudibyoprono. Rio, tt: 36). Sedangkan menurut Bhagavadgita, di antaranya : Anagha. Bharatashabha, Bharatassama, Bharatasreshtha, Dananjaya. Gudkesa. Kuntiputra. Kurunandana. Kuruprawira. Mahabahu, Pandawa, Parantapa, dan Parta ( Pendit. Nyoman S., 1991; XXXVI ) 
 
C.           ARJUNA BERGURU KEPADA DRONA
Sebagai titah kesayangan para dewa, Arjuna dan keempat saudaranya tidak mendapatkan kesulitan yang berarti dalam menerima ajaran-ajaran yang diberikan oleh pamannya (Widura), sehingga mereka tumbuh menjadi kesatria-kesatria yang pandai dan berbudi luhur. Para Pandhawa itu sering kali juga memanfatkan waktunya untuk bermain-main dengan saudara-saudara tuanya, yaitu Kurawa.
Pada suatu hari, Pandhawa dan Kurawa tengah bermain bola di pinggiran kota Astina. Ketika mereka sedang asyik-asyiknya bermain, tiba-tiba bola dan cincin sulung Pandhawa (Yudistira) jatuh ke dalam sumur yang sangat dalam sehingga tidak dapat mengambilnya. Para Pandhawa dan Kurawa hanya berkumpul kebingungan di sekitar sumur itu sembari memandang bola dan cincin yang tampak bersinar dari dalamnya sumur itu.
Di tengah-tengah kebingungan mereka, tiba-tiba muncullah seorang resi berkulit hitam, memandang para Pandhawa dan Kurawa dengan tersenyum. Setelah sang Resi itu memperhatikan mereka dengan seksama dan mengetahui duduk permasalahannya maka berkatalah ia,
“Hai, para taruna! Kalian semuanya kan para kesatria, tetapi menghadapi pekerjaan yang mudah saja tidak mampu menyelesaikan? Lalu apa yang nantinya yang akan kalian andalkan untuk melindungi rakyat kecil dan para pertapa?”
Mendengar teguran yang bernada setengah mengejek itu, mereka tidak memberi tanggapan tetapi justru saling pandang-memandang dengan persaan malu. Ketika itu, sang Resi lalu melanjutkan perkataannya,
“Coba menyingkirlah kalian semuanya, saya akan mengambil bola dan cincin dari dalam sumur itu.”
Setelah berkata demikian, sang Resi lalu mengumpulkan rumput-rumput dan menganyamnya menjadi “sorong” diikat dengan tali rumput lalu dimasukkan ke dalam sumur untuk menimba bla yang nampak mengapung. Setelah tali ditarik, bola yang ada di dalam sumur itu tiba-tiba telah berada di tangan sang Resi.
Menyaksikan cara sang Resi dalam mengambil bola tersebut, para Kurawa bersorak-sorai kegirangan. Tidak lama kemudian, sang Resi bersabda,
“Hai, para satria muda! Perbuatan yang baru saja kalian saksikan itu disebut perbuatan dengan menggunakan akal budi. Di samping itu, ada lagi yang disebut kesaktian. Pengaruh kesaktian ini dapat menimbulkan kekuatan yang tidak dapat diterima oleh akal budi. Coba kalian perhatikan panah yang saya pegang ini. panah ini namanya Rodhadhedhali yang terlepas dari busurnya melesat bagaikan kilat menyambar-nyambar di udara. Namun pada akhirnya panah itu meluncur ke dalam sumur, mengambil cincin Yudistira dari dasar sumur itu lalu menyerahkannya kepada sang Resi.
Begitu menyaksikan peristiwa yang dilihatnya itu, para Kurawa menjadi semakin takjub. Mereka bertepuk tangan dan bersorak-sorak kegirangan itu terdapat seorang bocah tampan yang tidak ikut bergembira seperti teman-temannya. Ia justru menjauh dengan wajah muram menampakkan rasa kesedihan. Sang Resi yang sejak awal memperhatikan gerak-gerik bocah itu lalu menghampirinya sambil bertanya,
“Hai, bocah tampan! Mengapa kamu tidak ikut bergembira seperti teman-temanmu yang lain?”
“Bagaimana saya dapat ikut bergembira melihat kepandaian orang lain yang menakjubkan, padahal saya sendiri tidak mampu melakukannya!”, jawab bocah itu.
“E... e... e...! tajam sekali perasaanmu, nak! Coba katakan, siapa namu bocah tampan?”  tanya sang Resi.
Anak itu menjawab, “Nama saya Arjuna alias Pamadya! Maaf, jika tidak keberatan izinkanlah saya bertanya! Apakah mungkin saya dapat mempunyai kepandaian dan kesaktian seperti sang Resi?”
“Pertanyaanmu itu sangat aneh! Apabila kamu mau mempelajarinya dengan tekun, mengapa tidak bisa? Sebab semua kepandaian dan kesaktian itu bisa dimiliki, ya harus diusahakan dengan belajar dan berlatih secara sungguh-sungguh. Jika semuanya itu dapat kamu lakukan dengan baik, mungkin justru dapat melebihi kepandaiaku.” jawab sang Resi.

“Jika demikian, izinkanlah saya berguru kepada paduka, semoga paduka berkenan menerimanya.  O... iya, jika tak keberatan saya juga ingin bertanya, paduka ini siapa dan dari mana asalnya?”
“ Nama saya Resi Kumbayana alias Drona. Tempat tinggal saya di Padepokan Sokalima. Jika memang besar keinginanmu dan mantap tekadmu, saya tidak merasa keberatan menjadi gurumu,”  Jawab Resi Drona.
Permintaan Arjuna menjadi murid Drona tersebut ternyata juga diikuti oleh keempat saudaranya, bahkan para Kurawa di bawah pimpinan Duryudana pun juga ikut-ikutan ingin berguru kepada Drona. Mendengar permintaan para Pandhawa dan Kurawa itu, Resi Drona hanya menangguk-angguk sambil berkata-kata,
“Ya..., ya...jika kalian semua ingin berguru kepadaku, saya tidak keberatan. Sekarang kalian semua pulanglah dan mintalah izin kepada orang tua kalian. Jika memang diizinkan, datanglah ke padepokanku, tempat tinggalku juga pantas untuk berguru para kesatria.”
Konon para Pandhawa dan Kurawa lalu pulang untuk meminta izin kepada orang tua mereka. Setelah mendapat izin, mereka bersama-sama datang ke padepokan Sokalima. Sampai di tempat tujuan, mereka disambut oleh Resi Drona dengan ramah. Mulai saat itulah Pandhawa dan Kurawa menjadi murid Resi Drona. Namun sebelum mereka mendapat pelajaran dari sang guru. Resi Drona ingin mengetahui kecerdasan para calon murid-muridnya. Untuk itu sang Resi Drona bertanya kepada mereka,
“Wahai para siswaku kesatria muda Pandhawa dan Kurawa! Apakah kalian semua mengerti penghormatan apa yang pantas diberikan oleh seorang murid terhadap gurunya? Coba kalian renungkan sejenak sebelum menjawab pertanyaanku ini”.
Para Kurawa yang kurang memperhatikan pertanyaan sang guru, segera menjawab pertanyaan itu dengan jawaban bermacam-macam. Mereka yakin akan kebenaran jawabannya bahwa penghormatan murid terhadap seorang guru itu harus mencukupi kebutuhannya sehari-hari. Namun seberapa banyak/sedikitnya kebutuhan itu jelas sudah ditentukan. Oleh karena itu, mereka hanya saling pandang memandang tidak segera memberi jawaban.
Sebaliknya, para Pandhawa pun masih merenungkan pertanyaan gurunya itu. Setelah lama tidak ada yang memberi jawaban, Arjuna memberanikan diri menjawab,
“Penghormatan seorang murid terhadap gurunya, itu hanya besarnya tekad, melaksanakan semua ajaran dan perintahnya serta menjauhi larangan-larangannya.” Jawab Arjuna.
Begitu mendengar jawaban Arjuna, Resi Drona merasa lega sambil tersenyum mengangguk-angguk, sedangkan Kurawa yang menyaksikan sikap gurunya itu hanya terbengong sembari saling berpandangan. Sungguhpun demikian, mereka semua tetap diterima sebagai murid Resi Drona dengan tidak ada perbedaan, mereka diperlakukan sama. Adapun pelajaran yang diberikan sang guru kepada murid-muridnya lebih diutamakan pada masalah keprajuritan, seperti ketrampilan menggunakan berbagai macam senjata, tipu muslihat perang, merusak barisan musuh, dan sebagainya. Resi Drona memang menguasai semua pengetahuan tentang keprajuritan sehingga mendapat julukan prajurit maharata yang ulung, artinya bahwa ia seorang prajurit yang dapat memimpin barisan kereta kuda, barisan gajah maupun daratan. Ketrampilannya menggunakan senjata kadewatan dan keberaniannya memimpin barisan perang tidak berbeda dengan kemampuan Resi Bisma dan Prabu Drupada, karena mereka memang sama-sama guru, yaitu Maharsi Ramaparasu.
Tidak diceritakan sampai berapa bulan atau berapa tahun lamanya para kesatria Pandhawa dan Kurawa berguru kepada Rsi Drona, tahu-tahu sang guru telah merasacukup memberi pelajaran kepada murid-muridnya. Untuk menambah rasa kedekatan antara guru dan murid, Resi Drona lalu memerintahkan punakawannya untuk menyiapkan hidangan makan malam. Ketika guru dan murid-muridnya sedang bersantap malam, hembusan angin yang keras tiba-tiba memadamkan pelita yang meneranginya sehingga memaksa mereka bersantap dalam kegelapan. Namun kejadian itu telah memberi inspirasi Arjuna untuk berlatih memanah dalam kegelapan. Sejak saat itulah Arjuna berlatih memanah pada malam hari. Oleh karena kemauannya yang besar, maka pada akhirnya Arjuna menjadi seorang murid yang ahli dalam seni memanah, meskipun keadaan di sekitarnya gelap gulita. Hal ini membuat Resi Drona merasa bangga sehingga dirangkullah muridnya itu seraya berkata,
“Arjuna, aku berjanji kepadamu bahwa tidak adaseorang pun di dunia ini yang mampu menandingi keahlianmu sebagai seorang pemanah!”
Pada suatu hari, murid-murid Resi Drona, atas izinnya melakukan perburuan binatang di hutan dengan disertai seekor anjing. Dalam perburuan itu, anjing tersebut tersesat sampai jauh ke dalam hutan yang lebat tempat Ekalaya – seorang pangeran dari Nisida – sedang mengembara. Begitu mencium bau Ekalaya, anjing itu menyalak-nyalak keras sekali. Namun dengan sigapnya Ekalaya segera merentangkan busurnya, kemudian melepaskan tujuh anak panah sekaligus ke arah datangnya suara. Walaupun anjing itu terlihat, tetapi tujuh anak panah yang menerobos kegelapan itu mengenai moncong anjing tersebut sehingga terhentilah suara salakan anjing itu. Ketika anjing itu kembalikepada tuannya, Arjuna merasa terkejut melihat moncong anjingnya tersumbat oleh tujuh anak panah. Oleh karena itu, ia segera mencari pemilik anak panah yang telah menyengsarakan anjingnya.
Dalam pencarian itu, Arjuna bertemu dengan Ekalaya. Maka bertanyalah Arjuna kepada Ekalaya,
“Siapakah nama tuan? apakah tujuh anak panah yang menancap di moncong anjing saya itu milik tuan?” tanya Arjuna.
“Nama saya Ekalaya dari Nisida dan tujuh anak panah yang menancap di moncong itu memang milik saya.” Jawab Ekalaya.
“Lalu dari manakah tuan belajar memanah?” tanya Arjuna lagi dengan rasa kagum.
“Guru saya bernama Resi Kumbayana alias Drona dari Sokalima.” Jawab Ekalaya.
Setelah mereka berbincang-bincang, keduanya bersepakat untuk mengadakan pertandingan memanah. Namun Arjuna ternyata tidak dapat mengimbangi kepiawaian memanah Ekalaya sehingga harus mengakui kekalahannya.
Menurut jalan ceritanya, Arjuna lalu menemui gurunya dan berkata bahwaRsi Drona dalam mengajarkan ilmu memanahnya tidak sepenuh hati dan pilih kasih. Padahal Resi Drona pernah berjanji bahwa dirinyalah yang akan menjadi pemanah terpandai di dunia. Mendengar tuduhan muridnya semacam itu, Resi Drona terpaku keheranan, walaupun sebenarnya semua ilmu memanahnya telah diturunkan kepada Arjuna. Sungguhpun demikian, Arjuna tetap menuduhnya dengan bukti yang tidak dapat disanggah lagi oleh gurunya.
Akhirnya Resi Drona lalu membimbing Arjuna kembali ke hutan untuk menemui Ekalaya. Begitu melihat kedatangan sang Resi yang selama ini dianggap sebagai gurunya, Ekalaya menyambutnya dengan sujud di kaki Resi Drona seraya bersimpuh di tanah.
Dalam pertemuan antara guru dan murid itu, Resi Drona akhirnya meminta Ekalaya menunjukkan kesetiaannya dengan bukti-bukti yang nyata. Maka berkatalah Ekalaya kepada Resi Drona,
“Katakanlah, apa permintaan guru kepada hamba ini? tiada daksina di dunia yang takkan hamba berikan kepada guru yang terhormat.” Jawab Ekalaya meyakinkan gurunya.
“Baik, kalau begitu berikan kepadaku ibu jari tangankananmu!” kata Resi Drona.
Tanpa merasa ragu sedikit pun dan dengan senang hati Ekalaya memotong ibu jari tangan kanannya, kemudian menyerahkannya kepada Resi Drona. Setelah kehilangan ibu jari tangan kanannya, ketrampilan memanah Ekalaya sudah tidak seperti dahulu lagi sehingga Arjuna sudah tidak merasa iri hati lagi.
Pada suatu hari Resi Drona mengumpulkan semua murid-muridnya. Setelah semuanya berkumpul, sang Resi Drona berkata,
“Hai para siswaku semuanya! Kalian sudah saya didik berbagai pengetahuan berperang dan menggunakan berbagai jenis senjata, sehingga apabila sewaktu-waktu diminta menjadi senapati perang tidak akan mengecewakan. Selain itu, masalah yang berkait dengan tata cara memimpin kerajaan, menegakkan keadilan, dan mengasuh rakyat kecil juga sudah saya ajarkan kepada kalian semuanya. Kini sudah tiba saatnya saya harus mengetahui hasil pelajaran yang sudah kaian peroleh. Oleh sebab itu, tunjukkanlah rasa baktimu terhadap guru. Musuhku yang sangat sombong dan senang mempermalukan orang lain tanpa dosa, yakni Prabu Drupada Pancalaradya dan pengikutnya tangkaplah dan bawalah ke hadapanku, tetapi sekali-kali jangan kalian bunuh.”
Alkisah Resi Drona memerintahkan Duryudana dan Karna untuk menangkap Drupada hidup-hidup. Akan tetapi, mereka gagal melaksanakan tugas gurunya. Selanjutnya, Resi Drona mengirim Pandhawa dengan misi yang sama. Pertempuran antara pasukan Pandhawa dengan pasukan Drupadaberlangsung sangat seru. Namun pada akhrnya pasukan Drupada dapat dikalahkan, sedangkan Drupada sendiri dapat ditangkap hidup-hidup oleh Arjuna, kemudian diserahkan kepada guru Drona.
Konon, setelah para Pandhawa berhasil melaksanakan tugas gurunya dengan baik dan telah dinyatakan selesai dalam berguru mereka bersama-sama dengan para Kurawa kembali ke Astina. Mereka datang ke Sokalima hanya kadang kala. Sungguhpun demikian, Resi Drona tetap dapat memahami sifat-sifat dan kebiasaan yang dilakukan oleh para muridnya, sehingga dibenaknya muncul pemikiran untuk memberikan kasih sayang sesuai dengan kesungguhan dalam berguru dan jasa mereka masing-masing.
Arjuna, pengah Pandhawa dipandangnya sebagai murid yang berbakti dan sangat setia kepada gurunya. Arjuna juga dipandang sangat perhatian terhadap setiap ilmu yang diberikan kepadanya. Oleh karena itu, Resi Drona menganggapnya sebagai murid yang memiliki kelebihan jika dibandingkan dengan murid-murid yang lainnya. perhatiannya terhadap semua ilmu didasarkan atas rasa cinta sehingga setiap ilmu yang diajarkan oleh Resi Drona betul-betul dapat dikuasai.
Pada waktu Resi Drona menyaksikan sepak terjang Arjuna ketika menggempur pasukan Pancalaradya dan menangkap Drupada hidup-hidup, Resi Drona sudah merasa kalah dengan kemampuan muridnya itu. Kelebihan Arjuna adalah dengan menggunakan senjata panah, di mana sekali merentangkan busur dapat melepaskan lima puluh anak panah sekaligus.
Pada suatu hari, Arjuna diminta gurunya untuk menghadap seorang diri. Ketika ia menghadap, setiap tingkah laku dan sopan santunnya selalu diperhatikan gurunya tanpa henti-hentinya. Sesungguhnya keinginan Rsi Drona agar Arjuna menghadap seorang diri ini sudah lama direncanakan. Akan tetapi, setelah berhadapan langsung, Arjuna tidak segeraa diberi perintah, walaupun ia menunggu-nunggu cukup lama. Sebaliknya Resi Drona justru menjadi bingung dalam memulai pembicaraan. Namun setelah menenangkan pikirannya sejenak, sang guru tampak tersenyum sambil berkata,
“Hai Arjuna, murid yang berbakti terhadap guru! Sepertinya hatimu agak terkejut karena saya panggil secara mendadak, seperti mencari lengahnya saudara-saudaramu. Hatinya sendiri sebenarnya sangat berat karena terpaksa harus menceritakan apa-apa yang mestinya tidak kamu inginkan”.
“Wahai sang guru! Apa yang menjadi kemauan sang wipra pendita), sebaiknya segera guru katakan. Sungguh, hamba akan melaksanakan.” Jawab Arjuna.
Jawab sang guru,
“Baik . . . baik . . . Arjuna! Sikap seperti itu memang sudah menjadi kewajiban seorang murid terhadap gurunya. Ketahuilah Arjuna, tampaknya memang sudah menjadi kehendak Tuhan bahwa kitaharus mengalami peristiwa yang mengerikan. Maka dari itu sebisa-bisanya kita harus menyiapkan apa-apa yang bisa kita siapkan”.
Jawab Arjuna,
“Wahai sang Wipra! Mohon dimaafkan atas kebodohanku karena saya belum mengerti apa keinginan paduka”.
“Ya karena bahayanya peristiwa yang bakal terjadi dan absurdnya masalah yang harus saya katakan, sampai susah untuk menjelaskan dengan kata-kata yang sederhana. Tetapi baiklah, masalah ini akan saya jelaskan melalui cerita, coba perhatikanlah!”
“Saya mempunyai pusaka berupa busur namanya Gandhewa. Busur ini dahulu kepunyaan Bathara Surapati (Indra)dan mempunyai kekuatan, jika digunakan dalam peperangan, dapat melepaskan panah sakti sampai beribu-ribu bahkan beratus-ratus ribu tidak akan habis, menurut keinginan yang menggunakannya. Busur ini dahulu berasal dari guru saya, seorang brahmana yang sakti bernama Begawan Ramaparasu. Bisanya saya memiliki karena dari usahaku yang pada waktu itu sang Begawan berkenan membagi-bagi saya menghadap sang Begawan paling belakangan. Ketika ituBegawan Ramaparasu tinggal memegang dua buah busur. Kedua busur itu, yang satu bernama Bargawa yang menyebabkan moksanya sang Begawan di dalam akhir menjadi tertunda. Sedangkan busur yang kedua bernama Gandhewa yang kini saya miliki, yang seharusnya sudah tidak diberikan lagi kepada siapa pun.
“ketahuilah Arjuna! Setelah busur Gandhewa ini menjadi milikku, sungguh, tidak ada seorang pun yang berhak menerima pusaka warisan ini, kecuali anakku lanangHaswatama. Namun mengingat besarnya rasa kasih sayangku kepadamu karena setia baktimu terhadap guru, maka busur Gandhewa ini terpaksa harus saya serahkan kepadamu, tetapi dengan janji yang harus kamu laksanakan . . . . . . . . “
“Sang guru yang saya hormati! Perkenankanlah hamba memotong pembicaraan paduka, janji seperti apa yang harus hamba laksakan, sudilah kiranya guru segera mengatakan.” Kata Arjuna.
“Arjuna, muridku yang pandai dan berbudi luhur! Permintaanku yang kamu harus laksanakan itu, apabila sampai pada saatnya nanti, kamu harus bersedia perang tanding melawan saya.”  Jawab Resi Drona.
“Aduh sang guru yang bijaksana dan yang selalu saya hormati! Saya tidak sampai hati jika harus melakukan keinginan guru. Bagaimana duduk permasalahannya sehingga guru mempunyai keinginan seperti itu. Padahal kesetiaan dan bakti saya terhadap guru itu benar-benar tulus, tidak terkotori oleh perbuatan yang munafik, apalagi berkhianat.” Jawab Arjuna.
Tanggapan sang guru,  “Wahai Kesatria pahlawannya dunia, ya . . . , karena setia baktimu yang timbul dari hati yang suci itu yang kuasa menggerakkan hati saya harus menyayangimu melebihi kasih sayang yang saya berikan kepada anak laki-lakiku sendiri. Namun mengenai janji yang kamu laksanakan itu, tentunya bukan yang saya inginkan. Oleh karena itu, walaupun peristiwa ini nantinya harus terjadi tetapi hatiku tetap masih sayang kepadamu.  Ya . . . . , itulah sebabnya pekerjaan yang saya harus jalani, saya katakan absurd. Tetapi . . . , sudahlah! Tidak ada manfaatnya jika masslah ini dipikirkan sampai sedih karena kehendak yang kuasa sudah menentukan demikian. Kini yang harus dipikirkan adalah membenahi apa-apa yang harus dilakukan!”
Sang Arjuna yang sejak awal mendengarkan sabda gurunya dengan serius, wajahnya menampakkan rasa sedih yang cukup mendalam. Namun karena perintah sang guru itu dilandasi oleh rasa kasih sayang, maka dengan berat hati Arjuna menyanggupinya. Setelah Arjuna menyanggupinya, sang guru kemudian menyerahkan busur Gandhewa kepada murid kesayangannya itu
—KSP 42—
Sabtu, 08 Februari 2020 – 15.06 WIB
R E F E R E N S I :
Sri Guritno – Purnomo Soimun HP,
KARAKTER TOKOH PEWAYANGAN MAHABARATA
Proyek Pemanfaatan Kebudayaan
Direktorat Tradisi dan Kepercayaan
Deputi Bidang Pelestarian dan Pengembangan Budaya
Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata
Jakarta 2002

Tidak ada komentar:

Posting Komentar