Blog Sita : "Sastra Nusantara"
Senin, 24 Febuari 2020 - 06.08 WIB
Senin, 24 Febuari 2020 - 06.08 WIB
D. ARJUNA
MENDAPAT AJI PANGELMUNAN
Sita Rosita |
Setelah keturunan darah kuru (Pandhawa dan
Kurawa) menamatkan pendidikannya di padepokan Sokalima, mereka kembali
menghabiskan masa mudanya di negara Astina. Konon, keberadaan para Pandhawa ini
sangat membuat kekhawatiran para Kurawa. Hal ini karena para Pandhuputra itu
telah tumbuh menjadi kesatria-kesatria yang pandai dan mumpuni, sehingga
dikhawatirkan akan menjadi penghalang besar bagi para Kurawa dalam melaksanakan
niatnya untuk tetap mempertahankan negara Astina, yang sekarang ini di bawah
kekuasaan ayah para Kurawa (Destarastra). Oleh karena itu, mereka selalu
berusaha untuk mencelakakan para Pandhawa dengan berbagai cara.
Dalam lakon Bale Sigala-gala misalnya, lakon ini menceritakan usaha para Kurawa
untuk membunuh para Pandhawa beserta ibunya (Dewi Kunthi) dalam suatu perjamuan
agung. Namun berkat nasehat Widura, mereka dapat menyelamatkan diri melalui
lubang yang dibuat oleh Kanana (abdi Widura). Setelah dapat menyelamatkan diri,
mereka lalu menyeberangi sungai Gangga, mengembara keluar masuk hutan tanpa tujuan.
Dalam pengembaraannya itu, mereka didatangi
oleh Maharsi Wiyasa. Setelah Dewi Kunthi dan putra-putranya memberi
penghormatan kepada orang tua itu, sang Maharsi lalu berkata,
“Hai para cucuku, bebentengnya para kesatria
darah bharata! Sebenarnya saya sudah mengetahui bahwa keadaan yang kini sedang
kamu alami karena perbuatan Duryudana. Pesan saya kepada kalian, semua
perjalanan hidup yang kini kamu alami, sekali-kali jangan sampai menjadikan
kecil hati kalian. Ketahuilah! Semua peristiwa yang sudah kalian alami dan yang
bakal kalian alammi itu nantinya merrupakan jalan menuju kemuliaan. Oleh sebab
itu,, apa saja yang bakal kalian alami selanjutnya terimalah dengan tulus
ikhlas, jangan mengeluh. Selain itu, saya sarankan kalian semua pergilah ke
Ekacakra. Mudah-mudahan kalian di sana dapat memperoleh jalan menerima belas
ksihan daeri dewa!”
Setelah berkata demikian, Maharsi Wiyasa
lalu menghilang dari hadapan mereka. Konon, para Pandhawa dan Dewi Kunthi lalu
pergi ke Ekacakra. Di sana, mereka menumpang di kediaman seorang brahmana yang
pekerjaannya sebagai pembuat gerbah. Setelah lama di Ekacakra, maka atas
anjuran kakeknya Maharsi Wiyasa, Dewi Kunthi dan para Pandhawa melanjutkan
pengembaraannya ke negara Pancala untuk menambah pengalaman hidupnya. Ketika
hari menjelang malam, saat mereka melakukan perjalanan ke negara Pancala,
ketika perjalanan mereka baru sampai di tepi sungai Gangga, dan pada waktu itu
Arjuna berjalan sendiri di muka dengan membara obor untuk menerangi jalan, agar
jika ada binatang buas menyingkir. Tiba-tiba para Pandhawa dan Dewi Kunthi
bertemu dengan raja raksasa duduk di atas di atas kereta, menghalangi
perjalanan mereka. Raksasa itumerentangkan busur dengan panah siap di tali
busurnya yang tampak sangat menyeramkan.
“Hai manusia! Apakah
kalian sudah bosan hidup, berani-beraninya kalian melakukan perjalanan pada
senja hari, saatnya para gandarwa dan raksasa bercengkerama bersuka ria?
Manusia boleh melakukan perjalanan untuk menyelesaikan keperluannya selain di
waktu senja. Jika ada manusia yang berjalan pada sore hari, ia pasti akan
terkena “sambikala” (bencana), salah-salah bisa hilang nyawa”.
“Hai manusia yang
berpiran kerdil! Jika kamu belum bosan hidup segeralah menyingkir dari tempat
ini. Ketahuilah! Aku ini Maharaja Anggaraparna, raja raksasa yang sakti
mandraguna. Oleh karena itu hutan ini pun bernama hutan Aggaraparna, sesuai
dengan namaku. Hutan sepanjang sungai Gangga ini memang tempat tinggalku, dan
menjadi wilayah kekuasaanku. Makanya namanya sama dengan namaku. Para dewa
sekalipun tidak boleh seenaknya sendiri menginjak hutan ini, apallagi manusia.
Oleh karena itu, jika kalian belum bosan hidup, cepat pergilah dari hadapanku.”
Kata
Anggaraparna dengan pongahnya.
Sikap pongah dan kata-katanya itu telah
membuat membuat panas hati Arjuna sehingga seketika itu juga ia menjawab dengan
suara yang keras,
“Hai kamu
Anggaraparna! Ketahuilah, makanya saya berani menginjak hutan ini, tanpa peduli
itu waktu, pagi, siang, sore atau malam hari, karena saya yakin dan percaya dengan
kekuatan saya dan mampu melawan siapa saja yang berani merintangi perjalanan
kami. Aku dan semua saudara-saudaraku ini sama sekali tiada takut dengan
perkataanmu yang sombong itu”.
“Hai kamu raksasa
busuk! Saya sudah tahu bahwa hulu sungai Gangga ini berada di puncak Himalaya,
berjumlah tujuh yang pada akhirnya menyatu kembali. ketujuh sungai itu adalah
sungai Gangga, Yamuna, Saraswat, Witastha, Sarayu, Gomati, dan Gandhaki.
Barangsiapa yang dapat minum dari ketujuhsungai itu, semua dosa-dosanya akan
terbebas”.
“Hai kamu,
Anggaraparna, ketahuilah! Sungai yang suci ini ada di dalam kaswargannamanya Wetarani, sungai itu tidak boleh diseberangi oleh
manusia yang mempunyai dosa. Saya mengetahui hal ini dari kakek saya, Maharsi
Wiyasa”.
“Hai, kamu raksana
dungu! Atas dasar apa kamu berani-beraninya melarang para Pandhawa menginjak
hutan ini? walaupun saya dan saudara-saudara saya semua mandi di sungai Gangga
sekalipun, kamu tidak berhak melarangnya. Kehendak hatiku, aku harus menyauk
air kali Bhagirati ini, yang dapat menjadi saranan menebus dosa. Siapa saja
yang ingin menghalang-halangi keinginanku untuk menyauk air sungai ini pasti
saya lawan.” Jawab
Arjuna.
Setelah Sang Gandarwaraja Anggaraparna
mendengar jawaban Arjuna seperti itu, kekuatannya bagaikan dijajaki. Untuk ituia segera merentangkan busu dan
melepaskannya kepada para Pandhawa. Lepasnya panah dari tali busur Anggaraparna
bagaikan jatuhnya hujan yang tiada henti-hentinya. Namun tidak ada satu panah
pun yang dapat mengenai para Pandhawa karena berhasil ditangkis oleh Arjuna
dengan baik.
“”Hai, Gandarwaraja!
Ternyata panah-panah yang kamu lepaskan itu
tidak satu pun yang mengenai mengenaiku dan saudara-saudaraku. Sekarang
rasakanlah balasanku, berhati-hatilah! Karena panah yang akan saya lepaskan ini
bernama Bramastra, berasal dari
kadewatan tempatnya para dewata. Pada awalnya panah sakti ini berasal dari Sang
Hyang Wrespati, gurunya Bathara Indra, ratunya para dewa. Sang Hyang Wrespati
diberikan kepada Maharsi Bharadwaja, yang kemudian diberikan lagi kepada
Maharsi Agniwesa. Dari Maharsi Agniwesa diberikan kepada guruku Resi Drona, dan
akhirnya diberikan kepada saya.
Setelah sang Arjuna selesai berbicara, panah
Brahmastra melesat dari busurnya bagaikan kilat dan mengenai kereta
Gandarwaraja Anggaraparna. Kereta itu hancur lebur berantakan menjadi abu.
Walau badan Anggaraparna tidak terkena tetapi karena saktinya panah tersebut,
Anggaraparna terpental jauh dan pingsan.
Begitu mengetahui Anggaraparna jatuh
pingsan, sang Arjuna segera memburunya danmelaraknya di hadapan
saudara-saudarnya. Istri sang Anggaraparna yaitu Gandarwi Kumbinasi, setelah
mengetahui suaminya dilarak oleh sang Arjuna, segera menghadap Yudhistira
seraya berkata,
“Aduh tuan yang
mulia! Mohon belas kasih paduka, sudilah kiranya memberi maaf kepada suami
hamba, jangan sampai suami hamba dibunuh. Jika paduka tidak mengabulkan
permintaan hamba, bunuhlah kami bersama-sama!”
“Wahai tuan yang
mulia! Hamba menghadap paduka ini untuk memohon belas kasih paduka, sudilah
kiranya melepaskan suami hamba. Seberapa besar kesalahan suami hamba hamba
mohon paduka berkenan memberi maaf.”
Sang Yudhistira yang bersifat penyabar, pemurah,
dan pemaaf, begitu mendengar permintaan
Gandarwi Kumbinasi, hatinya merasa iba dan sangat kasihan kepada raseksi
tersebut. oleh karena itu, ia lalu berkata kepada adiknya Arjuna,
“Dinda Arjuna! Pria
yang sudah kalah perang dan sudah tak berdaya dan tidak mempunyai kekuatan lagi,
istrinya wajib melindunginya agar suaminya dapat hidup dan meminta maaf atas
segala kesalahannya. Untuk itu musuhmu yang sudah tidak berdaya itu
lepaskanlah.”
Setelah mendapat
perintah Yudhistira, Arjuna lalu melepaskan Gandarwaraja sambil berkata,
“Hai Anggaraparna,
ketahuilah! Oleh karena perintah saudara tuaku maka kamu saya maafkan dan tidak
akan saya bunuh.”
“Oleh karena hamba
sudah paduka kalahkan, maka hamba tidak akan menggunakan nama Anggaraparna lagi.
Hamba akan menggunakan nama Cetrarata, yang artinya kereta yang serba
bersinar.” Jawab
Anggaraparna lalu melanjutkan kata-katanya,
“Duh sang Arjuna! Jika paduka berkenan, hamba
akan memberi “wejangan” pelajaran ilmu gaib Aji Pangelmunan, yaitu mantera yang menyebabkan manusia bisa
menghilang yang umumnya hanya dimiliki oleh para gandarwa. Aji Pangelmunan yang akan hamba persembahkan kepada paduka ini
namanya Aji Caksuci. Aji ini berasal
dari Bathara Manu, diwejangkan kepada Bathara Soma. Dari Bathara Soma
diwejangkan kepada Bathara Wiswawasu, kemudian diwejangkan kepada hamba.”
“Duhai Arjuna,
mustikanya kesatria pemberani, ketahuilah! Manusia akan dapat memiliki aji
pangelmunan Cakasuci, jika ia mampu melakukan “tapa brata” bersemedi yang
sangat berat. Tapa berdiri dengan satu kaki, sedangkan kaki yang satunya
digantung. Lamanya hingga enam bulan. Namun, aji pangelmunan yang akan hamba
persembahkan ini tanpa persyaratan apapun . selain itu hamba juga akan
mempersembahkan Turangga kepada paduka
sesaudara. Turangga ini asanya dari
kahyangan para gandarwa yang larinya sangat cepat dan selalu dapat membuat
gembira yang menaiki, karena dapat sampai di mana saja sesuai dengan kehendak
yang menaiki.”
“Aduh, sang
Gandarwaraja! Apabila pemberian turanggamu itu untuk membalas jasaku karena
telah memaafka dan melepaskanmu dari kematian, saya tidak mau menerimanya
karena memberi pertolongan kepada orang lain itu memang sudah menjadi dharmanya
seorang kesatria.” Demikian
kata Arjuna kepada Gandarwaraja. Akan tetapi Gadarwaraja tetap berkata kepada
Arjuna,
“Wahai harimaunya
kesatria darah Bharata! Agar persembahan hamba tidak bertentangan dengan
dharmanya kesatria dan tidak menyebabkan hutang-piutang, maka berilah saya
senjata paduka yang sakti untuk menukar turangga
yang akan hamba persembahkan kepada paduka sesaudara.” Jawab Gandarwaraja.
“”Gandarwaraja!
Turangga pemberianmu akan saya terima dengan senang hati. sebagai gantinya
senjata yang saya pegang ini akan saya serahkan kepadamu. Harapanku,
mudah-mudahan kamu akan tetap menjadi mitraku yang karib untuk selama-lamanya.”
Demikian jawab Arjuna dengan penuh rasa
persahabatan yang tulus.
“Sungguh mulia hati
paduka, tetapi sayang paduka sekeluarga tidak disertai oleh brahmana sebagai
penunjuk jalan agar para kesatria tidak keleru dalam melangkah dan selalu
menjunjung tinggi dharmanya. Hal tersebut
sebagai penunjuk jalan dan guru yang tak lepas dari budi dan kebijakan
dan yang memahami isi kitab Weda dan Prana.” Demikian pesan Gandarwaraja kepada
Arjuna dan saudara-saudaranya. Sejenak kemudian Gandarwaraja melanjutkan
melanjutkan kata-katanya,
“Ketahuilah Raden!
Tidak jauh dari hutan ini ada sebuah padepokan Utacaka. Padepokan tersebut
ditempati oleh Maharsi Domya, adiknya Resi Dewala. Hamba sangat setuju jika
paduka sesaudara memanfaatkan Maharsi Domya sebagai penunjuk jalan.” Demikian saran Gandarwaraja.
Sang Arjuna sangat gembira mendengar ucapan
Gandarwaraja, sehingga segera ia pun
memberikan senjatanya sebagai penukar dengan turangga yang akan dipersembahkan
kepada para Pandhawa. Selanjutnya Arjuna berkata,
“Oh, pembesarnya
para gandarwa! Jika demikian Turangga persembahanmu itu jangan diberikan
sekarang. Kelak, apabila ada keperluan akan saya minta. Sekarang izinkanlah kami
melanjutkan perjalanan, semoga di lain waktu kita dapat bertemu lagi”.
Setelah sang Arjuna berkata demikian, Dewi
Kunthi dan para Pandhawa segera memohon diri untuk melanjutkan perjalanannya
untuk mencari padepokan Utacaka milik Maharsi Domya. Tidak lama kemudian para
Pandhawa pun sampai di padepokan Utacaka. Di sana mereka diterima dengan senang
hati oleh Maharsi Domya. Setelah sang Maharsi memberi anugerah doa dan mantra
kepada para Pandhawa, Dewi Kunthi dan para Pandhawa segera mohon diri untuk melanjutkan
perjalanannya ke Negara Pancala dengan diantar oleh Maharsi Domya.
Arjuna ikut sayembara di negeri Pancala |
E.
ARJUNA
MENGIKUTI SAYEMBARA DI PANCALA
Tidaklah diceritakan perjalanan Dewi Kunthi
dan para Pendhawa, singkat cerita perjalanan mereka telah sampai di wilayah
negara Pancala. Di samping jalan Dewi Kunthi dan putra-putranya (Pandhawa)
sering bertemu dengan para Brahmana yang akan menyaksikan sayembara, yang
diselenggarakan oleh Prabu Drupada untuk mengawinkan anak perempuannya yang
bernama Dewi Kresna alias Dewi Drupadi.
Semakin dekat dengan
ibukota Pancala. Mereka semakin sering bertemu dengan para Brahma. Tiba-tiba,
tanpa diketahui dari mana asalnya. Sang Maharsi Wiyasa telah berdiri di hadapan
Dewi Kunthi dan para Pandhawa. Mereka segera bersujud di kaki sang Maharsi satu
persatu. Ketika itu Maharsi Wiyasa lalu berkata kepada para cucunya mengenai
sayembara yang akan diselenggarakan oleh Prabu Drupada. Selanjutnya Maharsi
Wiyasa langsung menghilang, sedang Dewi Kunthi dan para Pandhawa segera
melanjutkan perjalanannya kembali, bersama-sama dengan para brahmana menuju
kota Pancala.
Di kota Pancala, para Pandhawa sangat kagum
melihat kekokohan benteng kota tersebut. setelah berputar-putar melihat
keindahan kota, Dewi Kunthi dan putra-putranya mencari penginapan. Akgirnya
mereka menumpang di rumah tukang pembuat gerabah yang bangunannya berdiding
gedhek, beratapkan genteng. Ketika itu para Pandhawa menyamar sebagai seorang
brahmana. Oleh karena ituselama mereka berada di negara Pancala tidak seorang
pun mengira jika kelima brahmana tersebut sebenarnya para Pandhawa.
Diceritakan, walaupun tidak diucapkan dengan
mulut, tetapi isi hati Prabu Drupada sebenarnya ingin mempunyai menantu sang
Arjuna. Untuk itu sang Prabu memerintahkan pegawai istana untuk membuat busur
yang sangat besar, harapannya agar dalam sayembara nanti tidak ada seorang pun
yang mampu mengangkatnya, kecuali Arjuna. Di samping itu, sang Prabu juga
memerintahkan membuat panggung. Di atas panggung itu terpasang sasaran yang
nantinya nantinya harus dipanah oleh para peserta sayembara. Setelah semuanya
siap, Prabu Drupada lalu mengumuman kepada khalayak ramaai yang isinya
demikian,
“Barang siapa mampu
merentangkan busur pusaka Pancala dan memanah sasaran di atas panggung, akan
dikawingkan dengan putrinya Dewi Drupadi”.
Tidak sampai berganti bulan berita itu telah
tersebar di berbagai negara. Pada hari pelaksanaan sayembara,banyaklah raja dan
rajaputra di kota Pancala sampai tak dapat dihitung, sebagian besar di antara mereka hendak mengikuti sayembara.
Selain itu banyak pula para brahmana yang ingin menyaksikan jalannya sayembara.
Para raja dan rajaputra yang hendak mengikuti sayembara duduknya dikelompokkan
menjadi satu. Demikian pula para brahmana yang ingin menyaksikan jalannya
sayembara, duduknya juga dikelompokkan menjadi satu. Para Pandhawa yang saat
itu juga sudah datang berkumpul menjadi satu kelompok dengan para brahmana.
Sementara itu Prabu Drupada dan
permaisurinya serta Rajaputri Dewi Drupadi duduk di panggung tempat upacara
dilaksanakan. Sang Rajaputra Drestadyumna yang konon dilahirkan dari api sesaji
dipercaya sang prabu untuk memimpin jalannya sayembara. Ketika itu, para raja dan
rajaputra duduknya berurutan menunggu mendapat giliran untuk merentangkan busur
untuk memanah sasaran yang telah ditentukan. Sudah banyak para raja dan
rajaputra yang mendapat giliran, tetapi belum ada satu pun yang berhasil,
bahkan merentangkan busurnya saja belum ada yang berhasil.
Kemudian tampil Karna, putra Dewa Matahari
yang diambil anak angkat oleh Adirata. Dengan mudahnya busur itu diangkatnya,
dan dengan mudah pula busur itu direntangkan. Ketika sedang mengarahkan anak
panah ke sasaran, tiba-tiba Dewi Drupadi berseru,
“Saya tidak mau
kawin dengan orang berasal dari kasta rendah”.
Mendengar seruan tersebut, Karna melempar
senyum ke arah datangnya suara. Dengan perlahan Karna meletakkan busur yang ada
di tangannya kemudian mundur secara diam-diam, tidak jadi mengikuti sayembara.
Berikutnya tampil Sisupala, seorang
bangsawan yang mencoba gilirannya. Namun, busur itu tidak dapat diangkatnya.
Demikian pula dengan Raja Jarasanda, Salya, dan Duryudana, mereka tidak mampu
mengangkat busur itu.
Tatkala seorang brahmana muda yang tak lain
adalah Arjuna tampil ke depan, ada sementara hadirin yang menatapnya dengan
rasa gembira, tetapi ada pula yang merasa cemburu. Sementara itu reaksi para
brahmana, begitu ada brahma muda yang tampil ke depan, pendapat mereka
berbeda-beda. Ada yang mencelanya, tetapi ada pula yang mendukungnya dan memuji
keberanian brahmana muda itu,
“Saudara-saudara
para brahmana! Mari kita renungkan, bagaimana pendapat saudara-saudara, jika
ada seorang brahmana muda yang sok berani mengikuti sayembara ini. brahmana itu
tidak pernah menggunakan senjata, dan tidak pernah berperang. Mustahil ia mampu
mengangkat busur yang sedemikian besarnya. Kalian semua melihatnya sendiri,
Prabu Salaya yang tampil menggunakan berbagai jenis senjata dan kesaktiannya
tidak diragukan lagi, tidak mampu merentangkan busur, pusaka Pancala. Apalagi
seorang brahmana, pasti hanya akan menjadi bahan tertawaan para raja dan
rajaputra yang hadir di sini. Oleh karena itu, sebelum terlanjur sebaiknya brahma
muda itu kita ingatkan!” Demikian kata salah satu brahma yang tak menyetujui jika
ada brahmana yang mengikuti sayembara itu. Akan tetapi ada pula kelompok brahmana
yang mendukung lalu berkata,
“Wahai para brahmana
yang terhormat! Kita tidak perlu merasa khawatir, tidak mungkin para raja dan
rajaputra akan mencerca dan menertawakan brahmada muda itu, karena mereka
sendiri juga tidak mampu mengangkt busur itu!”
Para brahmana yang duduknya tidak jauh dari Pandhawa mereka turut memberi dukungan
lalu berkata,
“Jangan khawatir,
brahmana muda itu kelihatannya sangat tenang, santun dan jarang bicara.
Perilakunya sangat sederhana, sangat beradab dan lengannya tampak sangat kuat,
bagaikan belalai gajah. Jadi menurut pendapat kami, dia memang sakti mandraguna
dan pantas jika mampu memenangkansayembara ini, ya biarkanlah brahmana muda itu
mengikuti sayembara!”
Tanpa menghiraukan pembicaraan pembicaraan
para brahmana, dengan langkah pasti brahmana muda itu berjalan mengitari busur
sambil berdoa kepada Yang Maha Pengasih. Kemudian menundukkan kepalanya,
memusatkan pikiran kepada Dewi Kresna. Dengan entengnya busur itu diangkatnya
dan dengan cekatan merentangkan tali busurnya yang telah terpasang lima anak
panah sekaligus.lepasnya kelima anak panah tersebut tepat mengenai sasaran yang
telah ditentukan, sehingga tepuk tangan dan sorak sorai para brahmana menggema
memecahkan kesunyian. Selanjutnya Drestdyumna menyatakan bahwa sayembara telah
dimenangkan oleh brahmana muda itu sehingga berhak mendapatkan Rajaputri
Drupadi.
Diceritakan, para raja dan rajaputra yang
tidak berhasil memenangkan sayembara saling menaruh belas, tidak rela karena
sang Rajaputri hanya direngkuh oleh orang yang tidak pantas. Tidak ketinggalan
pula Kurawa yang dipelopori Duryudana, karena besarnya rasa dengki akhirnya
bersama-sama para raja dan rajaputra menyebut Dewi Drupadi dari tangan brahma
muda. Namun Bima yang pada waktu itu juga mengenakan pakaian brahmana, begitu
melihat adiknya dikeroyok oleh para raja dan rajaputra, ia segera mencabut
pohon beringin lalu menerjang musuh sehingga banyak yang lari tunggang langgang
menyelamatkan diri. Duryudana yang dapat mengenali bahwa brahmana itu
sebenarnya Bima dan Arjuna, sangat gentar dan merasa heran karena Pandhawa yang
konon telah dibinasakan sampai menjadi abu (peristiwa bale sigala-gala),
ternyata masih hidup bahkan mampu mengundurkan para raja dan rajaputra yang
mengeroyoknya.
Duryudana lalu memerintahkan Karna untuk
merebut Dewi Drupadi dari tangan Brahmana muda itu yang tak lain adalah Arjuna.
Dengan senang hati Karna segera mendatangi brahmana muda tersebut. Namun belum
sampai di hadapan Nrahmana muda, Bima telah mencegatnya sambil mencerca,
“Hai anak kusir!
Tidak berhak engkau bertempur dengan kesatria. Jika kamu ingin berperang, harus
sama-sama anak kusir yang sama derajatnya. Untuk itu kamu jangan berkacak
pinggang mau melawan adikku!”
Sebenarnya Karna sudah mengetahui dari
Bathara Surya, bahwa dirinya anak sulung dari Dewi Kunthi. Jadi derajatnya juga
kesatria sama dengan para Pandhawa dan Kurawa. Namun karena ia harus
menyembunyikan rahasia dirinya, maka walaupun menerima cercaan yang sangat
menyakitkan hati, ia tetap teguh menyimpan rahasia itu.
Kekecewaan hati sang Karna karena batal
berperang dengan Arjuna, semakin menampar muka Duryudana. Namun karena merasa
gentar dengan Bima dan Arjuna, Duryudana tidak dapat berbuat banyak sehingga
Kurawa segera pulang ke Astina. Sungguh pun demikian, para Kurawa tetap tidak
merasa jera untuk selalu berupaya mencelakakan para Pandhawa.
Setelah para raja dan rajaputra dapat
dikalahkan Bima dan Arjuna, para Pandhawa segera kembali ke pondokkannya dengan
didampingi oleh Dewi Drupadi.
Diceritakan Dewi Kunthi yang waktu itu
sendirian di pondokan, merasa sangat was-was terhadap keadaan putra-putranya
karena sudah menjelang senja belum jua kembali pulang. Sebentar-sebentar Dewi
Kunthi melihat halaman, menanti-nanti kedatangan putra-putranya, Pandhawa.
Dalam hatinya bertanya-tanya, ‘Ada aa
gerangan putra-putraku ini, waktu sudah hampir malam akan tetapi mereka belum
juga pulang, padahal biasanya sudah kembali dengan membawa hasil dari
meminta-minta’.
Setelah lama dinanti-nanti tiada juga
kunjung datang, Dewi Kunthi masuk ke dalam ‘senthong’ (kamar) menyalakan dian.
Baru saja sang Dewi Kunthi masuk ke dalam senthong tiba-tiba Para Pandhawa
datang. Arjuna memanggil-manggil ibunya hendak menyerahkan Dewi Drupadi. Ketika
itu sang ibu Dewi Kunthi masih di dalam senthong sehingga belum tahu barang apa
yang akan diseragkan putra-putranyanya. Perkiraannya putra-putranya akan
menyerahkan makanan hasil meminta-minta seperti biasanya. Oleh karena itu dari
dalam senthong sang Dewi Kunthi berkata,
“Barang yang akan
kau serahkan kepadaku itu bagikanlah kepada saudara-saudaramu”.
Setelah berkata demikian, Dewi Kunthi keluar
dari dalam senthong. Ketika mendengar penuturan putranya bahwa barang yang akan
diserah kepadanya eorang gadis cantik, hasil dari memenangkan sayembara, Dewi
Kunthi terkejut lalu berkata,
“Wah celaka! Aku dan
putra-putraku akan berdosa besar jika apa yang sudah saya katakan tidak
dilaksanakan”.
Selanjutnya, Dewi Kunthi mengajak para
Pandhawa dan Dewi Drupadi masuk ke rumah. Kemudian mereka bermusyawarah, agar
semuanya tidak ada yang menanggung dosa, maka pada akhirnya dicapailah kata
sepakat bahwa Dewi Drupadi bersuamikan kelima Panduputra.
Kresna, raja bangsa Yudawa dan Baladewa
kakaknya, setelah mengetahui bahwa yang memenangkan sayembara adalah Arjuna
yang menyamar sebagai brahmana, segera menemui para Pandhawa di padepokannya
untuk mengucapkan selamat. Kresna menerangkan bahwa dirinya dan Baladewa masih
saudara keturunan dengan para Pandhawa. Sejak saat itulah para Pandhawa
mengetahui Kresna dan Baladewa masih saudara mereka.
Drestadyumnya pun datang ke pondokan para
Pandhawa dengan cara sembunyi-sembunyi, karena ia diperintahkan Prabu Drupada
untuk menyelidiki siapa sebenarnya brahmana muda itu. Tanpa sepengetahuan yang
diselidiki, Drestadyumna akhirnya dapat mengetahui bahwa brahmana muda itu
sebenarnya Arjuna. Untuk itu ia segera menghadap Prabu Drupada, melaporkan
hasil penyelidikannya.
Setelah mendapat laporan bahwa brahmana muda
itu Arjuna, Prabu Drupada sangat bersukacita karena memang Arjunalah yang
diharapkan jdi menantunya. Dan, pada kesokan harinya, sang Prabu memanggil para
Pandhawa ke istana Pancala. Setelah para Pandhawa menghadap, Prabu Drupada
menghendaki agar pernikahan Arjuna dengan putrinya dilaksanakan di istana.
Namun Arjuna menjawab bahwa sang Dewi telah menjadi isttri Pandhawa. Sang Prabu
sangat terkejut mendengar pengakuan Arjuna, maka berkatalah Prabu Drupada,
“Ini sangat
menyimpang dari kesopanan, saya tidak setuju”.
Ketika itu datanglah Maharsi Wiyasa, sang
Maharsi lalu mengajak Prabu Drupada ke ruang dalam untuk memberi penjelasan
terhadap permasalahan yang kini sedang dihadapinya. Kesudahannya, sang Prabu
Drupada dapat menerima penjelasan Maharsi Wiyasa sehingga berlangsunglah
pernikahan antara Dewi Drupadi dengan para Pandhawa di Istana Pancala.
Konon, setelah pernikahan itu berlangsung
para Pandhawa mengadakan perjanjian. Tujuannya adalah untuk menghindari hal-hal
yang tidak diinginkan. Dalam perjanjian itu ditetapkan bahwa mereka harus
berganti-ganti mendekati Dewi Drupadi. Jika ada yang melihat Dewi Drupadi
sedang duduk dengan salah seorang di antara kelima bersaudara itu di dalam
kamar, kemudian salah satu di antara mereka ada yang melihatnya, harus membuang
diri dalam hutan selama sepuluh tahun.
KSP 42—
Sabtu, 15 Februari
2020 – 12.47 WIB
R E F E R E N S I :
Sri Guritno – Purnomo Soimun HP,
KARAKTER TOKOH PEWAYANGAN MAHABARATA
Proyek Pemanfaatan Kebudayaan
Direktorat Tradisi dan Kepercayaan
Deputi Bidang Pelestarian dan Pengembangan Budaya
Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata
Jakarta 2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar