Minggu, 23 Februari 2020

ARJUNA DALAM EPOS MAHABHARATA 2 By Sri Guritno - Purnomo Soimun HP

Blog Sita : "Sastra Nusantara"
Senin, 24 Febuari 2020 - 06.08 WIB


D.  ARJUNA MENDAPAT AJI PANGELMUNAN

Sita Rosita
Setelah keturunan darah kuru (Pandhawa dan Kurawa) menamatkan pendidikannya di padepokan Sokalima, mereka kembali menghabiskan masa mudanya di negara Astina. Konon, keberadaan para Pandhawa ini sangat membuat kekhawatiran para Kurawa. Hal ini karena para Pandhuputra itu telah tumbuh menjadi kesatria-kesatria yang pandai dan mumpuni, sehingga dikhawatirkan akan menjadi penghalang besar bagi para Kurawa dalam melaksanakan niatnya untuk tetap mempertahankan negara Astina, yang sekarang ini di bawah kekuasaan ayah para Kurawa (Destarastra). Oleh karena itu, mereka selalu berusaha untuk mencelakakan para Pandhawa dengan berbagai cara.
Dalam lakon Bale Sigala-gala misalnya, lakon ini menceritakan usaha para Kurawa untuk membunuh para Pandhawa beserta ibunya (Dewi Kunthi) dalam suatu perjamuan agung. Namun berkat nasehat Widura, mereka dapat menyelamatkan diri melalui lubang yang dibuat oleh Kanana (abdi Widura). Setelah dapat menyelamatkan diri, mereka lalu menyeberangi sungai Gangga, mengembara keluar masuk hutan tanpa tujuan.
Dalam pengembaraannya itu, mereka didatangi oleh Maharsi Wiyasa. Setelah Dewi Kunthi dan putra-putranya memberi penghormatan kepada orang tua itu, sang Maharsi lalu berkata,
 “Hai para cucuku, bebentengnya para kesatria darah bharata! Sebenarnya saya sudah mengetahui bahwa keadaan yang kini sedang kamu alami karena perbuatan Duryudana. Pesan saya kepada kalian, semua perjalanan hidup yang kini kamu alami, sekali-kali jangan sampai menjadikan kecil hati kalian. Ketahuilah! Semua peristiwa yang sudah kalian alami dan yang bakal kalian alammi itu nantinya merrupakan jalan menuju kemuliaan. Oleh sebab itu,, apa saja yang bakal kalian alami selanjutnya terimalah dengan tulus ikhlas, jangan mengeluh. Selain itu, saya sarankan kalian semua pergilah ke Ekacakra. Mudah-mudahan kalian di sana dapat memperoleh jalan menerima belas ksihan daeri dewa!”
Setelah berkata demikian, Maharsi Wiyasa lalu menghilang dari hadapan mereka. Konon, para Pandhawa dan Dewi Kunthi lalu pergi ke Ekacakra. Di sana, mereka menumpang di kediaman seorang brahmana yang pekerjaannya sebagai pembuat gerbah. Setelah lama di Ekacakra, maka atas anjuran kakeknya Maharsi Wiyasa, Dewi Kunthi dan para Pandhawa melanjutkan pengembaraannya ke negara Pancala untuk menambah pengalaman hidupnya. Ketika hari menjelang malam, saat mereka melakukan perjalanan ke negara Pancala, ketika perjalanan mereka baru sampai di tepi sungai Gangga, dan pada waktu itu Arjuna berjalan sendiri di muka dengan membara obor untuk menerangi jalan, agar jika ada binatang buas menyingkir. Tiba-tiba para Pandhawa dan Dewi Kunthi bertemu dengan raja raksasa duduk di atas di atas kereta, menghalangi perjalanan mereka. Raksasa itumerentangkan busur dengan panah siap di tali busurnya yang tampak sangat menyeramkan.
“Hai manusia! Apakah kalian sudah bosan hidup, berani-beraninya kalian melakukan perjalanan pada senja hari, saatnya para gandarwa dan raksasa bercengkerama bersuka ria? Manusia boleh melakukan perjalanan untuk menyelesaikan keperluannya selain di waktu senja. Jika ada manusia yang berjalan pada sore hari, ia pasti akan terkena “sambikala” (bencana), salah-salah bisa hilang nyawa”.
“Hai manusia yang berpiran kerdil! Jika kamu belum bosan hidup segeralah menyingkir dari tempat ini. Ketahuilah! Aku ini Maharaja Anggaraparna, raja raksasa yang sakti mandraguna. Oleh karena itu hutan ini pun bernama hutan Aggaraparna, sesuai dengan namaku. Hutan sepanjang sungai Gangga ini memang tempat tinggalku, dan menjadi wilayah kekuasaanku. Makanya namanya sama dengan namaku. Para dewa sekalipun tidak boleh seenaknya sendiri menginjak hutan ini, apallagi manusia. Oleh karena itu, jika kalian belum bosan hidup, cepat pergilah dari hadapanku.” Kata Anggaraparna dengan pongahnya.
Sikap pongah dan kata-katanya itu telah membuat membuat panas hati Arjuna sehingga seketika itu juga ia menjawab dengan suara yang keras,
“Hai kamu Anggaraparna! Ketahuilah, makanya saya berani menginjak hutan ini, tanpa peduli itu waktu, pagi, siang, sore atau malam hari, karena saya yakin dan percaya dengan kekuatan saya dan mampu melawan siapa saja yang berani merintangi perjalanan kami. Aku dan semua saudara-saudaraku ini sama sekali tiada takut dengan perkataanmu yang sombong itu”.
“Hai kamu raksasa busuk! Saya sudah tahu bahwa hulu sungai Gangga ini berada di puncak Himalaya, berjumlah tujuh yang pada akhirnya menyatu kembali. ketujuh sungai itu adalah sungai Gangga, Yamuna, Saraswat, Witastha, Sarayu, Gomati, dan Gandhaki. Barangsiapa yang dapat minum dari ketujuhsungai itu, semua dosa-dosanya akan terbebas”.
“Hai kamu, Anggaraparna, ketahuilah! Sungai yang suci ini ada di dalam kaswargannamanya Wetarani, sungai itu tidak boleh diseberangi oleh manusia yang mempunyai dosa. Saya mengetahui hal ini dari kakek saya, Maharsi Wiyasa”.
“Hai, kamu raksana dungu! Atas dasar apa kamu berani-beraninya melarang para Pandhawa menginjak hutan ini? walaupun saya dan saudara-saudara saya semua mandi di sungai Gangga sekalipun, kamu tidak berhak melarangnya. Kehendak hatiku, aku harus menyauk air kali Bhagirati ini, yang dapat menjadi saranan menebus dosa. Siapa saja yang ingin menghalang-halangi keinginanku untuk menyauk air sungai ini pasti saya lawan.” Jawab Arjuna.
Setelah Sang Gandarwaraja Anggaraparna mendengar jawaban Arjuna seperti itu, kekuatannya bagaikan dijajaki.  Untuk ituia segera merentangkan busu dan melepaskannya kepada para Pandhawa. Lepasnya panah dari tali busur Anggaraparna bagaikan jatuhnya hujan yang tiada henti-hentinya. Namun tidak ada satu panah pun yang dapat mengenai para Pandhawa karena berhasil ditangkis oleh Arjuna dengan baik.
“”Hai, Gandarwaraja! Ternyata panah-panah yang kamu lepaskan itu  tidak satu pun yang mengenai mengenaiku dan saudara-saudaraku. Sekarang rasakanlah balasanku, berhati-hatilah! Karena panah yang akan saya lepaskan ini bernama Bramastra, berasal  dari kadewatan tempatnya para dewata. Pada awalnya panah sakti ini berasal dari Sang Hyang Wrespati, gurunya Bathara Indra, ratunya para dewa. Sang Hyang Wrespati diberikan kepada Maharsi Bharadwaja, yang kemudian diberikan lagi kepada Maharsi Agniwesa. Dari Maharsi Agniwesa diberikan kepada guruku Resi Drona, dan akhirnya diberikan kepada saya.
Setelah sang Arjuna selesai berbicara, panah Brahmastra melesat dari busurnya bagaikan kilat dan mengenai kereta Gandarwaraja Anggaraparna. Kereta itu hancur lebur berantakan menjadi abu. Walau badan Anggaraparna tidak terkena tetapi karena saktinya panah tersebut, Anggaraparna terpental jauh dan pingsan.
Begitu mengetahui Anggaraparna jatuh pingsan, sang Arjuna segera memburunya danmelaraknya di hadapan saudara-saudarnya. Istri sang Anggaraparna yaitu Gandarwi Kumbinasi, setelah mengetahui suaminya dilarak oleh sang Arjuna, segera menghadap Yudhistira seraya berkata,
“Aduh tuan yang mulia! Mohon belas kasih paduka, sudilah kiranya memberi maaf kepada suami hamba, jangan sampai suami hamba dibunuh. Jika paduka tidak mengabulkan permintaan hamba, bunuhlah kami bersama-sama!”
“Wahai tuan yang mulia! Hamba menghadap paduka ini untuk memohon belas kasih paduka, sudilah kiranya melepaskan suami hamba. Seberapa besar kesalahan suami hamba hamba mohon paduka berkenan memberi maaf.”

Sang Yudhistira yang bersifat penyabar, pemurah, dan pemaaf, begitu  mendengar permintaan Gandarwi Kumbinasi, hatinya merasa iba dan sangat kasihan kepada raseksi tersebut. oleh karena itu, ia lalu berkata kepada adiknya Arjuna,
“Dinda Arjuna! Pria yang sudah kalah perang dan sudah tak berdaya dan tidak mempunyai kekuatan lagi, istrinya wajib melindunginya agar suaminya dapat hidup dan meminta maaf atas segala kesalahannya. Untuk itu musuhmu yang sudah tidak berdaya itu lepaskanlah.”
Setelah mendapat perintah Yudhistira, Arjuna lalu melepaskan Gandarwaraja sambil berkata,
“Hai Anggaraparna, ketahuilah! Oleh karena perintah saudara tuaku maka kamu saya maafkan dan tidak akan saya bunuh.”
“Oleh karena hamba sudah paduka kalahkan, maka hamba tidak akan menggunakan nama Anggaraparna lagi. Hamba akan menggunakan nama Cetrarata, yang artinya kereta yang serba bersinar.” Jawab Anggaraparna lalu melanjutkan kata-katanya,
 “Duh sang Arjuna! Jika paduka berkenan, hamba akan memberi “wejangan” pelajaran ilmu gaib Aji Pangelmunan, yaitu mantera yang menyebabkan manusia bisa menghilang yang umumnya hanya dimiliki oleh para gandarwa. Aji Pangelmunan yang akan hamba persembahkan kepada paduka ini namanya Aji Caksuci. Aji ini berasal dari Bathara Manu, diwejangkan kepada Bathara Soma. Dari Bathara Soma diwejangkan kepada Bathara Wiswawasu, kemudian diwejangkan kepada hamba.”
“Duhai Arjuna, mustikanya kesatria pemberani, ketahuilah! Manusia akan dapat memiliki aji pangelmunan Cakasuci, jika ia mampu melakukan “tapa brata” bersemedi yang sangat berat. Tapa berdiri dengan satu kaki, sedangkan kaki yang satunya digantung. Lamanya hingga enam bulan. Namun, aji pangelmunan yang akan hamba persembahkan ini tanpa persyaratan apapun . selain itu hamba juga akan mempersembahkan Turangga kepada paduka sesaudara. Turangga ini asanya dari kahyangan para gandarwa yang larinya sangat cepat dan selalu dapat membuat gembira yang menaiki, karena dapat sampai di mana saja sesuai dengan kehendak yang menaiki.”
“Aduh, sang Gandarwaraja! Apabila pemberian turanggamu itu untuk membalas jasaku karena telah memaafka dan melepaskanmu dari kematian, saya tidak mau menerimanya karena memberi pertolongan kepada orang lain itu memang sudah menjadi dharmanya seorang kesatria.” Demikian kata Arjuna kepada Gandarwaraja. Akan tetapi Gadarwaraja tetap berkata kepada Arjuna,
“Wahai harimaunya kesatria darah Bharata! Agar persembahan hamba tidak bertentangan dengan dharmanya kesatria dan tidak menyebabkan hutang-piutang, maka berilah saya senjata paduka yang sakti untuk menukar turangga yang akan hamba persembahkan kepada paduka sesaudara.” Jawab Gandarwaraja.
“”Gandarwaraja! Turangga pemberianmu akan saya terima dengan senang hati. sebagai gantinya senjata yang saya pegang ini akan saya serahkan kepadamu. Harapanku, mudah-mudahan kamu akan tetap menjadi mitraku yang karib untuk selama-lamanya.”  Demikian jawab Arjuna dengan penuh rasa persahabatan yang tulus.
“Sungguh mulia hati paduka, tetapi sayang paduka sekeluarga tidak disertai oleh brahmana sebagai penunjuk jalan agar para kesatria tidak keleru dalam melangkah dan selalu menjunjung tinggi dharmanya. Hal tersebut  sebagai penunjuk jalan dan guru yang tak lepas dari budi dan kebijakan dan yang memahami isi kitab Weda dan Prana.” Demikian pesan Gandarwaraja kepada Arjuna dan saudara-saudaranya. Sejenak kemudian Gandarwaraja melanjutkan melanjutkan kata-katanya,
“Ketahuilah Raden! Tidak jauh dari hutan ini ada sebuah padepokan Utacaka. Padepokan tersebut ditempati oleh Maharsi Domya, adiknya Resi Dewala. Hamba sangat setuju jika paduka sesaudara memanfaatkan Maharsi Domya sebagai penunjuk jalan.”  Demikian saran Gandarwaraja.
Sang Arjuna sangat gembira mendengar ucapan Gandarwaraja, sehingga  segera ia pun memberikan senjatanya sebagai penukar dengan turangga yang akan dipersembahkan kepada para Pandhawa. Selanjutnya Arjuna berkata,
“Oh, pembesarnya para gandarwa! Jika demikian Turangga persembahanmu itu jangan diberikan sekarang. Kelak, apabila ada keperluan akan saya minta. Sekarang izinkanlah kami melanjutkan perjalanan, semoga di lain waktu kita dapat bertemu lagi”.
Setelah sang Arjuna berkata demikian, Dewi Kunthi dan para Pandhawa segera memohon diri untuk melanjutkan perjalanannya untuk mencari padepokan Utacaka milik Maharsi Domya. Tidak lama kemudian para Pandhawa pun sampai di padepokan Utacaka. Di sana mereka diterima dengan senang hati oleh Maharsi Domya. Setelah sang Maharsi memberi anugerah doa dan mantra kepada para Pandhawa, Dewi Kunthi dan para Pandhawa segera mohon diri untuk melanjutkan perjalanannya ke Negara Pancala dengan diantar oleh Maharsi Domya.
 
Arjuna ikut sayembara di negeri Pancala
E.     ARJUNA MENGIKUTI SAYEMBARA DI PANCALA

Tidaklah diceritakan perjalanan Dewi Kunthi dan para Pendhawa, singkat cerita perjalanan mereka telah sampai di wilayah negara Pancala. Di samping jalan Dewi Kunthi dan putra-putranya (Pandhawa) sering bertemu dengan para Brahmana yang akan menyaksikan sayembara, yang diselenggarakan oleh Prabu Drupada untuk mengawinkan anak perempuannya yang bernama Dewi Kresna alias Dewi Drupadi.
Semakin dekat dengan ibukota Pancala. Mereka semakin sering bertemu dengan para Brahma. Tiba-tiba, tanpa diketahui dari mana asalnya. Sang Maharsi Wiyasa telah berdiri di hadapan Dewi Kunthi dan para Pandhawa. Mereka segera bersujud di kaki sang Maharsi satu persatu. Ketika itu Maharsi Wiyasa lalu berkata kepada para cucunya mengenai sayembara yang akan diselenggarakan oleh Prabu Drupada. Selanjutnya Maharsi Wiyasa langsung menghilang, sedang Dewi Kunthi dan para Pandhawa segera melanjutkan perjalanannya kembali, bersama-sama dengan para brahmana menuju kota Pancala.
Di kota Pancala, para Pandhawa sangat kagum melihat kekokohan benteng kota tersebut. setelah berputar-putar melihat keindahan kota, Dewi Kunthi dan putra-putranya mencari penginapan. Akgirnya mereka menumpang di rumah tukang pembuat gerabah yang bangunannya berdiding gedhek, beratapkan genteng. Ketika itu para Pandhawa menyamar sebagai seorang brahmana. Oleh karena ituselama mereka berada di negara Pancala tidak seorang pun mengira jika kelima brahmana tersebut sebenarnya para Pandhawa.
Diceritakan, walaupun tidak diucapkan dengan mulut, tetapi isi hati Prabu Drupada sebenarnya ingin mempunyai menantu sang Arjuna. Untuk itu sang Prabu memerintahkan pegawai istana untuk membuat busur yang sangat besar, harapannya agar dalam sayembara nanti tidak ada seorang pun yang mampu mengangkatnya, kecuali Arjuna. Di samping itu, sang Prabu juga memerintahkan membuat panggung. Di atas panggung itu terpasang sasaran yang nantinya nantinya harus dipanah oleh para peserta sayembara. Setelah semuanya siap, Prabu Drupada lalu mengumuman kepada khalayak ramaai yang isinya demikian, 
“Barang siapa mampu merentangkan busur pusaka Pancala dan memanah sasaran di atas panggung, akan dikawingkan dengan putrinya Dewi Drupadi”. 
Tidak sampai berganti bulan berita itu telah tersebar di berbagai negara. Pada hari pelaksanaan sayembara,banyaklah raja dan rajaputra di kota Pancala sampai tak dapat dihitung, sebagian besar di  antara mereka hendak mengikuti sayembara. Selain itu banyak pula para brahmana yang ingin menyaksikan jalannya sayembara. Para raja dan rajaputra yang hendak mengikuti sayembara duduknya dikelompokkan menjadi satu. Demikian pula para brahmana yang ingin menyaksikan jalannya sayembara, duduknya juga dikelompokkan menjadi satu. Para Pandhawa yang saat itu juga sudah datang berkumpul menjadi satu kelompok dengan para brahmana.
Sementara itu Prabu Drupada dan permaisurinya serta Rajaputri Dewi Drupadi duduk di panggung tempat upacara dilaksanakan. Sang Rajaputra Drestadyumna yang konon dilahirkan dari api sesaji dipercaya sang prabu untuk memimpin jalannya sayembara. Ketika itu, para raja dan rajaputra duduknya berurutan menunggu mendapat giliran untuk merentangkan busur untuk memanah sasaran yang telah ditentukan. Sudah banyak para raja dan rajaputra yang mendapat giliran, tetapi belum ada satu pun yang berhasil, bahkan merentangkan busurnya saja belum ada yang berhasil.
Kemudian tampil Karna, putra Dewa Matahari yang diambil anak angkat oleh Adirata. Dengan mudahnya busur itu diangkatnya, dan dengan mudah pula busur itu direntangkan. Ketika sedang mengarahkan anak panah ke sasaran, tiba-tiba Dewi Drupadi berseru,
“Saya tidak mau kawin dengan orang berasal dari kasta rendah”.
Mendengar seruan tersebut, Karna melempar senyum ke arah datangnya suara. Dengan perlahan Karna meletakkan busur yang ada di tangannya kemudian mundur secara diam-diam, tidak jadi mengikuti sayembara.
Berikutnya tampil Sisupala, seorang bangsawan yang mencoba gilirannya. Namun, busur itu tidak dapat diangkatnya. Demikian pula dengan Raja Jarasanda, Salya, dan Duryudana, mereka tidak mampu mengangkat busur itu. 
Tatkala seorang brahmana muda yang tak lain adalah Arjuna tampil ke depan, ada sementara hadirin yang menatapnya dengan rasa gembira, tetapi ada pula yang merasa cemburu. Sementara itu reaksi para brahmana, begitu ada brahma muda yang tampil ke depan, pendapat mereka berbeda-beda. Ada yang mencelanya, tetapi ada pula yang mendukungnya dan memuji keberanian brahmana muda itu,
“Saudara-saudara para brahmana! Mari kita renungkan, bagaimana pendapat saudara-saudara, jika ada seorang brahmana muda yang sok berani mengikuti sayembara ini. brahmana itu tidak pernah menggunakan senjata, dan tidak pernah berperang. Mustahil ia mampu mengangkat busur yang sedemikian besarnya. Kalian semua melihatnya sendiri, Prabu Salaya yang tampil menggunakan berbagai jenis senjata dan kesaktiannya tidak diragukan lagi, tidak mampu merentangkan busur, pusaka Pancala. Apalagi seorang brahmana, pasti hanya akan menjadi bahan tertawaan para raja dan rajaputra yang hadir di sini. Oleh karena itu, sebelum terlanjur sebaiknya brahma muda itu kita ingatkan!” Demikian kata salah satu brahma yang tak menyetujui jika ada brahmana yang mengikuti sayembara itu. Akan tetapi ada pula kelompok brahmana yang mendukung lalu berkata,
“Wahai para brahmana yang terhormat! Kita tidak perlu merasa khawatir, tidak mungkin para raja dan rajaputra akan mencerca dan menertawakan brahmada muda itu, karena mereka sendiri juga tidak mampu mengangkt busur itu!”
Para brahmana yang duduknya tidak jauh  dari Pandhawa mereka turut memberi dukungan lalu berkata,
“Jangan khawatir, brahmana muda itu kelihatannya sangat tenang, santun dan jarang bicara. Perilakunya sangat sederhana, sangat beradab dan lengannya tampak sangat kuat, bagaikan belalai gajah. Jadi menurut pendapat kami, dia memang sakti mandraguna dan pantas jika mampu memenangkansayembara ini, ya biarkanlah brahmana muda itu mengikuti sayembara!”
Tanpa menghiraukan pembicaraan pembicaraan para brahmana, dengan langkah pasti brahmana muda itu berjalan mengitari busur sambil berdoa kepada Yang Maha Pengasih. Kemudian menundukkan kepalanya, memusatkan pikiran kepada Dewi Kresna. Dengan entengnya busur itu diangkatnya dan dengan cekatan merentangkan tali busurnya yang telah terpasang lima anak panah sekaligus.lepasnya kelima anak panah tersebut tepat mengenai sasaran yang telah ditentukan, sehingga tepuk tangan dan sorak sorai para brahmana menggema memecahkan kesunyian. Selanjutnya Drestdyumna menyatakan bahwa sayembara telah dimenangkan oleh brahmana muda itu sehingga berhak mendapatkan Rajaputri Drupadi. 
Diceritakan, para raja dan rajaputra yang tidak berhasil memenangkan sayembara saling menaruh belas, tidak rela karena sang Rajaputri hanya direngkuh oleh orang yang tidak pantas. Tidak ketinggalan pula Kurawa yang dipelopori Duryudana, karena besarnya rasa dengki akhirnya bersama-sama para raja dan rajaputra menyebut Dewi Drupadi dari tangan brahma muda. Namun Bima yang pada waktu itu juga mengenakan pakaian brahmana, begitu melihat adiknya dikeroyok oleh para raja dan rajaputra, ia segera mencabut pohon beringin lalu menerjang musuh sehingga banyak yang lari tunggang langgang menyelamatkan diri. Duryudana yang dapat mengenali bahwa brahmana itu sebenarnya Bima dan Arjuna, sangat gentar dan merasa heran karena Pandhawa yang konon telah dibinasakan sampai menjadi abu (peristiwa bale sigala-gala), ternyata masih hidup bahkan mampu mengundurkan para raja dan rajaputra yang mengeroyoknya. 
Duryudana lalu memerintahkan Karna untuk merebut Dewi Drupadi dari tangan Brahmana muda itu yang tak lain adalah Arjuna. Dengan senang hati Karna segera mendatangi brahmana muda tersebut. Namun belum sampai di hadapan Nrahmana muda, Bima telah mencegatnya sambil mencerca,
“Hai anak kusir! Tidak berhak engkau bertempur dengan kesatria. Jika kamu ingin berperang, harus sama-sama anak kusir yang sama derajatnya. Untuk itu kamu jangan berkacak pinggang mau melawan adikku!”
Sebenarnya Karna sudah mengetahui dari Bathara Surya, bahwa dirinya anak sulung dari Dewi Kunthi. Jadi derajatnya juga kesatria sama dengan para Pandhawa dan Kurawa. Namun karena ia harus menyembunyikan rahasia dirinya, maka walaupun menerima cercaan yang sangat menyakitkan hati, ia tetap teguh menyimpan rahasia itu.
Kekecewaan hati sang Karna karena batal berperang dengan Arjuna, semakin menampar muka Duryudana. Namun karena merasa gentar dengan Bima dan Arjuna, Duryudana tidak dapat berbuat banyak sehingga Kurawa segera pulang ke Astina. Sungguh pun demikian, para Kurawa tetap tidak merasa jera untuk selalu berupaya mencelakakan para Pandhawa.
Setelah para raja dan rajaputra dapat dikalahkan Bima dan Arjuna, para Pandhawa segera kembali ke pondokkannya dengan didampingi oleh Dewi Drupadi.
Diceritakan Dewi Kunthi yang waktu itu sendirian di pondokan, merasa sangat was-was terhadap keadaan putra-putranya karena sudah menjelang senja belum jua kembali pulang. Sebentar-sebentar Dewi Kunthi melihat halaman, menanti-nanti kedatangan putra-putranya, Pandhawa. Dalam hatinya bertanya-tanya, ‘Ada aa gerangan putra-putraku ini, waktu sudah hampir malam akan tetapi mereka belum juga pulang, padahal biasanya sudah kembali dengan membawa hasil dari meminta-minta’.
Setelah lama dinanti-nanti tiada juga kunjung datang, Dewi Kunthi masuk ke dalam ‘senthong’ (kamar) menyalakan dian. Baru saja sang Dewi Kunthi masuk ke dalam senthong tiba-tiba Para Pandhawa datang. Arjuna memanggil-manggil ibunya hendak menyerahkan Dewi Drupadi. Ketika itu sang ibu Dewi Kunthi masih di dalam senthong sehingga belum tahu barang apa yang akan diseragkan putra-putranyanya. Perkiraannya putra-putranya akan menyerahkan makanan hasil meminta-minta seperti biasanya. Oleh karena itu dari dalam senthong sang Dewi Kunthi berkata,
“Barang yang akan kau serahkan kepadaku itu bagikanlah kepada saudara-saudaramu”.
Setelah berkata demikian, Dewi Kunthi keluar dari dalam senthong. Ketika mendengar penuturan putranya bahwa barang yang akan diserah kepadanya eorang gadis cantik, hasil dari memenangkan sayembara, Dewi Kunthi terkejut lalu berkata,
“Wah celaka! Aku dan putra-putraku akan berdosa besar jika apa yang sudah saya katakan tidak dilaksanakan”.  
Selanjutnya, Dewi Kunthi mengajak para Pandhawa dan Dewi Drupadi masuk ke rumah. Kemudian mereka bermusyawarah, agar semuanya tidak ada yang menanggung dosa, maka pada akhirnya dicapailah kata sepakat bahwa Dewi Drupadi bersuamikan kelima Panduputra. 
Kresna, raja bangsa Yudawa dan Baladewa kakaknya, setelah mengetahui bahwa yang memenangkan sayembara adalah Arjuna yang menyamar sebagai brahmana, segera menemui para Pandhawa di padepokannya untuk mengucapkan selamat. Kresna menerangkan bahwa dirinya dan Baladewa masih saudara keturunan dengan para Pandhawa. Sejak saat itulah para Pandhawa mengetahui Kresna dan Baladewa masih saudara mereka. 
Drestadyumnya pun datang ke pondokan para Pandhawa dengan cara sembunyi-sembunyi, karena ia diperintahkan Prabu Drupada untuk menyelidiki siapa sebenarnya brahmana muda itu. Tanpa sepengetahuan yang diselidiki, Drestadyumna akhirnya dapat mengetahui bahwa brahmana muda itu sebenarnya Arjuna. Untuk itu ia segera menghadap Prabu Drupada, melaporkan hasil penyelidikannya. 
Setelah mendapat laporan bahwa brahmana muda itu Arjuna, Prabu Drupada sangat bersukacita karena memang Arjunalah yang diharapkan jdi menantunya. Dan, pada kesokan harinya, sang Prabu memanggil para Pandhawa ke istana Pancala. Setelah para Pandhawa menghadap, Prabu Drupada menghendaki agar pernikahan Arjuna dengan putrinya dilaksanakan di istana. Namun Arjuna menjawab bahwa sang Dewi telah menjadi isttri Pandhawa. Sang Prabu sangat terkejut mendengar pengakuan Arjuna, maka berkatalah Prabu Drupada,
“Ini sangat menyimpang dari kesopanan, saya tidak setuju”. 
Ketika itu datanglah Maharsi Wiyasa, sang Maharsi lalu mengajak Prabu Drupada ke ruang dalam untuk memberi penjelasan terhadap permasalahan yang kini sedang dihadapinya. Kesudahannya, sang Prabu Drupada dapat menerima penjelasan Maharsi Wiyasa sehingga berlangsunglah pernikahan antara Dewi Drupadi dengan para Pandhawa di Istana Pancala.
Konon, setelah pernikahan itu berlangsung para Pandhawa mengadakan perjanjian. Tujuannya adalah untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Dalam perjanjian itu ditetapkan bahwa mereka harus berganti-ganti mendekati Dewi Drupadi. Jika ada yang melihat Dewi Drupadi sedang duduk dengan salah seorang di antara kelima bersaudara itu di dalam kamar, kemudian salah satu di antara mereka ada yang melihatnya, harus membuang diri dalam hutan selama sepuluh tahun.

KSP 42—
Sabtu, 15 Februari 2020 – 12.47 WIB
R E F E R E N S I : 
Sri Guritno – Purnomo Soimun HP,
KARAKTER TOKOH PEWAYANGAN MAHABARATA
Proyek Pemanfaatan Kebudayaan
Direktorat Tradisi dan Kepercayaan
Deputi Bidang Pelestarian dan Pengembangan Budaya
Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata
Jakarta 2002



Tidak ada komentar:

Posting Komentar