Sita Blog : "SASTRA NUSANTARA"
Senin, 16 Juli 2018 - 11:35 WIB
Senin, 16 Juli 2018 - 11:35 WIB
2. Peran Nagarakertagama
Sebagai Sumber Sejarah
Majapahit
Dari uraian teks-teks Nagarakertagama, para ahli dapat merekonstruksi keadaan sosial,
politik, kebudayaan, dan keagamaan yang ada pada saat itu dan yang berlanjut
hingga saat ini. Catatan sejarah Majapahit yang tertulis dalam teks-teks
kakawin menunjukkan betapa Kerajaan Majapahit mempunyai peran yang penting
dalam kehidupan kenegaraan di Indonesia pada XIII, XIV, XV. Kehidupan yang ada
di negara Majapahit menunjukkan betapa maju dan luasnya kebudayaan yang ada dan
berkembang di Majapahit. Sistem sosial dan kekuasaan yang sedemikian luas
menunjukkan betapa Kerajaan Majapahit dapat mengalami masa kegemilangan dan
keemasan. Sesungguhnya di Indonesia ada suatu siklus kegemilangan dan keemasan
yang menonjol setiap 700 tahun. Yang pertama abad ke-0 terlihat perpaduan
budaya nenek moyang kita. Yang pertama kita bisa menunjukkan pada perkembangan
awal milenium pertama pusat kekuasaan Nusantara atau Indonesia, apa pun
bentuknya telah berhubungan dengan negara-negara di sekitarnya. Para pelaut
Nusantara telah berlayar hingga ke Afrika Timur, Taiwan, dan sampai ke Selandia
Baru. Orang-orang Indonesia diperkirakan oleh para ahli menjadi pemukim dan
penduduk Pulau Madagaskar yang pertama pada permulaan milenium pertama. Pada
awal abad pertama juga diakui kebudayaan Nusantara menyebar dan mempengaruhi
kebudayaan, bahasa, sastra, dan kehidupan bangsa Filipina.
Pada abad ke VII kita melihat kegemilangan
Sriwijaya, Kalingga, dan Mataram Hindu. Dari buku catatan yang ada kita dapat
melihat pada abad ke XIV muncul
kekuasaan Majapahit. Pada abad XXI ini kita melihat betapa bangsa Indonesia
memapaki proses kekuasaan dan kehidupan yang menuju kegemilangan.
Kerajaan-kerajaan dan kekuasaan-kekusaan lama dapat menjadi cermin dan teladan
bagaimana kita mengelola kekuasaan agar dapat berguna bagi banyak orang demi
kesejahteraan rakyat. Bangsa Indonesia atau bangsa Nusantara dapat selalu
berhubung dan dikaitkan dengan masa-masa sebelumnya untuk mempelajari kaitan
kesejarahan dari masmasa gemilang dan juga masa-masa sulit dan kegelapan.
Kegemilangan dan kekuasaan Majapahit yang luar biasa harus dijadikan pedoman
teladan dan cermin agar kita bangsa Indonesia dapat melaksakan suatu masa
gemilang yang pada suatu waktu menjadi contoh, teladan dan cermin bagi generasi
berikutnya.
3. Prapanca Mengubah Nagarakertagama
Dalam Hening
Berdasarkan teks-teks Nagarakertagama pada bagianakhirkita bisa melihat bahwa penulis Nagarakertagama menghasilkan karya
monumental ini dalam semangat sepi ing
pamrih rame ing gawe. Prapanca menuliskan Nagarakertagama yang merupakan kidung pujian bagi Sang Raja dan
Majapahit tanpa ada perintah. Karya Prapanca ini merupakan karya sukarela yang
dikerjakan oleh inisiatif sendiri untuk memuliakan Raja M ajapahit dan
leluhurnya serta kecintaan Prapanca pada Kerajaan Majapahit. Sang Kawi
menghasilkan karya ini di dusun sunyi yang jauh dari pusat kerajaan dan
kekuasaan. Sebuah dusun tempat menyepi yang penuh dengan bunga-bunga indah
dengan alam asri menyejukkan hati.
Hal kedua yang menarik, prapanca adalah
seorang Budha dan ia berkarya untuk sebuah kerajaan besar Majapahit yang
diidentikkan dengan Kerajaan Hindu. Bentuk toleransi ini menjadi sangat luar
biasa senapas dengan semboyan dalam kitab Sotasoma
karya Mpu Tantular yang mengatakan:
“Bhineka
Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa”. Yang bermakna, ‘Walaupun berbeda-beda namun satu juga, tidak ada
darma, kebaikan dan kebenaran yang mendua’.
Dalam Negara Kerajaan Majapahit telah dan
tetap mengalir benih toleransi beragama yang harmonis, damai, dan toleran.
Dalam pupuh 77 Nagarakertagama disebut
desa perdikan Hindu Siwa dan dan Hindu Wisnu. Dari situ kita bisa melihat
paling tidak ada tiga aliran agama yang hidup berdampingan dengan mesra, Hindu
Aliran Wisnu, dan Agama Budha. Hindu Waisnawa yang memuja Wisnu bermula
sumbernya setelah letusan Gunung Merapi pada tahun 929 masehi dari raja
Airlangga dan Raja-raja Kediri seperti Jayabaya yang dianggap juga titisan
Wisnu. Sedangkan aliran Siwa sesungguhnya juga bermula dari Isyana Rja Medang
di Jawa Timur leluhur dari Dharmawangsa dan Airlangga. Raja Isyana dikenal
dengan nama Mpu Senduk. Mpu Senduk itu melambangkan Ular Kobra yang menjadi
kalung Dewa Siwa. Artinya bahwa Raja
Isyana menjadi kesayangan Dewa Siwa atau juga Raja Isyana adalah penganut Hindu
Siwa yang tekun dan mendalam.
Hal ini secara nyata juga diungkap oleh Ken
Arok Raja pertama Singasari yang juga dikenal dengan Hindu aliran Siwa. Dari
kedua Hindu Siwa dan Hindu Waisnawa itulah menjadi nyata bahwa toleransi di
Bumi Majapahit merupakan keadaan dan suasana yang alami turun temurun dari para
raja dan rakyat sebelumnya.
Toleransi terhadap Agama Buddha juga
mendapat tempat yang sama karena rakyat dan raja-raja sebelumnya ada yang
beragma Buddha. Sesungguhnya kita bisa menarik benih toleransi beragama ini
sejak zaman Mataram Kuno di mana agama Hindu dan Buddha juga dapat hidup saling
berdampingan. Ini dapat kita contohkan keberadaan Candi Prambanan yang
bernapaskan Hindu berdampingan dengan Candi Sewu dari Agama Buddha. Ada juga di
sekelilingnya candi-candi Hindu seperti Candi Sambisari, Candi Kedulan, Candi
Kimpulan, Candi Ijo, Candi Gebang, Candi Merak; mesra berdampingan dengan Candi
Plaosan, Candi Abang, Candi Kalasan, Candi Sari, Candi Palgading, Candi
Banyunibo yang bernapaskan Agama Buddha.
Barangkali tafsiran Slametmulyana yang
mengatakan bahwa Prapanca menulis Nagarakertagama
dalam suasana kesedihan, kekecewaan, marah, mendongkol, merasa hina dan tak
berarti, perlu kita maknai secara lain. Sesungguhnya dalam filosofi Agama
Buddha hidup ini adalah penderitaan. Prapanca adalah seorang besar yang pernah
menjabat menjadi pemimpin dalam Agama Buddha dalam kerajaan Majapahit.jabatan
tinggi itu meskipun penting dan berharga tetapi bukan satu-satunya
sumberkebahagiaan bagi Prapanca sebagai penganut Agama Buddha. Kehilangan
jabatan, pengaruh, dan kekuasaan tidak akan menjadikan seorang pengikut Buddha
yang luhur akan patah arang, patah hati, dan terbenam dalam kesedihan dan
kekecewaan yang mendalam dan berlebihan. Pastilah Prapanca mengerti benar kisah
yang dituliskan sendiri bagaimana Raja Airlangga membagi kerajaanya untuk kedua
anaknya. Kisah Airlangga ini sangatlah luar biasa. Bayangkan seorang Raja besar
yang mempunyai kekuasaan sangat besar di hampir seluruh Jawa, Bali pada usia 50
tahun mengundurkan diri sebagai raja besar dan memilih menjadi seorang pertapa
di Gunung Penanggungan. Itu artinya bagi seorang penganut agama yang sudah
mendapatkan hidah, penerangan, pencerahan, dan roh suci akan merasakan bahwa
kebahagiaan rohani lebih bernilai, bermakna dan berharga dibandingkan
kebahagiaan kekuasaan, kenikmatan, dan harta. Benarlah kata pepatah: “Sura dira jaya ningrat lebur dening
pangastuti”; kebahagiaan Ilahi lebih berharga danbernilai daripada kemewahan
dan kenikmatan duniawi.
Dengan demikian kita bisa meraba dan
menafsirkan barangkali itulah jalan kehidupan Prapanca yang harus menghadapi
kedukaan, kesedihan, dan kekecewaan sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari
yang tak perlu diratapi maupun ditangisi. Pengalaman hidup Pranca dengan begitu
justru menjadi pencerahan dan pemicu baginya untuk dapat menghasilkan sesuatu
yang lebih bermakna bagi dirinya, keluarganya, dusun dimana ia tinggal, dan
Sang Raja serta rakyat Kerajaan Majapahit. Ia tetap setia kepada Sang Raja. Ia
tetap menuliskan citra poitif Kerajaan Majapahit hingga dikenal sampai saat
ini. Prapanca juga dapat menjadi inspirator bagi para sejarawan modern, karena
ia menuliskan sejarah dengan baik, jujur, positif dan memikat. Kesan positif,
memikat, dan kolosal terlihat dari uraiannya yang begitu rinci, lengkap, dan
logis tanpa berusaha menonjolkan tragedi-tragedi yang ada ataupun menutupi
kebenaran sejarah. Seperti halnya Perang Bubat yang merupakan sesuatu yang
sangat tragis, peristiwa ini tidak dituliskan dan diuraikan oleh Prapanca demi
suatu ide yang lebih besar. Ide kejayaan Nusantara.
Prapanca membuka pintu bagi sumber-sumber
lain untuk dapat memahami Perang Bubat. Prapanca sesuai nama samarannya mencoba
merendah hati untuk tidak merasa mengerti segala yang ada, tidak merasa
mengetahui segala hal; dalam istilah timur, aja
rumangsa bisa, bisaa rumangsa. Prapanca bisa menahan diri, membatasi diri
dan mengambil peran seperlunya; itulah tanda pribadi yang matang, meneb, tenang dan jiwanmukta. Jiwanmukta adalah sosok pribadi yang dapat mematikan
segala nafsu dan mengerti kebenaran hakiki serta mengenal paraning dumadi. Prapanca memberikan dan menyediakan ruang yang
besar bagi Sang Pencipta untuk mengisu hatinya sehingga pada akhirnya ia bisa
menghasilkan mahakarya bagi Mjapahit dan Bagi Indonesia. Barangkali tepat yang
dituliskan dalam Prasati Zoetmulder: “wiku
haji jenek angher ing sunya” disematkan untuk Pujangga Prapanca seorang
raja pendeta yang nyaman tinggal di dalam keheningan yang sempurna.
Sabtu, 14 Juli 2018
– 07:52 WIB
Posted by Ki Slamet
42 Bogor
P u s a t a k a :
Mpu Prapanca,
“Kakawin Nagaraketagama”
Teks dan terjemahan:
Damaika Saktiani, dkk
Penerbit:
NARASI Yogyakarta 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar