Blog Sita : "SASTRA NUSANTARA"
Minggu, 22 Juli 2018 - 04:20 WIB
Minggu, 22 Juli 2018 - 04:20 WIB
4. Sumpah Palapa Manggala Majapahit
“Lamun huwus kalah Nusantara
Isun amukti palapa,
Lamun huwus kalah ring gurun,
Ring Seran, Ring Tanjungpura,
Ring Haru, Ring Pahang, dompo,
Bali, Suda, Palembang, Tumaik,...
Samana isun amukti palapa.”
Gajah Mada
bercita-cita menyatukan Nusantara yang dikenal dengan Sumpah Palapa. Inti dari
cita-cita Gajah Mada sebagai Mahapatih Amangkubumi Majpahit menyatukan
Nusantara agar tidak selalu terjadi perang saudara, Gajah Mada berharap suatu
kesatuan kekuasaan di Nusantara membawa kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.
Gajah Mada sebagai Manggala Majapahit dengan semangat besar ingin menunjukkan
bahwa kesatuan bangsa di Nusantara akan membawa kejayaan, kemuliaan, dan
kesejahteraan bagi seluruh rakyat Majapahit. Cita-cita yang besar dari seorang harijan kasta sudra ini ternyata dapat
tercapai. Gandhi menggunakan istilah harijan untuk menyebut rakyat India dari
kasta sudra atau bahkan paria yang hina dina, namun sesungguhnya istilah harijan menjadi istilah yang istimewa
dan luar biasa dari kata Hari yang berarti Tuhan dan jan yang berarti manusia. Jadi Harijan
sesungguhnya berarti dan bermakna makhluk Tuhan, manusia ciptaan Tuhan,
ataupun manusia kekasih Tuhan. Seluruh kepulauan Nusantara mengakui kekuasaan
Majapahit sebagai Matahari Nusantara. Sebagian dengan proses penaklukan atau
peperangan dan sebagian lagi banyak kerajaan yang sukarela mengakui kekuasaan
dan kebesaran Majapahit ini diuraikan dalam teks-teks Nagarakertagama pupuh 13, pupuh 14, yaitu Melayu, Jambi, Palembang,
Toba, Damasraya, Kandis, kahwas, Minangkabau, Siak, Rokan, Kampar, Pane, Lawas,
Samudra, Batan, Lampung, Barus, di Tanjungpura (Pulau Kalimantan) adalah
Kapuas, Karingan, Sampit, Kota Lingga, Kotawaringin, Sambas, Lawai, kemudian
Kandangan, Landa Samadang, Tirem, Sedu Barunai, Kalka, Saludung, Solot, Pasir,
Barito, Sawaku, Tabalong, Tanjung Kutai, berikutnya di Ujung Medini Pahang,
Langkasuka, Saimwang, Kelantan, Trengganu, Johor, Paka, Muar, Dungun, Tumasik,
Kelang, Kedah, Jerai, Kanjapiniran; di sebelah timur Jawa ialah Bali, Badahulu,
Lo Gajah, Gurun, Sukun, Taliwang, Pulau Sapi, Dompo, Sang Hyang Api, Bima,
Seran, Hutan Kadali, selanjutnya Pulau Gurun, Lombok Merah, Sasak, Bantlayan,
Kota Luwuk, Udamakatraya, di Timur antara lain Pulau-pulau Makasar, Buton,
Banggawi Kunir, Galian, Salayar, Sumba, Solor, Muar, Wanda (Banda), Ambon
Maluku, Wanin atau Wwanin (Onin daerah Fak-Fak), Seran, Timor dan pulau-pulau
lain.
Dari uraian
geografis di atas kita bisa melihat betapa usaha Gajah Mada dan Majapahit untuk
menyatukan Nusantara sedemikian luas dan kuat. Kekuasaan dan kekuatan Majapahit
tentulah bukan semata-mata kekuatan prajurit atau tentara tetapi lebih kepada
rasa hormat, takluk dan tunduk untuk selanjutnya dapat membangun kesejahteraan
seluruh wilayah Nusantara. Kekuatan militer pasti hanya digunakan untuk
menaklukkan negeri-negeri yang sanggat kuat dan tidak mau mengakui kekuasaan
Majapahit secara sukarela. Prapanca Gajah Mada, Raja-raja Majapahit, prajurit
dan rakyat Majapahit pada abad ke XIV telah berhasil menyatukan Bumi Nusantara
dalam satu kekuatan, kekuasaan dan pengaruh yang kuat, kokoh dan teguh.
Dalam bahasa
yang lebih modern Lemhanas pada akhir abad XX : Wawasan Nusantara atau Wawasan
Nasional Indonesia adalah cara pandang bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945 tentang dirinya yang serba Nusantara dan
lingkungannya , di dalam eksistensi serta pengembangannya (kejayaannya) dalam
mengekspresikan dirinya baik dalam konteks hubungannya secara nasional maupun dalam
lingkungan internasional.
Apa yang telah
dilaksanakan oleh Majapahit ternyata menjadi inspirasi bangsa Indonesia untuk
selalu melangkah ke depan dengan baik dan dengan teguh yang bersemangat kan
kekeluargaan, gotong royong, saling membutuhkan, aling menolong demi
kesejahteraan dan kemakmuran bersama-sama seluruh kepulauan Nusantara.
Sabtu, 22 Juli 2018 – 04:28 WIB
Posted by Ki Slamet 42 Bogor
P u s a t a k a
:
Mpu Prapanca,
“Kakawin
Nagaraketagama”
Teks dan
terjemahan:
Damaika
Saktiani, dkk
Penerbit:
NARASI
Yogyakarta 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar